Floresa.co – Rumah Sakit Umum Daerah [RSUD] Lewoleba, Kabupaten Lembata telah melakukan audit internal kepada dokter kandungan dan bidan yang bertugas merawat ibu yang meninggal pascoperasi melahirkan baru-baru ini, mengklaim cara penangannya sesuai prosedur.
Namun, keputusan soal kemungkinan terjadinya malpraktik masih menanti hasil audit eksternal oleh Dinas Kesehatan.
Audit internal itu merespons desakan Ombudsman NTT terkait kematian Regina Wetan, 31 tahun, warga Desa Beutaran, Kecamatan Ile Ape, usai mendapat tindakan suntikan obat Asam Traneksamat atau Tranexamic Acid.
“Sebelum dinyatakan meninggal Regina mengalami rasa mual dan mengeluarkan cairan saliva [air liur] bercampur darah dari mulutnya setelah diinjeksi Asam Traneksamat,” kata Alexandra Junita Betekeneng.
Adik kandung Regina ini berkata, selain tidak menanyakan tentang kondisi alergi, keluarga tidak diberi informasi mengenai jenis obat Asam Traneksamat.
“Bidan yang bertugas langsung menyuntikkan Asam Traneksamat pada selang infus,” katanya pada 11 Maret.
Menurut Nita – sapaannya -, tak ada tanda-tanda serangan jantung atau alergi obat sebelum kematian Regina.
Dalam rilis yang diterima Floresa pada 8 Maret, Kepala Ombudsman Perwakilan NTT, Darius Beda Daton meminta penjelasan komite medik RSUD Lewoleba atas hasil “investigasi kepada petugas kesehatan yang melakukan injeksi kepada Regina.”
“Sebagai lembaga negara pengawas pelayanan publik, kami telah meminta direktur RSUD Lewoleba untuk menjelaskan duduk persoalan Regina Wetan,” katanya.
Direktur RSUD Lewoleba, Yoseph Freinandemetz Paun yang berbicara kepada Floresa berkata, berdasarkan hasil audit internal, petugas yang menyuntik Asam Traneksamat sudah menjalankan tugasnya berdasarkan Standard Operating Procedure atau SOP.
“Pemberian Asam Traneksamat bukan saat kejadian, tetapi satu jam sebelum dioperasi,” kata Yosep pada 10 Maret.
Dikutip dari Halodoc.com, Asam Traneksamat adalah obat yang digunakan untuk membantu mengurangi perdarahan. Obat ini bekerja dengan cara mencegah pemecahan pembekuan darah yang sudah terbentuk, sehingga darah dapat tetap berada di dalam tubuh dan mengurangi risiko kehilangan darah yang berlebihan.
Enam jam pascaoperasi, menurut Yosep, obat yang sama diberikan kepada Regina untuk mencegah pendarahan, yang diklaimnya juga berlaku bagi ibu hamil lain usai menjalankan operasi besar sectio caesarea.
Sectio caesarea [SC] adalah prosedur pembedahan untuk mengeluarkan bayi melalui sayatan pada dinding perut dan rahim. Tindakan ini dikenal sebagai operasi sesar.
“Analisis kami, kalau kematian Regina karena obat, maka banyak pasien lain selama ini juga alami kasus serupa,” katanya.
Yosep menyebut ada faktor lain yang tidak diketahui yang menjadi penyebab kematian Regina.
Namun, ia tidak menjelaskan secara rinci faktor tersebut.
Apa yang Terjadi Sebelum Regina Meninggal?
Regina dioperasi pada 5 Maret, setelah dirawat sejak 3 Maret dengan kondisi denyut jantung janin melambat berdasarkan pemeriksaan Dokter Penanggung Jawab Pelayanan [DPJP] atas asuhan medis pasien dari awal hingga akhir perawatan.
“Usai memeriksa Regina, diputuskan untuk segera dioperasi atas indikasi jantung janin yang melambat,” kata Yosep.
Menurut Yosep, operasi sesar berjalan baik, sebelum Regina dipindahkan ke ruang kebidanan berdasarkan keadaan umum dan tanda vital yang menyatakan kondisinya dinyatakan stabil.
“Pasien hanya mengeluhkan bekas operasi,” kata Yosep.
“Saat petugas memeriksa pada malam hari, keadaan pasien dinyatakan dalam kesadaran penuh,” katanya.
Yosep berkata, pada saat itu pasien dijelaskan akan mendapat obat anti pendarahan dengan dosis 500 mg/5 cc.
Namun, ketika disuntik obat 2 cc dari 5 cc, pasien mulai mengeluhkan mual dan perut rasa tidak enak.
“Bidan [langsung] menghentikan penyuntikan Asam Traneksamat,” kata Yosep, yang diikuti tindakan memposisikan kepala Regina miring ke kiri dan diberikan oksigen dengan kapasitas lima liter permenit.
Keadaan umum pasien, lanjutnya, tampak lemah yang ditandai dengan tekanan darah 80/50 milimeter hg, detak nadi 128 kali per menit dan teraba lemah.
“Bidan melaporkan kepada dokter jaga, yang kemudian ditindaklanjuti resusitasi jantung paru,” katanya.
Resusitasi jantung paru adalah tindakan darurat untuk menyelamatkan nyawa seseorang yang mengalami henti jantung atau henti napas.
Yosep berkata, Regina dinyatakan meninggal pada pukul 22.58 Wita, meski telah dilakukan tindakan penyelamatan oleh dokter kandungan dan anestesi.
“Dicurigai ada emboli paru dan kardiomiopati pascamelahirkan,” katanya.
Emboli paru merujuk penyumbatan arteri paru-paru oleh gumpalan darah. Sementara, kardiomiopati adalah penyakit jantung yang disebabkan oleh kelainan otot jantung. Kondisi ini juga dikenal sebagai jantung lemah.
Pada kesempatan yang sama, David Chandra, dokter spesialis kandungan atau obgyn yang bertugas mengoperasi Regina berkata, pemberian Asam Traneksamat kepada Regina untuk mencegah pendarahan otot dan kulit sebanyak 500 miligram sudah sesuai standar dosis.
“Pascaoperasi, Regina diberikan obat yang sama untuk mencegah pendarahan hebat. Jadi, bukan karena alergi. Sebelum operasi juga disuntik Asam Traneksamat,” kata David kepada Floresa pada 10 Maret.

Ditanya, apakah Asam Traneksamat layak diberikan untuk pasien berstatus darah rendah dan tinggi, David mengklaim “bisa dalam rangka mengantisipasi pendarahan.”
Pada kesempatan yang sama, Bagus, dokter spesialis penyakit dalam RSUD Lewoleba, berkata, kematian Regina dicurigai disebabkan emboli paru, bukan emboli jantung.
Emboli jantung adalah penyumbatan pembuluh darah jantung yang disebabkan oleh gumpalan darah.
Kondisi emboli paru, kata Bagus, umumnya mendadak terjadi kepada ibu hamil pascoperasi, meski dalam kondisi normal.
“Penyebabnya bekuan darah atau zat asin yang lepas menuju ke pembuluh darah paru-paru,” katanya.
Menurut Bagus, ada beberapa faktor yang menyebabkan Regina mengalami emboli paru, antara lain karena mengalami hiperviskositas, kondisi ketika darah menjadi kental sehingga tidak dapat mengalir dengan lancar melalui pembuluh darah. Kondisi ini dapat berpotensi mengancam jiwa.
“Semua ibu hamil lima kali berisiko terserang emboli paru terutama pascaoperasi,” kata Bagus.
Dalam persalinan normal [vaginal delivery], risiko emboli paru lebih rendah.
“Kasusnya 2 berbanding 1000,” ujarnya.
Akan Diaudit Eksternal
Kepada Floresa, Yosep menepis pemberitaan adanya dugaan malpraktik yang terjadi atas Regina, mengklaim keputusan adanya dugaan malpraktik ditentukan lewat audit eksternal oleh Dinas Kesehatan Lembata.
Yosep tidak menjelaskan waktu audit eksternal itu digelar.
“Kami menyerahkan ke Dinas Kesehatan yang membuat kesimpulan,” katanya.
Sementara itu, Ombudsman NTT mendorong agar keluarga Regina melaporkan kasus ini ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia [MKDKI] di Jakarta, sembari menuntut Dinas Kesehatan Lembata melakukan audit eksternal.
MKDKI adalah lembaga yang berwenang menegakkan disiplin kedokteran, untuk menentukan apakah ada kesalahan yang dilakukan dokter dan menetapkan sanksi.
“Kami mendukung keluarga melaporkan ke MKDKI. Jika terbukti dokter obgyn melakukan malpraktik, kami minta diberi sanksi tegas,” kata Darius seperti yang dikutip dari Nttmediaexpress.com.
Apa Kata Keluarga?
Dihubungi Floresa pada 11 Maret, Alexandra Junita Betekeneng menyatakan mendukung rencana audit eksternal oleh Dinas Kesehatan Lembata.
“Supaya sejelas-jelasnya persoalan saudari kami ini diketahui keluarga dan masyarakat Lembata,” katanya.
Ia menjelaskan, semenjak kejadian ini, keluarga mengalami trauma untuk kembali berobat ke RSUD Lewoleba.
“Kami juga masih mengalami guncangan batin, sebab tidak menyangka dengan kepergian Regina,” katanya.
Merespons dorongan Ombudsman NTT untuk melaporkan ke MKDKI, menurut Nita, keluarganya masih menunggu hasil pemeriksaan eksternal yang dijanjikan pihak rumah sakit.
“Kami masih fokus menunggu hasil laporan audit dari direktur RSUD Lewoleba,” kata Nita.
“Kami juga meminta rekan-rekan media untuk tetap mengawal kasus Regina ini, supaya tidak terulang lagi di hari-hari mendatang,” tambahnya.
Editor: Petrus Dabu