Floresa.co – Abdul Gulam Lamadike mengaso di bawah pondok berukuran lima kali lima meter usai mencampur bahan pupuk organik.
Berjarak sekitar satu meter dari tempatnya melepas peluh, bertumpuk satu ton pupuk organik yang masih segar.
Pupuk organik itu, kata Gulam, terbuat dari campuran dedak padi, kotoran sapi dan kambing, serta gula pasir.
Selain Gulam, lima anak muda turut beristirahat di pondok itu sembari bersenda gurau. Dua di antaranya adalah perempuan.
Bersama 10 anak muda lainnya, mereka terpilih sebagai peserta “Pelatihan Pertanian Cerdas Iklim” di Desa Wowong, Kecamatan Omesuri di Pulau Lembata pada 29-31 Oktober.
Kegiatan diinisiasi Plan Indonesia, organisasi nirlaba yang berfokus pada pemenuhan hak anak-anak dan perempuan.
Pascabadai siklon Seroja pada 2021, Plan Indonesia turut menggiatkan warga sejumlah desa setempat terlibat dalam pertanian cerdas iklim, termasuk budidaya tanaman yang bernilai ekonomis.
Pelatihan pada akhir Oktober turut melibatkan anak muda dari Desa Wailolong, Kecamatan Omesuri, Desa Kolontobo di Kecamatan Ile Ape, dan Desa Lamaau di Kecamatan Ile Ape Timur.
Gulam merupakan satu dari tiga mentor dalam kegiatan tersebut.
Masing-masing mentor mendampingi lima peserta yang mempelajari pembuatan mulsa, saluran irigasi dan pupuk organik.
Itu semua, kata Gulam, merupakan bagian dari “upaya memperkuat resiliensi anak muda Lembata di tengah-tengah krisis iklim.”
Buah-Buah Ketekunan
Sebagian besar warga Desa Wowong bermata pencaharian sebagai nelayan. Sehari-hari mereka menangkap ikan di Selat Pantar yang menghubungkan Pulau Pantar dan Pulau Alor – keduanya di sebelah timur Lembata.
Selat Pantar terhubung dengan Laut Sawu di sebelah selatan dan Laut Banda pada sisi utara, perairan yang kaya akan sumber kelautan.
Gulam menyadari seorang nelayan tidak bisa serta-merta beralih mata pencaharian sebagai petani.
Namun, setidak-tidaknya, ke-15 anak muda yang mereka dampingi dapat mulai belajar memaksimalkan pemanfaatan pekarangan keluarga.
Cara itu, kata Gulam, “akan membantu mereka ketika pendapatan dari laut tak lagi sama akibat terdampak krisis iklim.”
Bersama kelompok tani Waiwerun, Gulam terlibat dalam pemanfaatan lahan seluas 70×20 meter di Wowong.
Dalam bahasa Kedang yang penuturnya tinggal di sekitar Gunung Uyelewun, timur Lembata, “waiwerun” berarti air segar.
Di kebun yang berstatus lahan garapan kelompok tani Waiwerun itu, mereka membudidayakan beragam tanaman hortikultura.
Hortikultura dipilih lantaran waktu tanam dan panennya tak mengenal musim.
Ditanam secara tumpang sari, pada satu bedeng tumbuh cabai rawit, tomat dan bawang.
Dari sejumlah bedeng yang berada di lahan itu, kelompok tani Waiwerun dapat memanen lima kilogram [kg] cabai rawit sekali panen.
Mereka terakhir memanen cabai rawit pada pekan silam. Satu kg cabai rawit dibanderol Rp60 ribu, yang menghasilkan pendapatan Rp300 ribu untuk keseluruhan penjualan lima kg.
Sementara tomat dijual dalam ember-ember bekas cat berbobot 25 kg. Menurut pengakuan Gulam, mereka dapat memanen tomat dua kali dalam sepekan.
Dari panenan itu, mereka memperoleh pendapatan rata-rata Rp1,8 juta. Dengan hitungan empat pekan dalam sebulan, secara keseluruhan mereka memperoleh pendapatan rata-rata Rp7,2 juta dari hasil penjualan tomat.
Panenan hortikultura itu dipasarkan di Pasar Walangsawa, Kecamatan Omesuri dan Kecamatan Omesuri, berjarak kurang dari 20 kilometer dari Desa Wowong.
“Sejumlah penjual sudah berlangganan tetap dan memilih datang langsung ke kebun kami,” kata Gulam, mengacu pada pedagang sayur dari Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata.
Ia mengaku besaran pendapatan dari lahan tersebut “berkat ketekunan” anggota kelompok tani Waiwerun terutama dalam pembuatan, pengolahan dan pemberian pupuk organik.
Pemakaian pupuk organik, kata Gulam, “membantu meningkatkan kualitas tanah yang memaksimalkan pertumbuhan bagian-bagian tanaman.”
Menginspirasi Petani Lain
Ketekunan kelompok tani Waiwerun turut menginspirasi Abdul Latif Leki, seorang mantan pekerja migran.
Sepulang dari merantau pada November 2023, ia menggarap lahan berukuran 60×25 meter yang ditanami tomat dan terung.
Niatnya menggarap lahan berangkat dari pengalamannya mengurus kebun sayur seluas dua hektare di Malaysia.
“Modal saya kembali ke kampung, ya pengalaman setahun di Malaysia itu,” kata Abdul.
Sejak mulai panen pada Agustus, hasil penjualan terungnya telah memberikan Abdul pendapatan sekitar Rp20 juta.
Sementara hasil panen tomat memberikannya pendapatan mingguan antara Rp300.000-Rp.500.000.
“Karena menggarap kebun sendiri sangat menjanjikan, tak lagi ada dalam pikiran saya untuk kembali merantau,” kata Abdul.
Tangguh di Sela-Sela Krisis Iklim
“Pelatihan Pertanian Cerdas Iklim” merupakan bagian dari program Youth Lead Climate Resilliance [YLCR] atau kepemimpinan kaum muda untuk ketangguhan iklim.
Manajer Program Implementasi Area [PIA] Lembata – Plan Indonesia, Erlina Dangu mengatakan Plan Indonesia PIA Lembata “memberdayakan kaum muda sebagai agen perubahan yang adaptif terhadap perubahan iklim.”
Paulina, salah satu peserta pelatihan mengaku berniat mengajak teman-teman di kampungnya untuk membuka lahan dan menanam sayur.
“Saya ingin berbagi pengalaman bahwa untuk mendapatkan keuntungan tidak bisa hanya berdiam diri,” katanya.
Sementara Sa’dia, salah satu peserta pelatihan berkata kegiatan pelatihan itu memberinya pengetahuan soal menghemat pengeluaran ketika membuka lahan pertanian.
Aturan perlindungan [safeguarding] anak dan kaum muda dampingan Plan Indonesia tak membolehkan pihak eksternal, termasuk media, mencantumkan nama lengkap dan asal desa mereka.
Sepulang dari pelatihan, kata Sa’dia, “saya ingin menanam kangkung sembari mencermati prosesnya.”
Editor: Anastasia Ika