Banjir Usai Hujan Hanya Tiga Jam: Labuan Bajo Bakal Mirip Seperti Jakarta Jika Model Pembangunan Masih Amburadul

Peneliti menyoroti kebijakan pemerintah yang “tidak pakai otak,” seperti melakukan alih fungsi kawasan hutan dan sistem drainase yang buruk

Floresa.co –  Banjir melanda sejumlah titik di Labuan Bajo usai kota pariwisata super premium itu dilanda hujan lebat hanya selama tiga jam, hal yang memicu kritik terkait kebijakan pemerintah, termasuk alih fungsi kawasan hutan dan sistem drainase yang buruk.

Pantauan Floresa, beberapa titik banjir yang terparah saat banjir pada 20 Januari itu adalah di Jalan Lamtoro menuju Bandara Internasional Komodo, wilayah Cowang Dereng, Kampung Ujung, Kampung Tengah, Kampung Air dan sepanjang Jalan Pantai Pede.

Kampung Ujung merupakan wilayah di bibir pantai Labuan Bajo, tempat di mana berdiri sejumlah hotel, restoran, kafe dan pusat perbelanjaan. Salah satunya adalah Hotel Meruorah, milik BUMN PT ASDP Indonesia Ferry [Persero].

Kawasan Pantai Pede juga dijejali bangunan hotel berbintang. Di lokasi ini banjir setinggi lutut.

Di Dusun Cowang Dereng, Desa Batu Cermin, yang merupakan kawasan pemukiman, sejumlah rumah ikut terendam banjir, memaksa warga harus memindahkan barang-barang ke atas kasur, juga tempat lain yang lebih tinggi.

Saat Floresa mendatangi rumah Emilia Nimat, salah seorang warga Cowang Dereng, ia bersama keluarganya memilih duduk di atas kasur, setelah air setinggi 20 sentimeter menggenangi rumah, termasuk kamar mereka.

Kondisi serupa juga terjadi di rumah-rumah tetangganya. Sekitar belasan rumah ikut terendam banjir.

Emilia berkata, rumahnya selalu digenangi banjir setiap kali hujan selama tiga tahun terakhir.

Rumah keluarga Emilia Nimat di Cowang Dereng, Labuan Bajo yang terendam banjir pada 20 Januari 2025. (Dokumentasi Floresa)

“Kalau musim hujan [kami] cemas, selalu waspada banjir. Rumah kami ada di titik rendah,” kata warga RT 07 Cowang Dereng tersebut.

Di rumah kontrakan salah satu warga lain di Cowang Dereng yang meminta Floresa tidak menulis namanya, ia menyimpan semua barangnya di atas kasur setelah air masuk hingga kamar dan dapur.

“Saya akan menginap di rumah teman untuk sementara,” kata warga itu yang sehari-hari menjual makanan.

Rumah salah satu warga di Cowang Dereng yang terendam banjir hingga bagian dapur pada 20 Januari 2025. (Dokumentasi Floresa)

Agus Fernandes, Ketua RT 07, Dusun Cowang Dereng, berkata, banjir yang terjadi di wilayahnya dipicu oleh sempitnya saluran pembuangan air. 

“Jika hujan dengan intensitas tinggi,” katanya kepada Floresa, “airnya meluap karena tidak bisa tertampung di saluran.”

Sementara hujan masih mengguyur, Agus bersama warganya ikut membersihkan saluran air saat banjir tersebut. Ia menggerakkan mereka membersihkan sampah dan rumput di sekitar saluran air.

Agus pun meminta Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat “agar serius memperhatikan masalah drainase” di wilayahnya.

Harapan serupa ia sampaikan kepada para anggota DPRD.

“Setiap kali reses kami selalu mengusulkan untuk selalu memperlebar saluran drainase, agar ke depan tidak menghadapi bencana banjir lagi,” katanya.

Di Cowang Dereng, tepat di sebelah rumah Emilia, terdapat Kantor Dewan Pimpinan Cabang PDI Perjuangan. Bangunan kantor yang tinggi dan saluran air di bagian depan yang bersih membuatnya aman dari banjir.

Sementara itu, di sebelah utara pada lokasi yang agak tinggi, terdapat perumahan elite ‘Royal House.’ 

Pantauan Floresa, di perumahan itu tidak ada got, membuat air hujan dibiarkan mengalirkan ke gang dan kebun warga sekitar. Air tersebut kemudian ikut merendam rumah warga.

Peruhaman ‘Royal House’ di Cowang Dereng, Labuan Bajo yang di depannya tidak ada got. (Dokumentasi Floresa)

Bencana Rutin Beberapa Tahun Terakhir

Dalam catatan Floresa, ini merupakan banjir terparah kedua di Labuan Bajo, kota dengan topografi berbukit-bukit yang terletak di ujung barat Pulau Flores.

Banjir pertama terjadi pada 2023. Kala itu warga yang diwawancara Floresa menyebutnya sebagai banjir terparah selama mereka tinggal di Labuan Bajo.

Sejumlah titik yang terkena banjir saat itu termasuk di wilayah lereng seperti di Racang Buka, yang dipicu luapan air dari kali-kali yang bersumber dari wilayah Hutan Bowosie, kawasan hutan di puncak kota. Banjir juga terjadi di Kelurahan Wae Kelambu, Kelurahan Gorontalo, hingga Desa Golo Bilas.

Berbicara dengan Floresa pada 20 Januari, Cypri Jehan Paju Dale, peneliti yang selama dua dekade terakhir ikut mengkaji proses pembangunan di Labuan Bajo mengkritisi tata kelola pemerintahan yang buruk.

“Saya berada di Labuan Bajo ketika bencana ini terjadi. Hujan lebat hanya berlangsung tiga jam saja, sebagian kota dilanda banjir,” katanya.

Menurut Cypri, banjir yang makin sering terjadi selama beberapa tahun terakhir tidak terlepas dari cara kerja pemerintahan mantan Presiden Joko Widodo “yang membangun kota ini dengan tidak pakai otak.”

Ia menyebut pola pembangunan yang malah mengubah kawasan hutan menjadi kawasan pariwisata, seperti Hutan Bowosie.

“Demi ambisi membangun pariwisata super premium, Hutan Bowosie dialihfungsikan oleh presiden lewat Keputusan Presiden [Kepres] Nomor 32 Tahun 2018 menjadi kawasan bisnis,” katanya.

Kepres itu mengatur tentang pembentukan Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores [BPO-LBF] yang kemudian mengelola lahan seluas 400 hektare di Hutan Bowosie untuk pembangunan kawasan bisnis pariwisata.

Dikenal sebagai Parapuar, BPO-LBF, lembaga berstatus sebagai Badan Layanan Umum yang berada di bawah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,  telah membangun jalan ke kawasan tersebut yang membongkar wilayah hutan.

Jalan yang dibangun BPO-LBF membelah kawasan Hutan Bowosie. (Dokumentasi Floresa)

Cypri juga memberi catatan pada drainase yang “tidak ditata baik dan izin pendirian hotel-hotel besar dan kecil digelontorkan tanpa analisis dampak lingkungan.”

“Bahkan ada hotel milik BUMN yang dibangun di ruang sempadan pantai,” katanya merujuk pada Hotel Meruorah, yang “menghambat resapan air dan memblok aliran air dari darat ke laut.”

Peneliti lain, Gregorius Afioma, menyebut kondisi Labuan Bajo yang langganan banjir membuatnya “semakin mirip” dengan kondisi di Jakarta yang saban tahun selalu banjir saat musim hujan.

“Fenomena ini tak lagi mengejutkan, baik dalam beberapa tahun terakhir maupun di masa mendatang,” katanya.

Ia berkata, hukum alam bahwa ‘air mengalir ke tempat yang lebih rendah’ tampaknya tak berlaku di Labuan Bajo. 

“Meski topografinya berbukit-bukit dan jauh dari kesan datar seperti Jakarta, banjir tetap saja terjadi,” katanya.

Senada dengan Cypri, ia juga menyoroti pembangunan masif dalam beberapa tahun terakhir, seperti alih fungsi lahan hutan di area kota, betonisasi yang merajalela, hingga reklamasi.

“Sayangnya, faktor-faktor tersebut enggan disentuh sebagai biang keladi. Sebab, di sisi lain, mereka adalah simbol kemajuan kota ‘super-premium,” katanya.

Hal yang paling mudah disalahkan, kata Afioma yang pernah menjadi direktur lembaga riset dan advokasi Sunspirit for Justice and Peace di Labuan Bajo, adalah sampah.

“Pada akhirnya, banjir mungkin bukanlah masalah besar, selama warganya mulai terbiasa, seperti di Jakarta,” katanya.

Jika nanti lelah menyalahkan sampah, katanya dengan nada satir, “anggap saja ini ‘ujian dari Tuhan.’”

Sementara itu, pegiat sosial Doni Parera menyoroti lokasi resapan air alami yang “telah ditimbun, beralih fungsi jadi pemukiman dan terjadi penyempitan daerah aliran sungai.”

Selain itu, jelasnya, “alur-alur kali kering malah ditutup, ditimbun.”

Hal tersebut, jelas Doni, menyebabkan air mencari aliran baru ketika volumenya banyak, terutama saat musim hujan.

Ia juga memberi catatan pada “pembangunan infrastruktur fisik yang tidak mampu berpikir ke depan untuk mengantisipasi bencana seperti banjir.”

“Hasilnya adalah seperti yang sedang kita alami,” katanya.

Kondisi salah satu got di Cowang Dereng sepanjang sekitar 15 meter yang berbentuk seperti kolam, tanpa ada saluran keluar. Hal ini membuat air terus tergenang. (Dokumentasi Floresa)

Butuh Pembenahan

Cypri Jehan Paju Dale menyatakan, sangat disayangkan bahwa Labuan Bajo, “kota yang alam dan budayanya sangat potensial untuk menjadi destinasi pariwisata kelas dunia terancam jadi kota rawan bencana akibat salah kebijakan.”

Karena itu, kata dia, butuh evaluasi serius pada model pembangunan yang sudah dan sedang dijalankan.

“Kalau kota ini mau benar-benar dibangun jadi kota wisata yang memiliki masa depan, pemerintah sekarang perlu lakukan koreksi total,” kata Cypri.

Salah satunya adalah koreksi terhadap kebijakan rezim Joko Widodo, seperti mencabut Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 2018.

“Hutan Bowosie perlu dikembalikan sebagai hutan pelindung kota,” katanya.

“Jika tidak, Labuan Bajo terancam jadi kota pariwisata murahan dan kumuh,” tegas Cypri.

Laporan ini dikerjakan oleh Doroteus Hartono dan Arivin Dangkar

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA