Korban Kekerasan Seksual Sering Bungkam, Perlu Upaya Hapus Stigma dan Perkuat Solidaritas

Anak muda diajak untuk tak lagi apatis terhadap kekerasan seksual di lingkungan mereka, termasuk di institusi pendidikan

Floresa.co – Seorang akademisi yang baru-baru ini berbicara dalam diskusi di Flores tentang kekerasan seksual menyebut perempuan masih kerap dianggap sebagai objek sehingga membuat mereka memilih bungkam ketika menjadi korban.

Selain itu, kata Kuni Nasihatun Arfif, dosen hukum Universitas Muhammadiyah Gombong di Jawa Tengah, “perempuan kerap mendapat stigma bahwa mereka hanya ‘kelas kedua’ yang mengurus domestik.”

Sementara “laki-laki sebagai kelas pertama kerap dianggap layak berbicara di depan umum dan cocok menjadi pemimpin,” kata Nuke, sapaannya.

Pandangan itu membuat perempuan “sering dimarginalisasi,” yang berakibat pada bungkamnya mereka kala menjadi korban kekerasan seksual.

Nuke menyampaikan hal itu dalam diskusi bertajuk “Perempuan Bercerita: Keluar dari Mimpi Buruk” di Rumah Baca Aksara, kolektif kaum muda berbasis di Ruteng, Kabupaten Manggarai.

Diskusi pada 15 Maret itu merupakan respons atas maraknya kasus kekerasan seksual akhir-akhir ini di Flores, khususnya di Kabupaten Sikka dan Manggarai Timur. 

Semua korban yang kasusnya terungkap ke publik merupakan perempuan.

Bagi Nuke, mendiskusikan kekerasan seksual bukan hanya tanggung jawab perempuan.

Diskusi tersebut, katanya, selayaknya lintas gender sekaligus lintas sektor, tak terkecuali dengan aparat penegak hukum.

Kehadiran aparat penegak hukum dalam diskusi kekerasan seksual menjadi penting demi “menghindarkan korban dari diskriminasi dan viktimisasi ulang.”

Butuh Keberanian

Diskusi itu melibatkan sekitar 30 peserta, termasuk warga adat, pelajar dan mahasiswa. 

Nuke secara khusus mengajak pelajar melek terhadap kekerasan seksual di lembaga pendidikan masing-masing, ruang yang ia pandang “belum sepenuhnya menjadi tempat yang aman dari kekerasan seksual.”

Masyudi Onggal, seorang warga adat Poco Leok menyepakati Nuke, berkata bahwa “relasi kuasa yang berlapis di tempat pendidikan memicu korban kekerasan seksual cenderung diam.”

“Diamnya para korban memicu langgengnya kekerasan seksual di sekolah maupun kampus,” katanya.

Ia juga menyoroti kecenderungan menormalisasi pelecehan seksual sebagai suatu bentuk keakraban.

“Ini berbahaya. Kita harus mulai dengan kesadaran untuk memahami batasan antara kasih sayang dan pelecehan seksual.” 

Bernadus Tube, dosen Unika St. Paulus Ruteng menekankan pentingnya keberanian mahasiswa menyuarakan isu kekerasan seksual di lingkungan kampus.

“Diskusi tentang kekerasan seksual selama ini sensitif dibicarakan,” katanya. 

Ia juga menekankan pentingnya “keberanian mahasiswa untuk mengungkap kasus” yang mereka alami dan ketahui.

“Jangan sampai korban terus merasa takut, sementara pelaku bebas melenggang tanpa konsekuensi,” katanya.

Sementara Natasia Angkur, peserta diskusi yang merupakan perwakilan pengurus OSIS SMAN 1 Langke Rembong mendorong pelajar dan mahasiswa memulai kampanye stop kekerasan seksual di tempat pendidikan masing-masing.

Jangan “Masa Bodoh”

“Saya berdosa, saya sungguh berdosa, sebab saya perempuan yang datang bimbingan [skripsi], tetapi enggan melepas pakaian,” demikian penggalan puisi yang ditulis dan dibacakan oleh Leonardus Afendri, mahasiswa Unika St. Paulus Ruteng.

Berjudul “Pengakuan,” puisi tersebut bercerita tentang relasi kuasa di lingkungan kampusnya.

Relasi kuasa memicu kekerasan seksual menahun di tempat pendidikan tinggi itu, namun tidak banyak yang terungkap.

Seusai pembacaan puisi, seorang peserta mengutip pernyataan Nur Dafiq, seorang dosen kampus tersebut dalam artikel wawancara dengan Floresa soal kasus kekerasan seksual di lingkungan ia bekerja pada 2024. 

Nur menyebut dua hingga tiga korban sudah berani mengungkap kasusnya. 

Sementara beberapa korban lain “belum sepenuhnya berani mengungkap karena takut nilai mereka akan berkurang.”

Sebagian dari mereka memilih diam demi menyelamatkan skripsi, meski harus menerima perlakuan buruk dari pegawai, dosen maupun sesama mahasiswa.

Merespons peserta diskusi tersebut, Leonardus berkata “pelaku kekerasan seksual seringkali orang yang dihormati dan dianggap suci oleh masyarakat,” meski tidak merinci lebih lanjut pihak yang dimaksud.

Pandangan tersebut, katanya, membuat korban merasa tidak berdaya untuk melapor.

Kala korban merasa tak sanggup bicara, kata Kuni Nasihatun Arfif, solidaritas menjadi penting untuk memutus rantai kekerasan seksual. 

“Jangan ‘masa bodoh’ terhadap kasus kekerasan seksual,” katanya.

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

spot_img

BACA JUGA

BANYAK DIBACA