Floresa.co – Noldi Nenobanu berdiri sembari menatap permukaan air yang tenang di Bendungan Temef.
Dengan sepotong kayu di tangan kanannya, ia menunjuk ke salah satu titik di bagian tengah bendungan itu.
“Di situ dulu ada pisang dan jagung yang kami tanam. Tanah itu hidup kami,” katanya kepada Floresa pada 27 Maret.
Bendungan yang berada di Desa Konbaki, Kecamatan Polen, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT itu merupakan salah satu dari tujuh bendungan di NTT yang dibangun pada era Presiden Joko “Jokowi” Widodo, bagian dari Proyek Strategis Nasional atau PSN.
Bagi Noldi, bendungan itu “lebih banyak menghadirkan kehilangan.”
Selain kehilangan tanah, kata dia, ganti rugi lahan warga juga belum kunjung dibayar, termasuk untuk keluarganya, kendati bendungan sudah diresmikan Jokowi pada 2 Oktober 2024.
Bendungan itu membentang di tiga desa. Dua di antaranya-Oenino dan Pene Utara-tercakup dalam Kecamatan Oenino dan Desa Konbaki, Kecamatan Polen.
Menelan anggaran Rp2,7 triliun, panjang puncak bendungan itu 535 meter, dengan tinggi 54,35 meter.
Dengan volume tampung 45,79 meter kubik, Bendungan Temef digadang-gadang untuk mengairi 4.500 hektare lahan tanam yang mampu menyediakan air baku dengan debit 131 liter/detik.
Penerima manfaatnya, menurut pemerintah, adalah 28.000 kepala keluarga di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kabupaten Malaka.
Ganti Rugi yang Mandek

Aminadab Teflopo, seorang Meo–sebutan panglima perang adat di daratan Pulau Timor–bercerita, ia dahulu memiliki lahan seluas 4,1 hektare.
Dari jumlah tersebut, 3,1 hektare merupakan lahan kering dan sisanya lahan basah.
Di lahan kering itu, ia menanam jagung, padi, kacang-kacangan dan umbi-umbian, sumber penghidupan utamanya.
Pada 2023 ia melepaskan seluruh lahannya untuk bendungan itu.
Tahun itu juga Kantor Badan Pertanahan Nasional di Kabupaten Timor Tengah Selatan membayar ganti rugi untuk lahan basahnya sebesar Rp137 juta. Setahun kemudian ia menerima pembayaran ganti rugi untuk tanaman yang tumbuh di atas lahan basah tersebut sebesar Rp317 juta.
Namun, dari keseluruhan lahan kering kepunyaannya, baru 2,4 hektare yang mendapat ganti rugi sebesar Rp600 juta.
Selain kecewa pada ganti rugi yang belum sepenuhnya dibayar, ia berkata, perhitungannya tidaklah adil bila merujuk pada proses jual beli yang berlaku bagi warga Desa Konbaki secara turun-temurun.
Dalam sistem jual beli tanah tradisional di tempat itu, kata Aminadab, harga tanah ditentukan melalui kesepakatan antara pembeli dan penjual dengan memperhatikan kondisi lokal dan kebutuhan kedua belah pihak.

Namun, Aminadab menilai, proses ganti rugi yang dilakukan pemerintah jauh lebih kompleks dan tidak melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam menentukan nilai tanah.
Ia menyebutkan, salah satu aspek yang dirasa tidak diperhitungkan dengan baik adalah penentuan harga untuk setiap bidang tanah yang seharusnya disesuaikan dengan kualitas, aksesibilitas, dan pemanfaatannya oleh pemilik.
Kendati demikian, mereka dikondisikan untuk mengikuti saja perhitungan yang ditetapkan pemerintah, dengan dalih bahwa ini adalah PSN.
Kini, Aminadab memilih beternak sembari menunggu pelunasan pembayaran ganti rugi itu.
Bila sudah terbayar lunas, “uangnya untuk membeli lahan tanam baru,” katanya.
Hutan Milik Siapa?
Aminadab dan keluarga Noldi hanyalah dua dari 37 keluarga di Desa Konbaki yang kompensasinya belum dibayar. Mereka merupakan pemilik 44 bidang tanah yang kini jadi lokasi Bendungan Temef.
Persoalan ganti rugi, menurut Pina One Nope, berkelindan dengan klaim Dinas Kehutanan Timor Tengah Selatan bahwa lahan bendungan itu adalah hutan negara sejak zaman Belanda.
Pina merupakan seorang usif–sebutan untuk Raja Amanuban di bagian barat Pulau Timor yang wilayahnya mencakup Konbaki.
Padahal, menurut Pina, status kawasan Hutan Laob Tumbesi–yang mencakup lokasi bendungan itu-secara administratif baru ditetapkan pada 1983, bukan pada masa kolonial.
“Mereka salah menafsirkan dokumen kolonial. Hutan adat dianggap sebagai milik Belanda. Padahal, tidak demikian,” katanya kepada Floresa pada 14 April.
Ia menjelaskan, pada masa itu, wilayah Amanuban merupakan zelfbestuur (pemerintahan sendiri), semacam bentuk negara dalam negara, di mana kekuasaan atas tanah dan hutan berada dalam domain raja lokal, bukan otoritas kolonial pusat.
Ia menyebut dokumen kolonial yang menjadi rujukan pemerintah pusat berasal dari program kodifikasi hukum adat di Hindia Belanda atas usulan ahli hukum adat Prof. Cornelis van Vollenhoven pada tahun 1920.
Menurutnya, dokumen itu yang telah ia terjemahkan dari Bahasa Belanda, menunjukkan bahwa kawasan hutan yang dimaksud adalah hutan adat yang selama ini dikelola oleh masyarakat, bukan milik negara.

Ia juga menyoroti praktik penggabungan wilayah adat menjadi kawasan hutan negara melalui Keputusan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) pada tahun 1983 oleh Kementerian Kehutanan.
Dalam proses itu, katanya, empat wilayah—Konbaki, Oenino, Fatukusi, dan Fatukopa—digabung menjadi satu hamparan yang diklaim sebagai kawasan hutan, meskipun tanah tersebut telah dihuni dan dikelola masyarakat secara turun-temurun.
Saat proses pengukuran, ia bersama para pemilik lahan yang hadir langsung berdiri di batas-batas lahan masing-masing untuk memastikan kejelasan batas kepemilikan.
Namun, katanya, setelah pengukuran selesai dan saat proses negosiasi penuntutan ganti rugi berlangsung, tim appraisal-yang menaksir ganti rugi- dari Badan Pertanahan menyampaikan bahwa sebagian lahan warga beririsan dan telah masuk ke dalam batas wilayah kehutanan Laob Tumbesi.
“Kami tidak pernah diberi penjelasan jelas, beririsan dengan siapa atau wilayah apa. Ini tidak transparan dan bertentangan dengan sejarah penguasaan tanah kami,” katanya.
Pina mengingat bahwa pada tahap awal sosialisasi, mereka diberitahu bahwa “keberadaan Bendungan Temef yang merupakan bagian dari PSN dan meminta dukungan penuh dari masyarakat, termasuk imbauan agar tidak menolak rencana tersebut.”
Imbauan itu, katanya, berkaca pada “anggaran pembangunan proyek yang nilainya bukan main-main.”
Selepas dihimbau, warga desa “diiming-imingi uang ganti rugi dengan nominal 190 miliar,” hal yang menurutnya “tentu membuat warga merasa nominal itu sepadan dengan lahan mereka yang diberikan.”
Pina berkata pengabaian terhadap hak mereka mendapat ganti rugi, jelas bentuk penghilangan hak warga negara.”
Ia juga menilai bahwa merujuk pada Konstitusi, khususnya Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menjamin pengakuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat hukum adat, bersifat deklaratif dan belum sepenuhnya diterapkan dalam kebijakan negara.
“Instrumen negara justru yang merusak sendiri jaminan hukum itu,” tambahnya.
Karena itu, perihal proses ganti rugi yang belum selesai, ia menilai “negara telah gagal menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat Timor dan justru menjadi aktor utama yang merampas ruang hidup kami.”
Menurutnya, hak-hak masyarakat atas tanah yang telah mereka kelola secara turun-temurun kerap diabaikan, sementara kewajiban mereka sebagai warga negara, seperti membayar Pajak Bumi dan Bangunan, tetap dipenuhi secara tertib setiap tahun.
Ironisnya, kata dia, ketika tanah tersebut hendak dimanfaatkan negara untuk proyek pembangunan, statusnya tiba-tiba diklaim sebagai milik negara.
Ia menegaskan bahwa masyarakat merasa ditipu—tanah dirampas tanpa kompensasi yang adil, dan hingga kini mereka kehilangan ruang untuk bertani tanpa ada solusi.
“Negara ini tidak hadir memberi jalan keluar, justru masyarakat yang menjadi korban,” katanya.
Perempuan Terpaksa Jadi Buruh Migran
Sementara situasi di Desa Konbaki tak lagi membuat warga punya lahan cukup untuk digarap, soal lain terus membayangi, terutama yang menimpa kaum perempuan.
“Di tempat kami, kian banyak perempuan yang merantau bekerja ke luar negeri,” kata Pina One Nope.
Meski tak merinci jumlahnya, kata dia, kehilangan lahan yang jadi lokasi Bendungan Temef turut membuat akhir-akhir ini perempuan di desa itu terus memilih meninggalkan desa.
Pina mengaku, mereka tidak punya pilihan lain, kendati beberapa perempuan yang telah lebih dulu pergi mengalami kekerasan di negara tujuan.
Pada 2018, “saya bahkan didatangi keluarga yang menduga anak perempuan mereka menjadi korban TPPO,” merujuk pada Tindak Perdagangan Orang.
Mereka mengizinkan anak perempuan itu berangkat ke Singapura lantaran tergiur iming-iming gaji tinggi dari agen perekrut. Komunikasi mereka dengan sang anak berlangsung lancar pada bulan pertama penempatan. Namun, keluarga mengaku tak lagi dapat menghubungi anaknya sesudahnya hingga hari ini.
Pina mengaku pernah mengadukan kasusnya ke perwakilan pemerintah daerah, “hanya sampai sekarang mereka tidak tanggapi.”
Sementara menurut Aminadab, sebelum pembangunan Bendungan Temef, perempuan di Desa Konbaki berperan besar dalam mengelola hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga.
Mereka menanam padi, sayuran, dan tanaman lokal lainnya tanpa harus bergantung pada pasokan dari luar.
Namun kini, setelah sebagian besar lahan mereka tergenang, situasi berubah drastis.
“Jalan Terpaksa”

Mengomentari fenomena di Desa Konbaki, Pamungkas Ayudaning Dewanto, peneliti masalah buruh migran, berkata, migrasi perempuan di desa itu merupakan bagian dari fenomena “jalan terpaksa” guna meraih kehidupan yang lebih baik.
“Push factor,” demikian teori migrasi merangkum faktor-faktor yang memicu keterpaksaan itu, membuat seseorang akhirnya meninggalkan kampung halaman.
Pada saat yang sama, kata peneliti postdoctoral di Waseda Institute of Asian Migration di Tokyo, Jepang, ”pull factor” yang salah satunya terkait daya tarik di negara penempatan, memperkuat dorongan seseorang akhirnya bermigrasi.
“Pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi, meski berat dan penuh risiko, menjadi pilihan terakhir para perempuan yang kehilangan hak atas tanah dan terpinggirkan dari mata pencaharian mereka,” kata Yudha, sapaannya.
Membenarkan pernyataan Yudha, Kepala Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Provinsi NTT, Suratmi Hamida berkata, minimnya kesempatan kerja di daerah membuat mereka memilih bekerja di luar negeri, meski dengan risiko besar.
“Di NTT, gaji yang didapat hanya sekitar satu juta, bahkan bisa di bawah itu. Tapi di Malaysia, mereka bisa memperoleh hingga enam juta,” katanya pada 9 April.
Hal demikian,“menjadi alasan banyak orang memilih merantau,” yang umumnya menjadi pekerja rumah tangga.
Kabupaten Timor Tengah Selatan, kata Suratmi, merupakan salah satu penyumbang terbesar pekerja rumah tangga asal NTT, selain Sumba Barat Daya, Sumba Barat, Sumba Timur, Kupang, Malaka dan Belu.

Sementara Koordinator Advokasi Serikat Buruh Migran Indonesia, Yunita Rohani menyatakan maraknya migrasi perempuan menunjukkan “ketimpangan gender terkait beban ekonomi keluarga.”
“Beban (mencari) nafkah seringkali dibebankan pada perempuan,” katanya pada 23 April, “praktik yang mesti diubah melalui penyadaran dan edukasi berkelanjutan.”

Yudha sepakat dengan Yunita soal pengaruh relasi gender dalam keluarga terhadap migrasi perempuan.
Ia mencontohkan di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, perempuan dipandang “lebih terhormat” bila bermigrasi ke negara-negara tertentu, “seperti Arab Saudi, yang dalam perspektif agama dianggap lebih ‘moral’ dan “sah.’”
Namun, “tidak menutup kemungkinan migrasi menjadi semacam pelarian dari masalah keluarga.”
“Akhirnya perempuan lebih rentan karena mereka bermigrasi bukan untuk mencari kesempatan yang lebih baik,” katanya.
Migrasi akhirnya menjadi jalan keluar bagi banyak perempuan, “meski mereka harus membayar harga yang sangat tinggi.”
“Bermigrasi bisa berisiko mati, tetapi tidak bermigrasi bisa berarti mati karena kelaparan,” katanya.
Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak NTT, Nikolaus Kewuan, tak menampik masalah dalam keluarga, termasuk kekerasan, turut mendorong perempuan bermigrasi.
Menurut Nikolaus, hal tersebut berkontribusi pada peningkatan angka migrasi perempuan, khususnya kelompok usia produktif di daerah-daerah kantong kemiskinan.
“Migrasi menjadi pelarian yang dianggap aman dari kekerasan dan tekanan sosial, padahal itu membuka risiko baru, seperti eksploitasi dan perdagangan orang,” katanya kepada Floresa pada 22 April.

Pembangunan yang Tidak Memperhatikan Dampak terhadap Perempuan
Pendeta Emmy Sahertian, pendiri Hanaf Perempuan Flobamoratas, komunitas pendamping perempuan berbasis di Kupang itu berkata, pemerintah semestinya mencari jalan keluar terhadap fenomena banyak migrasi perempuan di NTT.
Salah satunya, kata dia, adalah perumusan kebijakan yang tidak kemudian mendorong peningkatan arus migrasi.
Ia menyebut, pembangunan Bendungan Temef merupakan bagian dari proses rekayasa alam, jelas berdampak pada warga, termasuk perempuan.
“Rekayasa alam tersebut tak memperhitungkan kondisi ekologis wilayah sekitar, terutama terkait kehidupan perempuan,” katanya.

Daratan Pulau Timor, katanya pada 6 April, “kaya akan kawasan karst yang dibutuhkan sepanjang hidup warga.”
Sejumlah mata air terbentuk di kawasan karst sehingga rusaknya ekosistem karst menurunkan kualitas dan kuantitas air yang berujung pada hilangnya mata air.
Ketika bendungan dibangun, kata Emmy, “akses air yang menopang reproduksi dan kesehatan perempuan secara umum berpotensi diprivatisasi.”
“Bendungan Temef, yang merupakan proyek besar, tidak pernah mempertimbangkan posisi perempuan adat dan warga adat pada umumnya,” katanya.
Padahal, “hutan di kawasan itu adalah sumber penghidupan, terutama untuk menyekolahkan anak-anak mereka.”
Emmy juga mengkritik kebijakan pemerintah “yang tidak berbasis gender dan cenderung mengabaikan posisi perempuan.”
“Bendungan ini hanya akan menguntungkan segelintir orang dan merugikan banyak pihak, terutama perempuan,” katanya.
Ia menambahkan, “pemerintah harus mempertimbangkan aspek gender dalam setiap kebijakan, termasuk pembangunan infrastruktur seperti bendungan.”
Bertahan di Tanah Rantau
Sementara kian banyak perempuan yang pergi, yang sudah lama merantau juga enggan memilih pulang karena bingung apa yang bisa dijadikan sandaran untuk bertahan hidup di kampung halaman.
Salah satunya dialami Maria Nenobanu, kakak dari Noldi Nenobanu yang sudah belasan tahun bertahan di negeri orang.
Kepergian Maria 17 tahun lalu ke Malaysia bukan beralas mimpi besar atau cita-cita setinggi langit.
Ia berusia 18 tahun dan sedang mengandung ketika kekasihnya pergi tanpa berpamitan. Karena memikirkan masa depan anaknya kelak, ia harus mencari cara untuk menafkahinya.
Ia bisa saja mencari pekerjaan yang tak jauh dari kampungnya di Desa Konbaki.
Namun, bisik-bisik serta tatapan sinis para tetangga, akunya, membuat ia tak tahan.
“Kakak saya terlalu amat sering menyalahkan dirinya sendiri,” kata Noldi Nenobanu, adik laki-lakinya.
Perasaan demikian membuat Maria “merasa tak layak berada di kampung sendiri.”
Karena itu, ia meninggalkan kampung halamannya pada 2008. Menitipkan bayi laki-lakinya ke sang ibu, ia memberi janji sederhana: “Tunggu saya pulang. Saya akan cari uang agar ia bisa sekolah, bisa punya hidup yang lebih baik.”
Maria menepati janji. Anak laki-lakinya bisa bersekolah sampai jenjang Sekolah Menengah Atas.
Noldi berkata, Maria pernah pulang kampung hingga nyaris setahun. Ia rehat sebagai buruh migran lantaran “mendapat perlakuan kurang baik” dari majikan, meski tak merinci bentuknya.
Ia akhirnya kembali merantau bekerja ke luar negeri. Kali ini bukan lagi Malaysia yang jadi tujuan, melainkan Singapura.
Sementara Bendungan Temef telah menghilangkan lahan tanam yang menjadi sumber penghidupan keluarganya, Noldi berkata, ia tak tahu sampai kapan kakaknya akan terus bertahan di luar negeri.
Untuk bisa kembali ke Desa Konbaki, katanya, juga tidaklah mudah karena “lahan sudah tidak ada.”
Editor: Ryan Dagur
Peliputan dan penulisan laporan ini didukung Konde.co melalui “Fellowship Liputan Isu Lingkungan Berperspektif Ekofeminisme”