Sengkarut di RSUD Borong, Manggarai Timur: Dokter Spesialis yang Kritisi Manajemen Diberhentikan, Direktur Hanya Janji Beri Penjelasan

Dokter itu mendesak evaluasi internal dalam surat kepada direktur dan tembusan kepada bupati dan Ketua DPRD

Floresa.co – Dokter Alexander Michael Joseph Saudale menerima sepucuk surat hanya dua hari usai mengungkap sejumlah soal terkait sengkarut tata kelola Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Borong di Kabupaten Manggarai Timur.

Surat yang ditandatangani direktur dr. Kresensia Nensy itu menyatakan bahwa ia tidak lagi menerima gaji, terhitung sejak 1 Mei 2025.

Nensy beralasan Alex – seorang spesialis penyakit dalam – “mengabaikan panggilan tertulis pertama, kedua, serta panggilan lisan melalui telepon dan pesan WhatsApp.” 

Ia tidak merinci soal waktu pemanggilan itu dan alasannya.

Alex menerima surat tertanggal 30 April itu pada 2 Mei.

Surat yang salinannya diperoleh Floresa itu muncul setelah pada 28 April, Alex menyurati Nensy dan menarasikan sejumlah masalah dalam tata kelola rumah sakit. 

Beberapa di antaranya adalah keluhan terhadap model kepemimpinan otoriter dan ketimpangan perhatian terhadap para dokter.

Surat itu juga berisi sarannya untuk melakukan evaluasi dan pergantian kepemimpinan.

“Kalau kondisi seperti ini terus dibiarkan dan tidak direspon dengan baik, maka dokter-dokter yang hendak bekerja di kabupaten ini bisa berpikir dua kali,” tulisnya dalam surat itu.

“Saya menyarankan perlu penggantian kepemimpinan manajemen yang baru di RSUD Borong,” tambahnya.

Tembusan surat itu ditujukan kepada Andreas Agas dan Salesius Medi – bupati dan Ketua DPRD Manggarai Timur.

Kepada Floresa, Alex mengaku kaget dengan surat pemberhentian itu.

Ia mempersoalkan alasan Nensy bahwa bahwa mengabaikan pemanggilan.

Ia beralasan jadwal pemanggilan itu pada pukul 13.00 Wita bertabrakan dengan tugasnya yang menumpuk untuk menangani pasien di poliklinik. Hal itu membuatnya mengaku tidak memenuhi panggilan itu, apalagi tidak dijelaskan alasannya.

Ia juga berkata, ruangan tempatnya bekerja berada tepat di bawah ruangan direktur. 

“Kalau ada kebutuhan bisa disampaikan langsung, tapi tidak jelas tujuannya,” ujarnya.

Sementara direktur langsung memberhentikannya, Alex berkata, keluhannya sempat direspons DPRD Manggarai Timur dengan mendatangi RSUD Borong pada 30 April.

Sekitar belasan anggota DPRD menemui manajemen, namun “tidak ada tindak lanjut yang jelas.”

“Katanya mau rapat dengar pendapat,” kata Alex, hal yang hingga kini belum juga terwujud.

Dikeluarkan dari Sejumlah Grup WA, Ungkap Sejumlah Ketidakberesan

Alex berasal dari Rote. Menyelesaikan studi kedokteran di Universitas Indonesia, ia adalah Dokter Spesialis Penyakit Dalam Subspesialis Gastroenterohepatologi. 

Ia baru dua bulan bertugas di RSUD Borong, terhitung sejak 2 Maret 2025.

Dalam suratnya pada 28 April, Alex mengungkap 18 masalah di rumah sakit utama di Kabupaten Manggarai Timur itu yang berstatus kelas D.

Salah satu yang ia kritik adalah keputusan direktur mengeluarkannya dari grup WhatsApp internal.

Grup bernama LOTUS itu, kata Alex, beranggotakan 347 orang, termasuk dokter, tenaga medis dan non-medis. Grup itu “merupakan wadah utama untuk berkomunikasi dalam menyampaikan informasi yang penting terkait pasien.”

Ia dikeluarkan dari grup itu pada 23 April setelah menanyakan keberadaan dokter anestesi dan mempertanyakan prosedur tindakan operasi, khususnya pembiusan pasien.

Alih-alih dilakukan dokter, kata dia, pembiusan dilakukan oleh penata anestesi atau perawat. 

“Saat itu saya baru bertanya tentang dokter anestesi, posisinya di mana?” katanya.

Ia menilai pertanyaan tersebut wajar, namun pesannya dihapus Nensy lalu ia dikeluarkan dari grup.

Belakangan, ia mendapat informasi bahwa satu-satunya dokter anestesi di RSUD Borong sedang bepergian ke Korea sejak 16 April.

Keluar dari grup itu, kata dia, membuatnya “terhambat dalam bekerja.”

Alex mengaku sebelumnya aktif menyuarakan berbagai persoalan di RSUD Borong lewat grup itu, mulai dari kebersihan, keamanan, hingga kenyamanan pasien.

Beberapa di antaranya adalah soal “banyak orang yang merokok di area rumah sakit, lampu-lampu yang dibiarkan menyala sampai jam 10 pagi, hingga rumput-rumput kering yang rawan terbakar.”

“Bahkan keluarga pasien tidur di lorong-lorong karena tidak ada ruang tunggu yang layak,” ujarnya.

Berbagai masukan dan laporan itu, katanya, “tidak pernah mendapat apresiasi dari pihak manajemen rumah sakit.”

Selain dari LOTUS, Alex juga mengaku dikeluarkan dari Grup WhatsApp Komite Medik.

Keputusan itu, katanya, tanpa pemberitahuan, juga tidak ada respons ketika ia bertanya langsung kepada Ketua Komite Medik, dokter Agrifa.

Alex juga mengaku dikeluarkan dari grup Komite Farmasi, “hanya karena menanyakan soal admin grup.”

Ia menuding langkah rekan sejawatnya itu sebagai “bentuk gaya kepemimpinan otoriter yang tidak menghargai tenaga medis.”

“Saya berharap ada perubahan dalam gaya kepemimpinan yang lebih manusiawi dan menghargai profesionalisme kami sebagai tenaga medis,” tulisnya.

Alex beralasan, protesnya pada manajemen rumah sakit itu, termasuk dokter anestesi karena berkaitan dengan “keselamatan pasien”.

Masyarakat “bisa saja tidak mendapatkan penanganan yang sesuai kompetensi” dan berpotensi melanggar aturan.

Soal lain yang diangkat Alex adalah ketimpangan dalam pembagian insentif dengan dokter spesialis lain.

Dokter anestesi, kata dia, mendapat intensif Rp50 juta, sedangkan spesialis lain Rp40 juta, yang kajian perbandingannya tidak dijelaskan kepada mereka.

Selain itu, Alex mempertanyakan aspek legalitas dan prosedur dalam pelaksanaan tindakan medis, termasuk potensi pelanggaran dalam pengajuan klaim ke BPJS Kesehatan.

Kendati tidak merinci pelanggaran yang dimaksud, ia menyatakan, “BPJS sebagai penyelenggara asuransi kesehatan bisa mempertanyakan klaim-klaim tindakan medis jika tidak sesuai prosedur.”

“Ini bisa dianggap sebagai fraud,” tulisnya, merujuk pada penyelewenangan.

Alex juga menyinggung ketidakterbukaan manajemen dalam rekrutmen Pendayagunaan Dokter Spesialis (PGDS) untuk formasi dokter spesialis penyakit dalam.

Ia mengaku telah menanyakan hal itu sejak Januari 2025, “tapi tidak ada respons dari direktur.”

Namun, katanya, tiba-tiba datang dokter yang baru menyelesaikan pendidikan pada Februari tahun ini.

Alex juga mengaku telah mengajukan nama istrinya sebagai calon dokter anak di rumah sakit tersebut.

Namun, Nensy “malah menyuruh saya yang menelepon sendiri.” 

“Harusnya, kalau serius, direktur yang menghubungi langsung,” katanya.

Ia beralasan, “kalau istri saya datang, kami tidak perlu cari kontrakan baru atau mobil tambahan, tapi tawaran ini tidak digubris.”

Alex juga mengkritik buruknya ketersediaan obat-obatan emergensi “yang sering kosong” serta pelayanan laboratorium yang tidak lagi dapat ditangani di rumah sakit itu.

“Bahkan pemeriksaan laboratorium sekarang malah dilakukan di luar, seperti di Puskesmas Borong atau Klinik Gratia,” jelasnya.

Di sisi lain, tulisnya, manajemen justru mengalokasikan biaya besar untuk kegiatan seperti bimbingan teknis ke Jakarta.

Ia mencontohkan bendahara rumah sakit yang bimbingan teknis sampai ke Jakarta dengan akomodasi penuh. 

“Padahal, itu bisa saja dilakukan via Zoom untuk efisiensi anggaran,” katanya.

RSUD Hanya Janji Beri Klarifikasi

Hingga berita ini dipublikasi, RSUD Borong belum memberikan klarifikasi soal sejumlah tudingan Alex.

Dihubungi pada 2 Mei, Nensy mengarahkan Floresa berkomunikasi dengan bagian humas. 

“Berita klarifikasi sudah disiapkan dari Humas RSUD Borong,” katanya.

Aryni Trismaya Arking, staf humas berjanji bahwa klarifikasi itu paling lambat disampaikan pada 5 Mei.

Floresa menghubungi kembali Aryni pada 5 Mei, yang dijawab bahwa rilis baru akan dikirim pada sore hari, yang kemudian diingkari.

Dihubungi kembali pada 8 Mei, Aryni mengklaim “belum ada instruksi resmi dari manajemen.”

“Kalau siap, rilis pasti akan kami kabari,” katanya.

Nensy hanya membaca pesan Floresa saat menanyakan janjinya tentang penjelasan dari humas, serta klaim Aryni bahwa belum ada instruksi dari manajemen.

Sementara itu, Ketua DPRD Manggarai Timur, Salesius Medi, yang mendapat tembusan surat dari Alex menolak berkomentar, meminta Floresa bertanya ke direktur. 

“Saya tidak paham betul apa duduk persoalan mereka sampai seperti itu,” katanya. 

“Kita belum Rapat Dengar Pendapat dengan dinas terkait,” tambah Medi.

Akan Tinggalkan Manggarai Timur

Alex berkata ia akan meninggalkan Manggarai Timur jika tidak ada tanggapan dari pemerintah daerah.

Ia mengaku hanya bertahan sampai akhir bulan ini karena masih menangani pasien di tempat praktik.

“Saya akan pulang ke Jakarta. Buat apalagi? Saya tidak bekerja,” katanya.

Alex mengaku telah mengirim suratnya pada 28 April secara fisik kepada Direktur RSUD, DPRD, Sekda dan dan Bupati Manggarai Timur.

“Bahkan ke Bupati dan Sekda saya sudah kirim melalui WhatsApp, tetapi tidak ada respons dari mereka,” katanya.

Sekretaris Daerah Manggarai Timur, Boni Hasudungan juga tidak merespons pesan WhatsApp dan panggilan telepon Floresa soal tanggapan pemerintah daerah terhadap kasus ini.

Alex berkata, sejak bekerja di RSUD Borong, ia tidak pernah menandatangani kontrak kerja, hanya menerima surat perintah kerja dan surat keterangan domisili.

Selama ini, katanya, ia berpikir kontrak itu mungkin masih dalam proses sehingga tidak menuntutnya.

Ia mengakui, ketiadaan kontrak kerja itu yang membuatnya rentan diberhentikan sepihak.

Laporan ini dikerjakan oleh Arivin Dangkar dan Anno Susabun

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA