Sosialisasi Pede: Siapa Dalang Pertemuan yang Tidak Representatif?

Labuan Bajo, Floresa.co – “Pertemuan ini tidak representatif,” kata Ustad Aladin Nasar, Kepala Desa Gorong Talo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar).

Dengan tegas, ia menyampaikan itu ketika diberi kesempatan berbicara dalam tatap muka dengan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Frans Lebu Raya di kantor Bupati Mabar, Kamis (29/10/2015), membahas masalah Pantai Pede.

Nada bicaranya tinggi dan berapi-api. Aladin mempertanyakan keabsahan peserta yang hadir dalam ruang sidang berkapasitas 20-an orang itu.

Mendengar itu, raut wajah Lebu Raya berubah total.

“Bicara yang sopan,” katanya memotong pembicaraan.

Mimiknya serius. Matanya melebar, dengan tatapan melotot.

Di dalam ruangan itu, Lebu Raya diapit dua bawahannya, Penjabat Bupati Manggarai Marius Jelamu dan Penjabat Bupati Mabar Tini Tadeus.

Meski diam sebentar, Aladin terus melanjutkan argumentasinya.

Menurutnya, peserta yang hadir dalam ruangan itu tidak mencerminkan suatu sosialisasi yang objektif.

“Kenapa investor boleh masuk, sementara teman saya di luar dilarang?” tegas Aladin.

Saat itu, tatapannya mengarah kepada Ibu Lidya Suharyo, perwakilan dari PT. Sarana Investama Manggabar (PT SIM), perusahan yang sudah mendapat izin dari Lebu Raya untuk membangun hotel berbintang di Pantai Pede – sebuah kebijakan yang menuai penolakan tegas dari mayoritas warga.

Di salah satu sudut ruangan itu, memang, Lidya tampak duduk manis.

Ia  mengenakan blazer berwarna putih, dipadu rok putih.

Sementara itu, di luar ruangan, kelompok pemuda, aktivis Komunitas Bolo Lobo yang tegas menolak privatisasi Pantai Pede, menyanyi bersama dan mementaskan kasi teatrikal.

Mereka tidak diperkenankan memasuki ruang rapat yang dikawal ketat pihak keamanan.

Rapat Terbatas

Pernyataan Aladin di hadapan Lebu Raya sangat beralasan. Dalam undangan sosialisasi yang difasilitasi Pemda Mabar ini, peserta undangan sangat terbatas.

Di luar beberapa instansi pemerintah, hanya sedikit saja elemen masyarakat sipil yang diundang.

Anehnya lagi, dalam surat undangan tertanggal 27 Oktober tersebut, nama-nama elemen sipil sudah ditentukan.

Hal ini berbeda dengan sosialisasi sebelumnya, antara masyarakat, utusan provinsi dan Pemkab Mabar, di mana hampir semua elemen masyarakat seperti LSM dan komunitas orang muda diundang.

Dan, pertemuan berlangsung di aula Sekda Mabar yang bisa menampung ratusan orang.

Sedangkan kali ini, langsung disebutkan tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh pemuda serta nama-namanya sudah ditentukan.

Butje Hello dan Antonius Hantam mewakili tokoh masyarakat. Tokoh agama Romo Vikep Labuan Bajo (namanya tidak disebut di undangan), Pastor Marsel Agot SVD dan Haji Ramang Isaka. Sementara tokoh pemuda diwakili oleh Florianus Surion Adu.

Hampir semua tokoh yang diundang itu hadir. Butje, Antonius dan Florianus diberikan kesempatan berbicara. Ketiganya tidak menyatakan secara tegas penolakan terhadap privatisasi.

Butje misalnya mengapresiasi usaha pemerintah karena mengakomodasi kepentingan masyarakat melalui taman rekreasi.

Florianus tampak lebih akrab dengan Lebu Raya. Dalam beberapa kesempatan, namanya disebut dalam suasana canda oleh gubernur.

Bahkan dalam sekali kesempatan, sambil tertawa Lebu Raya menyapanya dengan sebutan, “Pak Bos”.

Ferry—begitu ia biasa disapa—menekankan soal pendekatan. Menurutnya, paling penting adalah menggunakan pendekatan budaya dalam berinvestasi.

“Saya tidak membenci investor. Asalkan investor, yang penting bukan teroris. Demo itu biasalah,” katanya.

Sementara itu, perwakilan tokoh agama, tidak tampak dalam ruangan. Pastor Marsel Agot, salah satu tokoh agama yang dikenal sangat vokal dalam perjuangan penolakan privatisasi Pantai Pede, meskipun dalam pertemuan sebelumnya sangat berharap dapat bertatap muka langsung dengan gubernur, ternyata tidak hadir.

Dalam pertemuan sosialisasi Oktober tahun lalu, ia misalnya pernah mengatakan, “Kenapa gubernur tidak mau ketemu kami? Kami bukan komodo sehingga dia harus takut. Bukankah kami yang pilih dia?“

Tidak representatif, sebagaiamana kata Aladin, dipahami dalam situasi demikian.

Bukan saja sedikit perwakilan masyarakat yang hadir, mirisnya lagi ketika PT SIM yang tidak disebutkan sebagai pihak yang diundang, justeru hadir.

Lantaran protes itu, tiba-tiba dua aktivis komunitas Bolo Lobo dipersilakan masuk ke dalam ruangan, yaitu Marta Tulis dan Edward Angimoy.

Siapa yang Mengatur

“Kejanggalan” rapat sosialisasi Pede tercatat sudah terjadi dua kali dan berlangsung di kantor bupati Mabar.

Dua-duanya difasilitasi oleh Tini Tadeus. Kali lalu, pada 9 Oktober, Tini mengundang sejumlah elemen masyarakat untuk bertatap muka dengan pihak investor.

Meski surat undangan ia ditandatangani, namun, pada malam sebelum pertemuan, surat itu diantar oleh Ibu Lidya dari PT SIM.

Pertemuan itu akhirnya gagal, karena, baru saja dimulai, beberapa perwakilan masyarakat menyatakan walk out lantaran tidak melihat signifikansi pertemuan tersebut.

Pada pertemuan hari ini, surat undangan sosialisasi ditandatangani oleh Sekretaris Daerah Rofinus Mbon.

Ia mengatasnamakan bupati Mabar. Namun, ia sendiri tidak tampak dalam ruangan rapat.

Di akhir pertemuan, ketika semua orang sudah sibuk meninggalkan ruangan, Edward Angimoy meminta waktu berbicara dua menit.

“Tolong kalau pertemuan selanjutnya, semua diundang. Jangan hanya orang-orang ini.”

Lebu Raya menatapnya. “Itu bukan urusan saya,” katanya.

“Tolong hadirkan semua pak,” desak Edward.

“Itu bukan urusan saya. Pak bupati yang atur,” kata Lebu Raya sambil menunjuk Tini Tadeus.

Dengan santai sambil tersenyum, Tini berujar, “Nanti kita atur.” (Gregorius Afioma/ARL/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini