Agar Masyarakat NTT Tak Tersingkir di Tengah Kemajuan Pariwisata, Apa Kuncinya?

Jakarta, Floresa.co – Pariwisata di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sedang jadi primadona dalam beberapa tahun terakhir. Kunjungan wisatawan terus mananjak seiring dengan promosi yang luar biasa baik dari pemerintah daerah maupun dari pemerintah pusat.

Pemerintah pusat telah menetapkan salah satu daerah di NTT yaitu Labuan Bajo, Manggarai Barat (Mabar) sebagai bagian dari 10 destinasi wisata baru selain Bali.

Di tengah pesatnya kemajuan pariwisata ini, ada kekhawatiran masyarat lokal terpinggirkan.

Kepemilikan tanah di daerah pariwisata, misalnya  kerap bermasalah. Di Labuan Bajo,   sebagai contoh, penjualan tanah oleh masyarakat lokal kepada pemodal masif dilakukan.

Penjualan tanah itu diikuti dengan perpindahan hak milik atas tanah kepada pemilik baru yang merupakan pengusaha-pengusaha asal kota besar seperti Jakarta. Bahkan warga negara asing (WNA) dikabarkan ikut memiliki beberapa bidang tanah.

Proses penjualan tanah tersebut pun tidak terlepas dari aktivitas pihak-pihak yang ingin mencari keuntungan yang biasa disebut broker. Broker menjadi perantara antara penjual dan pembeli. Dalam proses negosiasi, broker bebas menentukan harga kepada calon penjual. Tentu, harga yang dipatok, harus menguntungkannya.

Aktivitas para broker juga kerap membawa masalah. Diduga ada di antara mereka yang nakal dengan menggandakan sertifikat tanah, sehingga kerap satu bidang tanah dimiliki oleh lebih dari satu pihak.

Tak heran, peristiwa seperti yang terjadi di Menjerite, Labuan Bajo pada awal tahun ini dimana dua warga asal Kusu-Kecamatan Ruteng, Manggarai meninggal  bersimbah darah karena konflik tanah. Keduanya menjadi pekerja di tanah yang ditengarai milik warga asing.

Secara umum, muara dari persoalan tanah tersebut adalah ancaman peminggira atau marginalisasi masyarakat setempat di tengah kemajuan pariwisata.

Ignas Iryanto Djou, tokoh NTT mengatakan, marginalisasi bagi masyarakat lokal memang merupakan masalah yang terjadi di banyak tempat.

“Di sini peran pemerintah menjadi sangat sentral. Dia memfasilitasi masuknya investasi, tapi pada saat yang sama dia melindungi masyarakat,” katanya,

Peran pemerintah itu, menurut dia, untuk memastikan agar seluruh potensi pariwisata NTT tidak hanya dimanfaatkan oleh mereka yang punya modal besar.

 

Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk membendung masalah tanah, menurut Ignas, dengan melarang masyarakat menjualnya.

Hal demikian, katanya, sudah dilakukan uskup Monakwari-Papua yang mencanangkan stop penjualan tanah.

“Ini bisa ditiru di wilayah-wilayah pariwisata seperti kita. Jadi, penjualan tanah yang secara praktis, bebas, langsung interaksi, sebaiknya dicegah,”ujar salah satu bakal calon gubernur/wakil gubernur NTT pada pilkada tahun 2018 ini.

“Jadi, rakyat itu harus dididik bahwa tanahnya dia, apalagi lokasi strategis seperti itu, aset yang sangat luar biasa. Itu harus dia manfaatkan secara benar,” ujarnya.

Ignatius Iryanto (Foto:Peter/Floresa)

Selain itu, hal yang juga bisa dilakukan oleh pemerintah dan gereja adalah dengan terlibat dalam negosiasi dengan pemilik modal atau pihak-pihak yang ingin memanfaatkan tanah tersebut.

Tujuannya, agar dari awal proses negosiasi, masalah bisa dicegah sehingga bukan hanya dijual dengan harga yang terlalu murah yang menguntungkan  pihak lain, termasuk pemain tengahnya atau broker.

“Tetapi, dilakukan juga negosiasi yang bisa memberikan keuntungan kepada masyarakat setempat,” katanya.

 Tidak Semuanya Tunai, Tetapi Juga Saham

Usul Ignas, kontrol terhadap pelepasan kepemilikan hak atas tanah harus dilakukan dengan cara yang membangun. Misalnya, bila seseorang menjual tanahnya kepada investor, imbalannya tidak semuanya dalam bentuk cash atau tunai, tetapi dengan kepemilikan saham pada unit bisnis yang dibangun atau diselenggarakan di atas tanah tersebut.

Selanjutnya, tugas pemerintah adalah memastikan aktivitas dari unit bisnis yang dibangun di atas tanah tersebut bisa memberi manfaat langsung kepada masyarakat sekitar.

“Ada supplay chain, rantai pasok yang melingkupi kegiatan bisnis dari unit yang dibangun. Dalam konteks pariwisata, hotel, motel, travel agency, usaha perkapalan, dan lain-lain sebenarnya memiliki mata rantai dengan berbagai macam produk lain yang sebenarnya bisa dihasilkan oleh masyarakat”.

“Nah, itu yang harus diintegrasikan. Entah bentuk usahanya dalam bentuk koperasi, BUMDes, atau unit-unit yang lain, silahkan saja,” ungkap pria kelahiran Ende, Flores ini.

Lebih dari itu, menurutnya, pemerintah harus bisa menyiapkan, mendorong, memaksa dan mewajibkan pemilik modalnya untuk memperhatikan itu dengan dituangkan dalam kontrak.

“Jadi, oke kamu masuk, kamu investasi di sini, tapi kewajiban kamu adalah ini,” ujarnya.

Ignas mencontohkan keberadaan hotel-hotel di Labuan Bajo yang seharusnya dimanfaatkan dengan baik. Pemerintah, harapnya, mewajibkan pemilik hotel memanfaatkan potensi daerah setempat untuk operasional hotel sehingga masyarakat dapat diberdayakan.

“Daerah sekitar situ subur, maka sayuran, padi, beras dan lainnya, jangan diambil dari luar,” tegas sarjana lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ini.

Yang menjadi kendala, jelasnya, terkadang pemilik hotel mematok standar tinggi dalam mendapatkan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Namun, ia menegaskan, hal itu tidak menjadi alasan untuk tidak membangun kerja sama dengan masyarakat.

“Kalau mereka pihak hotel katakan, ‘standar kualitas saya tinggi’. Maka, harus dikatakan bakwa “itu kewajiban kamu lewat dana corporate social responsibility (CSR), kamu bina masyarakatnya, supaya dia mampu mensuplai sesuai dengan standar kualitas dan volume yang kamu butuhkan,'” katanya.

Ignas mengatakan, hal itu sudah ia praktekkan dengan dana CSR di perusahaan tempatnya bekerja.

Wisatawan sedang bermain voli di Pink Beach Taman Nasional Komodo (Foto: Julian Avista Diaz)

Secara sederhana, jelas Ignas, jika unit usaha seperti hotel, motel, dan lain-lain, menerima pasokan hasil pertanian dari petani setempat dalam memenuhi kebutuhan konsumsi hotel, akan membawa dampak positif kepada kedua bela pihak.

“Efisien buat dia (hotel). Dia tidak mesti pesan ayam dari Bali misalnya. Itu buat dia bisa memperpendek waktu, menjaga kesegaran, dan juga efisiensi. Dia juga tidak perlu membayar biaya transportasi. Jadi, semua saling menguntungkan,” ujarnya.

Agar terjadi negosiasi yang fair antara kepentingan masyarkat lokal dan investor, kata dia, pemerintah daerah harus berintegritas, tidak mencari keuntungan sendiri atau kelompok.

Yang dikuatirkan, lanjutnya, sikap birokrat terkadang tidak mendukung kemudahan berusaha yang menyebabkan investor tidak berani untuk berinvestasi.

“Misalnya, begitu orang mau minta izin bikin hotel, terus pejabatnya langsung ngomong, ‘saya dapat apa’. Di awal sudah bilang begitu, nah seterusnya dia tidak punya keberanian moral untuk melakukan negosiasi yang fair yang membuat dia bisa menjaga kepentingan rakyat”.

“Ini jadi soal. Nah, ini lari ke integrity. Bukan lagi lari ke kompetensi. Keserakahan yang terlalu kuat yang membuat dia sendiri mendapat benefit dari seluruh investasi yang masuk dan merugikan rakyat yang lain. Itu penyakit,” jelas lulusan doktoral dari Berlin, Jerman ini. (Ario Jempau/Floresa)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini