Ada Harapan Besar untuk Visitator Apostolik

Floresa.coKabar terkait penunjukan Uskup Bandung, Mgr Antonius Subianto Bunjamin OSC sebagai visitator apostolik untuk menangani polemik di Keuskupan Ruteng melahirkan harapan di kalangan kelompok awam yang menghendaki agar kasus itu bisa segera selesai.

Penunjukan Mgr Anton, yang juga Sekretaris Jenderal Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) itu dilaporkan oleh Ucanews.com, Rabu, 9 Agustus 2017.

BACA: Vatikan Ambil Tindakan Terkait Kasus Uskup Leteng

Keuskupan Ruteng menjadi sorotan setelah pada 12 Juni lalu, 69 imam menyatakan mengundurkan diri dari sejumlah jabatan, sebagai bentuk potes terhadap Uskup Hubertus Leteng, di mana ia dianggap menggelapkan dana Gereja senilai Rp 1.675.000.000.

Bersamaan dengan itu, mencuat pula dugaan adanya relasi tidak wajar (affair) uskup itu dengan seorang perempuan, yang olehnya disebut sebagai “anak angkat”.

Praktek korupsi dan affair itu diduga kuat berkaitan erat, di mana uang hasil korupsi dipakai dalam rangka membiayai kebutuhan dan gaya hidup anak angkat itu.

Mgr Anton menjelaskan akan mengunjungi Keuskupan Ruteng pada 15 Agustus mendatang.

Marcel Rengka, salah satu umat Keuskupan Ruteng mengatakan, diharapkan rencana kedatangan visitator “meredakan kemelut yang terjadi dan umat kembali percaya dan patuh kepada ajakan gembalanya.”

“Para imam dan umat patut bersabar dan siap sedia memberikan informasi atau data terkait prahara Keuskupan Ruteng dengan pelakon kunci Uskup Leteng,” katanya.

“Jika perlu, Uskup Leteng dan representasi tokoh umat dan imam yang kontra terhadapnya bertemu visitator pada waktu dan jam yang sama,” lanjut Marcel.

Sementara itu, Rikard Rahmat, umat lain menyebut, langkah Vatikan ibarat “secercah cahaya di ujung terowongan gelap.”

“Semoga dengan bimbingan Roh Kudus, umat Katolik Keuskupan Ruteng segera mendapatkan sebuah kabar yang telah lama ditunggu-tunggu, yaitu pembaharuan nyata yang dimulai dari pucuk pimpinan tertinggi,” katanya.

Robert Endi Jaweng, tokoh umat lain menyebut penunjukan visitator apostolik bukan sebuah langkah prosedural biasa, tetapi menjadi bukti bahwa memang ada sesuatu yang amat serius di Keuskupan Ruteng.

“Kita tahu tidak gampang dalam birokrasi Gereja mengambil keputusan mengirim visitator tersebut,” katanya.

Ia menambahkan, harapannya, selama di lapangan, visitator apostolik tidak hanya bekerja dalam ruangan atau bertemu pihak tertentu yang diatur oleh uskup.

“Tetapi menemui umat yang selama ini aktif dalam advokasi kasus tersebut dan para imam yang selama ini menyuarakan keprihatinan mereka,” katanya.

Ia menyatakan, sejauh mungkin semua pihak secara berimbang ditemui.

“Saya percaya visitator akan bekerja dalam cara-cara obyektif dengan niat tulus menyelesaikan polemik ini secara tuntas,” katanya.

Sementara itu, kepada berbagai pihak yang selama ini bersuara dan bergerak aktif, ia meminta menyiapkan selengkap mungkin data.

“Kehadiran visitator itu adalah semacam tim pencari fakta. Untuk bisa merekonstruksi kasus secara obyektif, jelas butuh data lengkap,” katanya.

Awam lain, Lucius Karus menyebut dengan penunjukkan visitator ini, “Vatikan telah memperlihatkan semangat kegembalaan yang mendunia.”

“Selanjutnya peran kegembalaan yang diemban Uskup Anton kiranya dapat segera mengakhiri prahara Keuskupan Ruteng,” katanya.

Ia menjelaskan, “tentu saja yang harus menjadi dasar pertimbangan dari semua upaya Vatikan menemukan jalan keluar adalah nasib kawanan domba.”

“Jangan sampai prahara para pemimpin umat berdampak pada merananya iman umat,” katanya.

Ia menambahkan, jika kasus ini tidak segera diselesaikan, maka bukan hanya wibawa Keuskupan Ruteng yang dipertarukan, tetapi juga Gereja Universal.

“Penyelesaian yang lamban bisa berdampak pada proses pembusukan gereja,” katanya.

Ia juga menyatakan, karena semangat hirarki Gereja adalah semata-mata demi pelayanan yang bersumber dari ajaran Yesus, maka sesungguhnya tak perlu waktu lama untuk memastikan bahwa pelayanan tersebut telah berada dalam titik kritis ketika pelayan tertingginya yakni Uskup Ruteng kehilangan roh pelayanan tersebut.

“Mempertahankan kursi pelayan yang sudah kehilangan roh hanya akan menelantarkan iman umat,” katanya.

“Dan, saya kira tanggung jawab Vatikan untuk menyelamatkan iman umat hanya bisa dilakukan dengan segera mengganti biang masalah serta segera menemukan figur yang bisa mengembalikan semangat menggereja umat,” tegas Lucius.

Secara eksplisit, Boni Gunung, awam lain yang berprofesi sebagai advokat mengatakan, mengingat meluasnya dampak buruk kasus ini, “maka pilihan paling bijaksana adalah dengan pertama-tama meminta Uskup Leteng mengundurkan diri sesegera mungkin.

“Mgr Anton diharapkan mempertimbangkan sungguh-sungguh keadaan kebatinan umat Keuskupan Ruteng,” katanya.

Senada dengan itu, Paul Bero, umat di Paroki St Paskalis Cewonikit mengatakan, Mgr Anton diharapkan benar-benar mengambil keputusan yang menyelamatkan iman umat Keuskupan Ruteng.

“Karena itu, harapan ikutannya, Uskup Leteng memang tak boleh ada di Keuskupan Ruteng,” katanya.

“Karena kalau ia masih dipertahankan, masalah tidak akan selesai dan pembangunan iman umat akan terbengkelai,” tegasnya.

Sementara itu, Jashinta Hamboer, tokoh awam perempuan yang sempat menulis surat secara khusus kepada Uskup Leteng mengatakan, penunjukkan visitator merupakan langkah bijaksana Vatikan di tengah situasi umat yang terluka.

“Kaum klerus dan awam yang merupakan satu kesatuan, sekarang berada di ambang perpecahan akibat kasus ini,” katanya.

Ia menyebut, salah satu aspek yang mesti menjadi fokus pembaruan ke depan adalah terkait manajemen keuangan dan aset keuskupan.

“Mesti dipikirkan untuk mengaudit ulang dan membuat regulasi double check bagi pengeluaran dan pemasukan di kas keuskupan,” katanya.

Ia menambahkan, hal lain adalah pembaruan dalam diri para imam, agar saling peduli dan makin dekat dengan umat.

“Mereka harus tingkatkan kunjungan ke tengah umat sambil melihat langsung situasi yang dialami umat,” katanya.

Senada dengan itu, Rikard Rahmat menambahkan, pembaharuan yang sedang didorong saat ini hanya sebagai langkah awal menuju sebuah pembaharuan yang lebih menyeluruh, yang melibatkan seluruh klerus serta biarawan-biarawati.

“Sudah saatnya mereka juga berbenah termasuk meninggalkan gaya hidup yang bertentangan dengan janji imamat dan semangat Injil,” katanya.

“Umat Keuskupan Ruteng mendambakan contoh kesaksian hidup dalam diri imam dan biarawan-biarawati yang saleh, sederhana, dan peduli, yang akhir-akhir ini terkesan semakin sulit dijumpai,” lanjut Rikard.

Arman Suparman, salah atu awam muda mengatakan, penting untuk selalu diingat bahwa Gereja merupakan bagian tak terpisahkan dari proses pembangunan Manggarai Raya, juga Flores terutama dalam bidang pendidikan, sosial dan ekonomi.

“Dan saat ini, Gereja menjadi satu-satunya harapan masyarakat terutama kaum terpinggirkan untuk menyuarakan praktek-praktek busuk yang mewabah, seperti di institusi pemerintah,” katanya.

Untuk itu, Gereja tentu membutuhkan kekuatan agar suaranya didengarkan, tidak lain hidup sesuai dengan apa yang diwartakan.

“Saat ini, dengan mencuatnya kasus korupsi di dalam Gereja, maka sedang terjadi proses pelemahan posisi tawar Gereja dalam menjalankan misi-misinya,” katanya.

“Bagaimana menyuarakan ketidakadilan atau antikorupsi jika Gereja hirarkis mempraktikan hal tersebut,” tegas Arman.

Lantas, kata dia, jalannya adalah mendukung gerakan perubahan yang sedang didorong, agar kemudian Gereja memiliki legitimasi moral untuk melawan praktek-praktek bobrok di tengah masyakat.

“Persis hal itu, mesti dimulai dari dalam institusi Gereja sendiri.”

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini