Menjadi Katolik di Tanah Manggarai

Prawacana seminar tentang iman Katolik dalam konteks budaya Manggarai

8497
Tugu persembahan masyarakat Manggarai, "compang", yang memadukan salib (simbol Kristiani) dan undakan batu (situs ritual adat) di salah satu perkampungan tradisional orang Manggarai. (Foto: Ist.)

RAFAEL LEPEN SMM, alumnus Seminari Pius XII Kisol Angkatan 1994, baru saja menyelesaikan studi teologi di Universitas Kepausan Urbaniana, Roma

[Tulisan ini merupakan sebuah prawacana menjelang seminar tentang hubungan antara agama Katolik dan budaya Manggarai yang akan digelar di Ruteng pada 15 Desember 2018. Seminar ini yang diinisiasi oleh Perhimpunan Alumni Seminari Kisol Angkatan ’94 mengambil tema, “Apakah Praktek Penghormatan terhadap Leluhur merupakan Penyembahan Berhala bagi Orang Katolik Manggarai?” Pembicara utama adalah Pater Alexander Djebadu SVD, pengajar misiologi di STFK Ledalero serta panelis RomoManfred Habur Pr dan Romo Inosensius Sutam Pr.]

Sejarah pertumbuhan dan perkembangan Gereja Katolik di Flores, khususnya di wilayah Keuskupan Ruteng memperlihatkan fakta bahwa Gereja berkembang melalui pendekatan kultur. Para misionaris awal membangun kesadaran iman bukan melalui penghancuran atau penolakan atas praktek dan nilai-nilai kearifan lokal.

Sebaliknya, mereka mewartakan Injil berangkat dari cara berpikir umat Allah, yang terkristalisasi dalam budaya yang diwariskan oleh para leluhur dan nenek moyang. Dengan demikian, sejak awal sejarah misioner Gereja Katolik di Keuskupan Ruteng tumbuh di ladang konteks kehidupan masyarakat dan meresak serta berakar di dalamnya.

Ia bukan benih yang tumbuh di atas “tanah kosong” tak berpenghuni dan tak berbudaya. Iman kristiani jatuh, tumbuh, mekar dan berbuah dalam horizon kehidupan tertentu (budaya). Nilai penting budaya (dan konteks lainnya) dalam merefleksikan iman dan relasi dengan Allah tidak dapat, dengan demikian, diabaikan apalagi dicampakkan karena dinilai bertentangan dengan nilai Injili.

Berangkat dari nilai penting budaya dalam sejarah misioner Gereja di Keuskupan Ruteng, undangan untuk terus-menerus menggali khazanah dan pemahaman baru dalam berteologi dari konteks adalah sebuah keharusan. Tidak relevan rasanya terjebak dalam pola pemahaman sempit bahwa iman dan ajarah iman (teologi) yang diperkenalkan para misionaris awal adalah “produk jadi” yang harus diterapkan tanpa memperhatikan situasi setempat.

Pola berpikir semacam ini hanya akan mengantar iman menjadi harta karun yang tidak relevan dengan dinamika kehidupan umat beriman. Senasib dengan iman yang tidak relevan tersebut, refleksi teologis mengalami hal serupa. Stephen Bevans, teolog kelahiran Amerika yang banyak menulis tentang misiologi, menyebut teologi yang mengabaikan konteks sebagai teologi yang keliru (false theology).

Hari-hari ini, desakan untuk membangun teologi dari konteks semakin kuat dengan munculnya pelbagai persoalan atau tepatnya kegamangan dalam penghayatan iman kristiani di tengah umat beriman. Secara garis besar, umat beriman diwarnai oleh dua arus penghayatan atas imannya.

Arus pertama didominiasi oleh kelompok umat yang mempraktekkan ritus adat dalam ritus liturgi Gereja. Umumnya, mereka menggunakan kata inkulturasi sebagai justifikasi penggabungan adat dan liturgi. Padahal, pemahaman terkait isi dan maksud inkulturasi itu sendiri tidak sepenuhnya dimengerti. Akibatnya, praktek “gado-gado” adat dan liturgi menghasilkan kebingunan eksistensial: beriman kepada budaya dan adat atau kepada Tuhan.

Arus kedua digawangi oleh kelompok-kelompok kategorial tertentu yang menolak secara tegas penggabungan unsur-unsur budaya dalam liturgi resmi Gereja. Dasar penolakan seringkali lahir dari prasangka negatif terhadap budaya, khususnya prakek-praktek tertentu dari budaya. Jika arus pertama menyebabkan kegamangan dalam menghayati iman, arus kedua ini melahirkan gesekan bahkan berujung pada perpecahan dalam hidup menggereja.

Penolakan ekstrim bahkan disertai dengan stempel penyembahan berhala, sinkretisme dan kafir mewarnai dinamika hidup umat. Penolakan ini mendapat tanggapan yang keras dari para penganut keyakinan bahwa menghidupi iman Katolik yang otentik tidak pernah lepas dari praktek budaya lokal. Permusuhan bahkan pemutusan tali persaudaraan tak jarang menjadi kata akhir dari sengketa iman yang seharusnya mempersatukan karena diikat oleh iman yang sama.

Tantangan ini menjadi semakin rumit tatkala Gereja sebagai institusi penjaga iman disinyalir mengalami perpecahan, khususnya di antara agen pastoralnya (para imam). Ada para imam yang secara terang-terangan mendukung adanya penggabungan atau proses memasukan praktek budaya ke dalam liturgi Gereja karena dipandang penting untuk membangun dialog  iman dan budaya. Namun, di sisi lain, ada kelompok imam yang menolak dengan versi teologisnya sendiri.

Jalan keluar lewat program inkulturasi kurang menukik ke intisari dari inkulturasi itu sendiri. Inkulturasi cenderung diterjemahkan dengan kata “adaptasi” sehingga buahnya lebih merupakan liturgi hibrida ketimbang makna sebenarnya dari inkulturasi sebagai penghayatan iman yang berbasis budaya.

Dampaknya, sering sekali budaya menjadi tempelan saja alias terjerembab dalam makna dekoratif semata. Sementara itu, beberapa praktek ada istiadat yang krusial dan penting dalam budaya kurang tersentuh dalam diskursus pastoral.

Fenomena “pembiaran” dualisme dalam penghayatan iman dan atau pembrangusan praktek-praktek adat istiadat dapat saja menjadi bom waktu kekeringan iman dan perpecahan dalam skala yang lebih besar. Di sisi lain, gejala ini menjadi bentuk ketidaksetiaan pada semangat Konsili Vatikan II yang mendorong Gereja untuk senantiasa membaharui diri secara terus-menerus.

Pada akhirnya, bukan tidak mungkin, lambat laun kehadiran Gereja di tengah masyarakat tidak memberi nilai konstruktif dan pemberdayaan iman yang menjawab kegelisahan umat. Gereja dapat saja menjadi “museum”, yang hanya menjadi kebanggaan masa lalu.

Inisiatif para awam yang tergabung dalam alumni Seminari Pius XII ’94 sebenarnya lahir dari kerinduan untuk membangun jembatan diskursus teologis atas fenomena yang sedang terjadi. Inisiatif ini berada dalam denyut nadi yang sama dengan kesadaran akan pentingnya membangun sebuah refleksi iman (teologi) kontekstual, yakni sebuah refleksi iman yang lahir dari pergumulan hidup umat tanpa merobek kesetiaan pada refleksi biblis dan tradisi Gereja. Bukankah Paul Tillich, salah satu teolog berpengaruh di abad ke-20 itu, mengingatkan pentingnya sebuah teologi yang berpadanan dengan persoalan kemanusiaan (eksistensial questions and theological answers in mutual interdependence).

Boleh jadi upaya membangun jembatan diskursus teologis ini menjadi sebuah babak baru dalam refleksi iman yang khas, yang barangkali menjadi semacam “Teologi Manggarai”: menjadi orang Manggarai 100 % dan Katolik 100%.