BerandaREPORTASEMENDALAMKami Rela Mati demi...

Kami Rela Mati demi Anak Cucu, Cerita Perempuan Wae Sano yang Tolak Proyek Geothermal

"Sebagai ibu yang mengandung dan melahirkan generasi baru, kami sangat khawatir dengan masa depan anak cucu kami," kata seorang ibu di Desa Wae Sano terkait ancaman proyek geothermal.

Floresa.co – Waktu menunjukkan pukul 20.00 Wita saat keluarga Mathildis Felni di Desa Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat, NTT baru saja selesai makan malam pada Sabtu, 5 November 2022.

Usai membereskan peralatan makan, ibu berusia 55 tahun itu membentangkan beberapa karung di lantai, dekat meja makan. Ia lalu mengambil buah sirih dari dalam roka, keranjang berbahan dasar bambu, dan menjajarnya di atas karung tersebut.

“Sirih ini sudah setengah kering. Kalau malam harus dijemur begini supaya tidak berjamur,” katanya.

Buah sirih merupakan salah satu komoditas yang menopang ekonomi keluarga Mathildis selama berpuluh-puluh tahun.

“Kami jual ke Labuan Bajo tiga bulan sekali. Biasanya setahun kami bisa dapat sampai 30-an juta rupiah dari sirih,” katanya, sambil beranjak menuju dapur, menyiapkan kopi dan pisang rebus menemani obrolan kami malam itu.

Di sisi lain ruangan berukuran empat kali lima meter itu, suaminya Patrisius Pen (60) sibuk membersihkan kulit ari kelapa yang sudah dilepaskan dari tempurungnya.

“Kalau kelapa ini kami buat minyak kelapa. Kami jual 40 ribu rupiah per botol,” katanya.

Aroma sirih, kelapa dan kemiri yang sudah dipisahkan dari cangkangnya, bercampur baur di ruangan itu.

Suasana di Kampung Nunang, Desa Wae Sano malam itu sangat tenang. Tak ada hiruk pikuk kendaraan bermotor. Yang terdengar hanya suara jangkrik.

Sesekali gelak tawa beberapa anak muda yang berkumpul di kantor desa memecah keheningan di rumah Mathildis yang hanya terpaut sekitar lima meter di sebelah barat kantor tersebut. Para pemuda itu biasa berkumpul di sana untuk mendapat jaringan Wifi dari kantor desa.

“Begini sudah suasana desa kami. Tenang. Kalau tidur malam, pasti nyenyak. Sangat nyaman di sini,” lanjut Patrisius.

Desa Wae Sano berjarak tiga puluhan kilometer arah selatan Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat. 

Akses masuk menuju desa ini masih cukup sulit. Jalannya yang sudah beraspal sudah berlubang di banyak titik.

Warga desa ini bermukim di beberapa kampung, tiga di antaranya Nunang, Lempe, dan Dasak. Ketiga kampung ini berada di lembah Pegunungan Sesok, persis di tepi selatan Danau Sano Nggoang, danau vulkanik terbesar di Indonesia Timur. 

Danau Sano Nggoang, danau vulkanik terbesar di Indonesia Timur. (Foto: Rosis Adir/Floresa.co)

Di tepi danau. tepat di sisi timur Kampung Nunang, ada sumber air panas. 

Warisan alam itu membuat desa ini menjadi daya tarik bagi para wisatawan, baik wisatawan asing dan domestik. Pemerintah Manggarai Barat pun telah menetapkannya sebagai desa wisata dan telah membangun berbagai fasilitas, seperti kolam air panas, toilet, lopo-lopo, dan spot foto dengan latar belakang danau.

Hutan di wilayah Pegunungan Sesok dan di sekitar Danau Sano Nggoang juga menjadi rumah bagi dua ratusan jenis burung endemik Flores. Selama ini, wilayah Wae Sano menjadi spot pengamatan burung yang sering dikunjungi para pengamat burung dari luar negeri maupun dalam negeri.

Sebagian besar warga desa ini adalah petani. Mereka menggantungkan hidup pada komoditas pertanian seperti kemiri, kopi, kakao, kelapa, cengkeh, pinang, sirih, vanili, durian, advokat, salak, dan beberapa lainnya.

Di bukit dan lembah, di sisi kiri kanan jalan, dan di pekarangan rumah warga, berbagai tanaman pertanian itu bertumbuh subur.

“Bicara tentang ekonomi, kami di sini hidup dan bisa sekolahkan anak dari hasil apa yang kami tanam,” tutur Mathildis.

“Saya punya anak tiga orang sudah sarjana. Dua orang masih SMA dan SMP. Kami bisa sekolahkan mereka karena hasil pertanian.”

Kolam air panas yang dibangun pemerintah di Desa Wae Sano.(Foto: Rosis Adir/Floresa.co)

Terancam Proyek Geothermal

Ketika pembicaraan kami malam itu beralih ke soal proyek geothermal yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan, Mathildis segera menarik napas panjang sebelum melanjutkan pembicaraannya.

“Kalau pemerintah dan perusahaan tetap memaksakan proyek ini, bagaimana dengan kehidupan kami? Bagaimana dengan nasib anak cucu kami ke depan?” katanya.

Rencana proyek itu mulai intens dibahas di Desa Wae Sano pada 2017, menyusul penetapan Pulau Flores sebagai Pulau Geothermal dan dan pemerintah menyampaikan rencana pengembangan proyek di setidaknya 17 titik di sepanjang pulau itu.

Proyek ini adalah bagian dari Proyek Strategis Nasional yang awalnya ditangani oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), tetapi kemudian dialihkan ke PT Geo Dipa Energi. Keduanya sama-sama Badan Usaha Milik Negara di di bawah Kementerian Keuangan.

Pada peta yang termuat dalam dokumen Analisis Dampak Lingkungan dan Sosial (ESIA) yang terbit pada April 2019, proyek ini akan menggunakan lahan seluas sepuluh kilometer persegi yang tersebar di Kampung Nunang, Lempe, dan Dasak.

Tahap eksplorasi proyek disebut akan memerlukan pekerjaan sipil awal yang mencakup pembangunan well pad, injection well pad, koridor jalan raya, koridor perpipaan, dan base camp.

Di Kampung Nunang, lokasi pembangunan well pad atau tapak pengeboran hanya berjarak belasan hingga puluhan meter dari rumah warga, dan berjarak seratus meter dari fasilitas publik seperti Gereja Katolik, sekolah, dan Puskesmas Pembantu.

Di Lempe, lokasi eksplorasi juga sangat dekat dengan sumber air bersih dan pemukiman warga. Demikian juga halnya di Kampung Dasak.

Sebagian besar warga di tiga kampung ini menolak kehadiran proyek itu, kendati perusahaan bersama pemerintah berulang kali melakukan negosiasi.

Perusahaan bahkan pernah mengirim beberapa warga Desa Wae Sano untuk melakukan studi banding ke PLTP Kamojang di Provinsi Jawa Barat. Namun, hasil studi banding justru menguatkan suara penolakan warga.

“Geothermal yang di Kamojang itu kan sudah jadi. Kita tidak tahu saat proses awalnya seperti apa. Di sana topografinya rata, sedangkan kita di sini, topografinya miring. Yang pasti nanti akan terjadi penggusuran,” kata Mathildis.

“Kemudian, apakah yang di Kamojang itu mencerminkan semua geothermal di seluruh Indonesia? Tentu tidak.” 

Ia mengatakan contoh yang paling dekat dengan masyarakat Wae Sano adalah proyek panas bumi Mataloko di Kabupaten Ngada, yang mulai dikerjakan pada 2002 namun hingga kini tidak dimanfaatkan.

“Sampai saat ini, yang dirasakan oleh masyarakat hanya dampak buruknya: kebun tidak produktif, rumah rusak, dan lain sebagainya,” ujarnya.

Mathildis menuturkan, ia dan warga lain di Desa Wae Sano tahu tentang rencana eksplorasi panas bumi di desa mereka setelah pihak perusahan melakukan kegiatan survei awal.

“Sebelum itu pihak perusahan memang sudah sering ke kampung ini, tetapi kami tidak tahu kegiatan mereka di sini,” katanya.

“Proyek geothermal ini semacam meremehkan semua masyarakat. Saat survei, mereka seenaknya masuk ke kebun warga dan memotong tanaman warga tanpa izin,” lanjutnya dengan suara meninggi. 

Yosep Erwin Rahmat, salah satu tokoh masyarakat di Desa Wae Sano menguatkan cerita Mathildis. 

Menurutnya, saat sosialisasi awal proyek tersebut, perusahaan tidak melibatkan semua masyarakat Wae Sano.

“Pesertanya terbatas. Setiap desa sekitar hanya diundang sepuluh orang perwakilan. Begitu juga di Desa Wae Sano yang merupakan lokasi proyek geothermal, yang diundang ikut sosialisasi itu hanya sepuluh orang,” ujarnya.

Yosep Erwin Rahmat, salah satu tokoh masyarakat Desa Wae Sano yang getol menolak proyek geothermal. (Foto: Rosis Adir/Floresa.co)

“Mestinya, kami masyarakat Desa Wae Sano harus diundang semua karena proyek ini ada di desa kami.”

Menurut Yosep, saat sosialisasi awal itu, belum ada kejelasan sikap masyarakat, apakah setuju atau tidak terhadap proyek tersebut.

Setelah sosialisasi itu, lanjutnya, pihak perusahaan menggelar rapat konsultasi tahap pertama yang dihadiri oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, perwakilan masyarakat, dan tokoh adat.

Saat itu, kata Yosep, pihak perusahaan meminta izin kepada tua adat dari sejumlah kampung di sekitar lokasi eksplorasi agar mereka bisa melakukan penelitian.

“Para tua adat setuju,” katanya. “Tetapi, mereka minta agar hasil survei itu harus disampaikan kepada masyarakat, supaya masyarakat bisa menentukan sikap yang jelas.”

Namun, jelas dia, pihak perusahaan kemudian tidak menuruti permintaan para tua adat itu, di mana mereka tidak menyampaikan hasil survei kepada masyarakat.

“Kegiatan mereka berjalan terus,” ujar Yosep. “[Mereka] tidak menghiraukan masyarakat lokal. Mereka masuk di kebun, potong orang punya tanaman, di situ warga mulai tidak suka.”

Yosep mengatakan, saat sosialisasi terkait proyek geothermal itu, pihak perusahaan tidak pernah membicarakan dampak buruk dari proyek tersebut.

“Yang mereka omong yang baik-baik semua. Saat sosialisasi tidak pernah dijelaskan adanya evakuasi, relokasi,” ujarnya.

Warga, kata Yosep, mulai berpikir bahwa proyek tersebut mengancam kehidupan mereka setelah mendapat dokumen perusahaan yang di dalamnya ada uraian tentang evakuasi dan relokasi.

“Kalau ada relokasi, berarti tidak nyaman. Apalagi titik-titik bor berada di wilayah pemukiman. Setelah tahu itu (evakuasi dan relokasi), masyarakat mulai menyampaikan keberatan hingga kemudian menolak,” tuturnya.

Tetap Solid Melawan Geothermal

Sekelompok warga yang sebagian besar ibu-ibu terlihat menenteng spanduk berisi tuntutan penolakan proyek geothermal, memasuki kantor Desa Wae Sano pada Selasa, 15 November 2022.

Hari itu, mereka datang ke kantor desa untuk mendengarkan sosialisasi yang dilakukan oleh tim dari Kantor Staf Presiden [KSP] dan PT Geo Dipa Energi.

Warga Desa Wae Sano membentangkan spanduk berisi pernyataan penolakan geothermal di desa mereka saat aksi damai pada 15 November 2022. (Foto: Anno Susabun/Floresa.co)

Dalam sosialisasi itu, mereka tetap lantang menyatakan penolakan terhadap proyek itu, meskipun perusahaan menyatakan akan mengubah prioritas eksplorasi dari well pad B di Nunang yang hanya berjarak 30 meter dari rumah-rumah warga ke well pad A di Lempe yang berjarak 150 meter dari pemukiman.

Sebagai bentuk protes, mereka memilih meninggalkan ruang pertemuan ketika Yando Zakaria dari KSP hendak berbicara. Ibu-ibu berteriak, mengatakan tidak mau mendengarnya sambil bergerak keluar dari ruangan.

Yando mengatakan saat itu bahwa mereka tetap akan melanjutkan protek itu dan berharap warga tidak lagi mengambil sikap kontra.

Itu merupakan aksi penolakan untuk kesekian kalinya yang mereka lakukan di hadapan pemerintah dan perusahaan, selain unjuk rasa di kantor bupati dan DPRD Manggarai Barat. 

Mereka juga pernah dua kali mengirim surat ke Bank Dunia – pihak yang berencana membiaya proyek itu – meminta membatalkan pendanaan. Surat warga itu direspons Bank Dunia dengan mengirim perwakilan untuk berdialog langsung dengan warga pada 9 Mei 2022.

Menurut Yosep, kekompakan mereka melakukan aksi-aksi penolakan itu atas dasar pemikiran yang sama, tidak mau ruang hidup diganggu.

“Kami sudah nyaman tinggal di desa ini. Kami sudah bahagia dengan apa yang kami punya,” katanya, sembari menambahkan bahwa ruang hidup yang ia maksudkan adalah kampung, kebun, mata air, dan compang dari (tempat untuk upacara adat yang berada di tengah kampung).

Ia mengatakan untuk mengakomodasi kegiatan-kegiatan aksi penolakan, mereka bergerak secara swadaya.

“Kunci kekompakan kami, kami tidak saling curiga. Kami saling mengerti. Kemudian, setiap kali ada isu baru, kami selalu berdiskusi.”

Melawan demi Anak Cucu

Dalam sejumlah aksi pengadangan dan unjuk rasa, seperti pada 15 November itu, ibu-ibu selalu berada di barisan paling depan. 

Saat kunjungan Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi ke titik pengeboran di Kampung Nunang pada 22 Mei 2021, sejumlah ibu mendatanginya dan meminta pertolongan agar proyek itu batal.

“Sebagai ibu yang mengandung dan melahirkan generasi baru, kami sangat khawatir dengan masa depan anak cucu kami,” kata Maria Yuliana Farida (46), salah satu warga Kampung Lempe.

“Kalau tanah ini kami berikan ke perusahaan, bagaimana kami mendapatkan pangan?” tambahnya.

Selain itu, kata dia, sebagai perempuan yang setiap hari bertanggung jawab memenuhi kebutuhan air minum di dalam keluarga, ia khawatir proyek itu akan mencemari sumber air minum di kampungnya.

“Itu alasannya sehingga kami ibu-ibu di sini selalu paling depan menyuarakan penolakan.”

Maria Yuliana Farida saat diwawancara di rumahnya. (Foto: Rosis Adir/Floresa.co)

Yuliana mengatakan, sekalipun perusahaan mau membayar tanah dan tanaman mereka dengan uang, mereka tetap tidak setuju.

“Kami tidak butuh uang. Kami hanya butuh hidup damai, aman dengan lingkungan. Apa saja janji-janji perusahan, beri oto (mobil), bangun rumah lantai 10, kami tetap tidak mau,” ujarnya.

“Kalau memang kamu butuh uang, kenapa kami tidak terima dari dulu? Kami hanya butuh damai.”

Lahan persawahan milik warga Desa Wae Sano. (Foto: Rosis Adir/Floresa,co)

Kecewa dengan Sikap Keuskupan Ruteng

Warga Wae Sano adalah mayoritas Katolik dan masuk wilayah Paroki St Mikael Nunang, Keuskupan Ruteng.

Karena meyakini bahwa penolakan mereka akan didukung Gereja, mereka sempat meminta bantuan Gereja ketika pada awalnya suara-suara mereka tidak mendapat tanggapan dari perusahaan dan pemerintah.

Merespons permintaan mereka, Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat bersurat ke Presiden Joko Widodo pada 9 Juni 2020. Dalam surat itu, ia meminta pemerintah tidak melanjutkan proyek itu karena lokasi eksplorasi berada di dalam ruang hidup warga.

Ia juga menyatakan bahwa kehadiran proyek geothermal berpotensi merusak Danau Sano Nggoang yang selama ini menjadi penyangga keanekaragaman hayati dan ekologi dan sudah menjadi salah satu destinasi wisata alam yang sangat menjanjikan dalam desain destinasi pariwisata premium Labuan Bajo.

Uskup Sipri juga sempat mendatangi Desa Wae Sano, di mana ia menyatakan bahwa Keuskupan Ruteng siap berjuang bersama warga, menolak proyek tersebut.

“Dia juga bilang ke masyarakat supaya jangan memberi tanah untuk proyek geothermal ini karena lokasinya sangat dekat dengan kampung,” ujar Yosep, mengenang kunjungan uskup.

Namun, sikap Keuskupan Ruteng kemudian berubah. 

Pada 21 Mei 2021, Uskup Sipri kembali mengirim surat kepada Presiden Jokowi, di mana ia menyatakan bahwa setelah melakukan dialog dan kerja sama intensif antara pemerintah, Gereja Katolik, dan masyarakat Wae Sano, pihaknya setuju agar proyek geothermal itu dilanjutkan.

Setelahnya, Keuskupan juga membuat Nota Kesepahaman dengan pemerintah dan membentuk Tim Kerja Bersama demi meneruskan proyek itu, termasuk melakukan pendekatan kepada warga.

Hingga kini, tidak semua institusi Gereja Katolik memang mendukung proyek itu, karena Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan atau Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) dari Ordo Fransiksan dan SVD tetap menyatakan menolaknya.

Mengomentari sikap Keuskupan Ruteng, Yuliana mengatakan itu adalah hak lembaga itu.

Tetapi, kata dia, yang pihak Keuskupan Ruteng harus ingat bahwa “Ini bukan tanah Gereja.”

“Ini tanah kami. Kami kasih makan pastor [yang melayani kamoi], hasil dari tanah ini.”

“Konem neho nia jaong de Uskup hitu ko tuang hitu, toe setuju le hami. Ai toe ma tanah diha ndoo,” katanya dalam bahasa daerah Manggarai: Mau bagaimanapun uskup atau pastor bicara, kami tetap tidak setuju. Tidak ada tanah mereka di sini.

Tolak Sampai Mati 

Kedua tangan Laurensia Saima (56) terlihat sangat telaten merangkai irisan-irisan daun pandan. Pagi itu, 7 November 2022, ia sedang menganyam tikar, sambil sesekali melayani pembeli di kiosnya.

Saban pagi, selain menuntaskan urusan di dapur, sebelum ke kebun ia menyempatkan diri menganyam tikar, begitu juga setiap sore dan malam sebelum tidur.

Laurensia Saima sedang menganyam tikar. (Foto: Rosis Adir/Floresa.co)

“Tikar ini untuk dijual supaya bisa menambah pemasukan untuk biaya keperluan di rumah,” katanya.

Keluarganya tinggal di Kampung Lempe, yang hanya berjarak sekitar 50-an meter dari tepi Danau Sano Nggoang.

Sama seperti keluarga lain di kampungnya, untuk biaya hidup seperti membeli beras, lauk pauk, sabun, biaya pendidikan anak-anak hingga biaya kesehatan, mereka mengandalkan hasil pertanian, di samping dari membuat kerajinan seperti tikar.

Ia juga membuka kios kecil yang menjual barang kebutuhan sehari-hari seperti garam, sabun mandi dan cuci, rokok, mie, dan beberapa lainnya.

Sama seperti Mathildis dan Yuliana, Laurensia merupakan salah satu ibu di Desa Wae Sano yang menentang keras proyek geothermal. 

“Kami tidak mau tanah Wae Sano ini rusak. Tanah ini tidak boleh dikelola oleh orang lain. Tanah ini diwariskan oleh leluhur kami,” katanya.

“Kalau tanah ini dikelola perusahaan, bagaimana nasib anak cucu kami nanti?”

Ia mengatakan, tanah di wilayah Wae Sano telah memberi mereka hidup dan karena itu wajib hukumnya mereka menjaga tanah itu. 

“Kami rela mati kalau pemerintah dan perusahan tetap memaksa proyek geothermal ini ada di Desa Wae Sano,” ujarnya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga