Oleh: Elisabeth Irma Novianti Davidi
Kekerasan terhadap perempuan merupakan realitas yang masih merajalela di banyak lapisan masyarakat. Untuk mengatasi tantangan ini, perempuan harus bersatu dan saling mendukung. Dalam konteks ini, solidaritas perempuan tidak hanya menjadi kunci untuk menanggulangi kekerasan, tetapi juga untuk membangun keberdayaan dan menggempur akar-akar patriarki yang masih mengakar kuat.
Tulisan ini juga terinspirasi dari kisah kelompok perempuan di India yang membentuk “Gulabi Gang” atau “Gerakan Gaun Pink.” Gulabi Gang didirikan oleh Sampat Pal Devi, seorang perempuan dari Desa Uttar Pradesh, India. Kehidupan Sampat Pal Devi dimulai sebagai seorang istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Namun, alih-alih meratapi nasibnya, ia memutuskan mengambil tindakan. Ia tidak menyerah pada takdirnya, tetapi memilih untuk mengatasi kekerasan tersebut dan mencari keadilan. Merasa perlu untuk melawan ketidakadilan yang dialaminya dan perempuan lain di komunitasnya, Sampat Pal Devi membentuk Gulabi Gang pada tahun 2006.
Gulabi Gang dikenal karena memakai pakaian warna pink yang mencolok untuk menarik perhatian. Gulabi Gang berkomitmen melawan kekerasan terhadap perempuan, terutama dalam bentuk pelecehan, pemerkosaan, dan kekerasan dalam rumah tangga. Mereka menjadi penjaga keadilan di komunitas mereka.
Gulabi Gang tidak hanya fokus pada melawan kekerasan fisik, tetapi juga pada pendidikan dan pemberdayaan perempuan. Mereka memberikan pelatihan keterampilan kepada perempuan, membantu mereka mengakses pendidikan, dan mendorong kemandirian ekonomi.
Anggota Gulabi Gang terlibat dalam aksi langsung, baik itu dalam melaporkan kasus kekerasan ke polisi maupun secara langsung menghadapi pelaku kekerasan. Mereka menjadi pengawas yang tangguh untuk melindungi hak-hak perempuan di komunitas mereka.
Gulabi Gang mendapatkan pengakuan secara global dan telah menjadi inspirasi bagi banyak perempuan di seluruh dunia. Kisah mereka telah menarik perhatian media internasional dan mendorong pembicaraan tentang hak-hak perempuan.
Melalui aksinya, Gulabi Gang telah menciptakan perubahan sosial dan kesadaran dalam masyarakat mereka. Mereka memberikan inspirasi bagi perempuan lain untuk bersatu dan mengambil tindakan mengatasi kekerasan.
Kisah Gulabi Gang adalah contoh nyata bahwa perempuan, meskipun menjadi korban kekerasan, memiliki kekuatan untuk mengambil tindakan dan membawa perubahan dalam masyarakat. Mereka menjadi pionir dalam melawan ketidakadilan dan membuktikan bahwa kebersamaan dan keberanian perempuan dapat mengatasi rintangan yang tampaknya tidak teratasi.
Kompleksitas Kekerasan terhadap Perempuan
Kompleksitas kekerasan terhadap perempuan datang dari beberapa aspek. Kekerasan terhadap perempuan yang mencakup aspek fisik, verbal, dan seksual memberikan dampak yang serius pada korban.
Dimensi fisik kekerasan melibatkan penggunaan kekuatan atau kekerasan tubuh untuk menyakiti atau mengendalikan perempuan. Ini dapat mencakup tendangan, pemukulan, atau penggunaan senjata.
Kekerasan fisik dapat menyebabkan cedera fisik serius, tetapi juga memiliki dampak psikologis yang signifikan seperti trauma, ketakutan, dan kecemasan. Perempuan yang mengalami kekerasan fisik mungkin mengalami kerusakan kesehatan jangka panjang.
Kekerasan verbal dan emosional melibatkan penggunaan kata-kata atau perilaku untuk merendahkan, melecehkan, atau mengintimidasi perempuan. Ini bisa termasuk cacian, ancaman, atau kontrol verbal.
Kekerasan verbal dan emosional dapat merusak harga diri, meningkatkan stres, dan menyebabkan masalah kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan. Pola ini juga dapat menyebabkan isolasi sosial dan perasaan tidak aman.
Kekerasan seksual melibatkan pemaksaan atau tekanan untuk melakukan tindakan seksual yang tidak diinginkan. Ini bisa mencakup pemerkosaan, pelecehan seksual, atau eksploitasi seksual. Kekerasan seksual dapat menyebabkan trauma psikologis yang mendalam, gangguan stres pasca-trauma (PTSD), dan masalah kesehatan reproduksi.
Korban sering kali mengalami kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat dan dapat menghadapi stigma sosial yang berat. Ketidaksetaraan dan diskriminasi juga merupakan interseksionalitas dalam kekerasan terhadap perempuan.
Dimensi ini juga mencakup ketidaksetaraan dan diskriminasi yang dialami perempuan berdasarkan faktor-faktor seperti ras, kelas sosial, orientasi seksual, dan disabilitas. Perempuan yang mengalami kekerasan sering kali berhadapan dengan lebih dari satu bentuk diskriminasi atau penindasan.
Keberadaan kekerasan fisik, verbal, dan seksual sering kali terkait dengan dinamika kekuasaan yang tidak seimbang dalam hubungan atau masyarakat. Pada hakikatnya, kekerasan ini dapat digunakan untuk mempertahankan atau memperkuat kontrol atas perempuan.
Kekerasan dalam satu dimensi sering kali terkait dengan kekerasan dalam dimensi lainnya, menciptakan siklus kekerasan yang sulit untuk diputus. Adanya kemajuan teknologi membuka pintu bagi bentuk kekerasan daring seperti pelecehan online, peretasan privasi, dan persebaran konten pornografi tanpa izin. Kesulitan mengidentifikasi dan menindak pelaku kekerasan daring karena anonimitas yang dimungkinkan oleh platform digital.
Pada realita yang senada, kekerasan seksual tetap menjadi isu serius di ruang publik, seperti pelecehan seksual di transportasi umum atau dalam kerumunan. Adanya stigma sosial yang membuat korban enggan melaporkan kejadian kekerasan dan mencari bantuan.
Selain itu, stigma sosial membuat korban enggan melaporkan kejadian kekerasan dan mencari bantuan. Ketergantungan ekonomi pada pasangan atau keluarga bisa menjadi hambatan untuk melarikan diri dari situasi kekerasan.
Norma dan budaya yang masih dipengaruhi oleh patriarki memiliki dampak signifikan dalam memfasilitasi dan membenarkan kekerasan terhadap perempuan. Patriarki sering kali merasuk ke dalam tradisi dan norma sosial yang mengatur hubungan antara gender.
Adanya ekspektasi tertentu terhadap peran gender, seperti peran dominan laki-laki dan peran subordinasi perempuan, dapat memberikan landasan bagi perilaku yang mendukung kekerasan.
Stereotip gender yang diperkuat oleh patriarki cenderung melekat pada pandangan bahwa laki-laki memiliki kekuatan, keunggulan, dan kontrol, sementara perempuan dianggap lemah atau membutuhkan perlindungan. Stereotip ini menciptakan asimetri kekuatan yang dapat membenarkan tindakan kekerasan sebagai cara untuk “mendisiplinkan” perempuan.
Patriarki sering kali memberikan laki-laki kontrol yang lebih besar terhadap tubuh perempuan, termasuk dalam konteks hubungan intim. Ideologi bahwa laki-laki memiliki hak untuk mengendalikan tubuh perempuan dapat memperkuat perilaku kekerasan, terutama dalam situasi di mana izin atau persetujuan tidak dihargai.
Norma dan budaya yang diperkuat oleh patriarki dapat menciptakan pola pembenaran terhadap kekerasan, seperti pemikiran bahwa perempuan yang memberontak atau tidak patuh “meminta” atau “layak” untuk mengalami kekerasan. Ada juga pola pembenaran dalam bentuk merendahkan atau melecehkan korban, menempatkan tanggung jawab pada mereka dan bukan pada pelaku kekerasan.
Patriarki sering kali menciptakan sistem yang minim akuntabilitas terhadap pelaku kekerasan, terutama jika mereka adalah laki-laki yang berada dalam posisi kekuasaan. Struktur kelembagaan yang tidak sensitif terhadap isu-isu gender dapat menyebabkan pelanggaran hak perempuan tanpa konsekuensi serius.
Patriarki juga menciptakan dan mempertahankan gambaran kekerasan terhadap perempuan dalam media dan budaya populer. Normalisasi ini dapat mengaburkan batas antara kekerasan dan romantisasi atau menggambarkan kekerasan sebagai suatu bentuk ekspresi cinta yang tidak seharusnya dihukum.
Patriarki dapat tercermin dalam struktur ekonomi yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rentan secara ekonomi. Ketergantungan ekonomi dapat menjadi hambatan bagi perempuan untuk meninggalkan hubungan yang beracun atau melaporkan kekerasan karena kekhawatiran kehilangan dukungan finansial.
Patriarki sering kali memberikan kekuatan dan keistimewaan kepada kelompok laki-laki, terutama yang berasal dari lapisan sosial yang lebih tinggi. Hal ini dapat menciptakan lingkungan di mana tindakan kekerasan dianggap sebagai hak istimewa dari kekuasaan yang dimiliki oleh sebagian kelompok.
Untuk mengatasi kompleksitas ini, perlu adanya perubahan budaya yang mendorong kesetaraan gender, mendukung inisiatif pendidikan yang melibatkan seluruh masyarakat, dan memperkuat perlindungan hukum serta penerapan sanksi yang tegas terhadap pelaku kekerasan. Selain itu, penting untuk mendukung perempuan dalam membangun kekuatan ekonomi dan mengatasi norma patriarki yang merugikan.
Solidaritas Perempuan sebagai Aksi Tangible
Solidaritas perempuan sebagai aksi tangible atau tindakan yang konkret merujuk pada kolaborasi dan dukungan nyata antara perempuan untuk menanggulangi berbagai isu, termasuk kekerasan terhadap perempuan.
Ini mencerminkan komitmen bersama untuk membangun kekuatan kolektif, mendukung perempuan yang menjadi korban, dan melawan ketidaksetaraan gender. Solidaritas perempuan mewujud dalam pembentukan forum dukungan dan dialog di mana perempuan dapat berbagi pengalaman, cerita, dan strategi untuk mengatasi kekerasan atau ketidaksetaraan.
Pertemuan-pertemuan ini dapat menjadi tempat aman untuk saling mendengarkan dan merespons, menciptakan ruang di mana korban merasa didukung dan dipahami.
Perempuan yang bersatu dapat menyebarkan kesadaran tentang kekerasan terhadap perempuan dan isu-isu gender lainnya. Program edukasi yang melibatkan perempuan sebagai pendidik dan pelajar membantu mengubah norma dan sikap di masyarakat. Solidaritas perempuan dapat diterjemahkan ke dalam tindakan ekonomi, seperti mendukung usaha perempuan atau menyediakan pelatihan keterampilan untuk meningkatkan kemandirian ekonomi.
Pemberdayaan ekonomi membantu perempuan mengatasi ketergantungan dan memberikan sumber daya untuk meninggalkan situasi yang merugikan. Solidaritas melibatkan dukungan psikososial, seperti penyediaan layanan kesehatan mental, kelompok dukungan, dan konseling. Perempuan yang telah mengalami kekerasan sering kali memerlukan dukungan emosional dan psikologis untuk pulih secara menyeluruh.
Perempuan yang bersatu dapat menjadi kekuatan advokasi yang kuat, menekankan perlunya perubahan kebijakan dan hukum untuk melindungi hak-hak perempuan. Kampanye bersama dapat menghasilkan tekanan sosial untuk mengubah norma dan praktek-praktek yang merugikan.
Solidaritas perempuan mencakup partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan di berbagai tingkat, termasuk tingkat pemerintahan dan organisasi. Memastikan representasi perempuan dalam ruang pengambilan keputusan merupakan langkah kunci untuk menyuarakan kepentingan dan kebutuhan mereka.
Selain itu, membangun jaringan solidaritas membantu perempuan terhubung satu sama lain, berbagi sumber daya, dan memberikan informasi yang dapat membantu dalam melawan kekerasan. Platform ini memungkinkan pertukaran pengetahuan dan pengalaman yang dapat memperkuat perjuangan bersama.
Solidaritas perempuan dapat diterjemahkan melalui program pendidikan dan pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan, pengetahuan, dan kapasitas perempuan. Ini menciptakan basis yang lebih kuat untuk peningkatan status dan posisi perempuan dalam berbagai bidang.
Solidaritas perempuan sebagai aksi tangible adalah respons terhadap kompleksitas kekerasan terhadap perempuan. Dengan bersatu, perempuan dapat menciptakan perubahan yang lebih besar dan membentuk masyarakat yang lebih adil dan setara.
Penciptaan Lingkungan Dukungan
Penciptaan lingkungan dukungan yang proaktif dan responsif dapat memainkan peran kunci dalam meminimalisir kekerasan terhadap perempuan. Lingkungan tersebut harus mencakup aspek-aspek yang menyeluruh, termasuk kesehatan mental, pencegahan, dukungan sosial, dan pendidikan.
Mendukung program pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang kekerasan terhadap perempuan di kalangan masyarakat, adalah salah satu ide terbaik. Mengintegrasikan pendidikan tentang hak-hak perempuan, kesetaraan gender, dan pencegahan kekerasan ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainnya.
Menyediakan layanan kesehatan mental yang sensitif gender untuk membantu korban kekerasan mengatasi trauma, juga merupakan pilihan program yang tepat guna. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan profesional kesehatan mental yang terlatih dalam isu-isu gender dan kekerasan.
Selain itu, perlu kiranya mendirikan pusat krisis dan layanan darurat yang dapat diakses oleh korban kekerasan terhadap perempuan. Misalnya menyediakan layanan 24 jam dan dukungan melalui hotline atau layanan pesan teks untuk memberikan bantuan segera.
Mengadakan program pendidikan untuk masyarakat yang fokus pada peran setiap individu dalam mencegah kekerasan dan mendukung korban, juga adalah pilihan yang tepat. Upaya ini dapat menggandeng komunitas lokal, lembaga keagamaan, dan organisasi masyarakat dalam upaya pencegahan. Membangun kemitraan dengan LSM dan organisasi pekerja sosial yang berkomitmen untuk memberikan bantuan dan dukungan kepada korban kekerasan adalah juga solusi yang tepat.
Cara ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan layanan dan sumber daya untuk meningkatkan jaringan dukungan. Program ini bisa diikuti dengan mengembangkan pendekatan pendidikan seksual yang holistik yang melibatkan aspek kesehatan, hak-hak manusia, dan pencegahan kekerasan. Program ini dapat memfasilitasi dialog terbuka tentang hubungan sehat, batasan-batasan, dan komunikasi yang aman.
Pada aspek yang senada, penting juga untuk mengadvokasi kebijakan dan hukum yang lebih ketat terkait dengan perlindungan perempuan dari kekerasan. Hal ini mendukung implementasi dan penegakan hukum yang efektif.
Mendukung hal tersebut, melibatkan laki-laki dan pria dalam upaya pencegahan dan dukungan terhadap perempuan yang menjadi korban, adalah pilihan yang tepat. Program pelibatan laki-laki dapat membantu mengubah norma sosial dan mendorong tanggung jawab bersama dalam menciptakan lingkungan yang aman.
Program lain yang bisa jadi alternatif tambahan adalah mendorong tempat kerja yang mendukung kesetaraan gender dan memiliki kebijakan yang melindungi perempuan dari kekerasan atau pelecehan. Program ini menyediakan pelatihan bagi staf tentang bagaimana mendeteksi dan menanggapi situasi kekerasan.
Selain itu, meluncurkan kampanye dan inisiatif komunikasi yang positif untuk merubah norma dan budaya yang mendukung kekerasan, juga merupakan pilihan program yang bijak. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan media sosial dan platform komunikasi lainnya untuk menyebarkan pesan kesetaraan dan pencegahan kekerasan.
Penciptaan lingkungan dukungan yang efektif memerlukan kolaborasi antara pemerintah, LSM, sektor swasta dan masyarakat. Dengan upaya bersama, dapat diciptakan lingkungan yang mendukung dan aman bagi perempuan, serta meminimalisir risiko dan dampak kekerasan terhadap mereka.
Penanganan Sistemik
Penanganan sistemik terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia melibatkan berbagai aspek, termasuk kebijakan hukum dan langkah-langkah konkret untuk melindungi hak dan kesejahteraan perempuan. Berikut adalah beberapa kebijakan hukum dan langkah-langkah yang telah diambil di Indonesia dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan:
Pertama, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. UU ini merupakan landasan hukum utama yang mengatur penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia. Undang-undang ini memberikan definisi yang lebih luas terhadap kekerasan dalam rumah tangga dan memberikan kewenangan bagi aparat penegak hukum untuk melibatkan diri dalam perlindungan korban.
Kedua, UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Melalui amendemen ini, definisi kekerasan terhadap anak diperluas, dan upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap anak diperkuat. Perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak yang menjadi korban kekerasan diperkuat dan diintegrasikan dalam kerangka hukum yang lebih luas.
Ketiga, Panduan Penyidikan dan Penuntutan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak: Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung telah menerbitkan panduan khusus untuk penyidikan dan penuntutan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Panduan ini memberikan pedoman bagi aparat penegak hukum dalam menghadapi kasus-kasus kekerasan dengan pendekatan yang lebih sensitif dan berfokus pada perlindungan korban.
Keempat, Program Perlindungan Saksi dan Korban (PPSK): PPSK merupakan inisiatif pemerintah untuk melindungi saksi dan korban kasus kekerasan, termasuk kekerasan terhadap perempuan. Program ini mencakup penyediaan tempat aman, dukungan psikososial, dan pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban agar mereka dapat memberikan keterangan tanpa takut atau tekanan.
Keenam, Penambahan Hukuman bagi Pelaku Kekerasan: Beberapa amendemen terhadap perundang-undangan telah dilakukan untuk meningkatkan hukuman bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan. Peningkatan hukuman diharapkan menjadi efek jera dan memperkuat keadilan bagi korban.
Ketujuh, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A): Pemerintah mendirikan P2TP2A di berbagai daerah sebagai pusat layanan terpadu untuk memberikan perlindungan dan bantuan bagi perempuan dan anak-anak yang menjadi korban kekerasan. P2TP2A menyediakan layanan medis, psikososial, hukum, dan pendampingan untuk korban.
Kedelapan, Pembentukan Satuan Perlindungan Perempuan dan Anak (Polwan) di Kepolisian: Pemberdayaan peran polisi perempuan (Polwan) dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Penempatan Polwan di unit khusus atau satuan yang menangani kekerasan terhadap perempuan untuk meningkatkan pendekatan yang lebih sensitif dan mendukung.
Kesembilan, Penguatan Pencegahan Melalui Pendidikan dan Kampanye: Inisiatif penguatan pendidikan dan kampanye yang bertujuan untuk mengubah norma sosial, memberikan pemahaman tentang hak-hak perempuan, dan memperkuat kesadaran masyarakat terhadap kekerasan terhadap perempuan.
Meskipun telah ada berbagai kebijakan dan langkah-langkah, masih ada tantangan yang perlu diatasi, termasuk implementasi yang konsisten, kesadaran masyarakat yang lebih tinggi, dan penguatan kerja sama lintas sektor.
Upaya bersama antara pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta menjadi kunci untuk menciptakan perubahan yang signifikan dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
Elisabeth Irma Novianti Davidi adalah dosen Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Katolik St Paulus Ruteng