‘Keduanya Kami Proses,’ Kata Polres Manggarai Timur terkait Kasus Persetubuhan Anak di Bawah Umur dan Penganiayaan Tersangka oleh Polisi

Lewat gugatan praperadilan, tersangka mempersoalkan prosedur penangkapan, penyitaan barang hingga dugaan penganiayaan oleh polisi

Floresa.co – Polres Manggarai Timur menyatakan memproses kasus dugaan persetubuhan anak di bawah umur yang menyeret seorang pelajar sekaligus kasus dugaan penganiayaan terhadapnya saat ditangkap polisi.

“Keduanya kami proses,” kata Kapolres Manggarai Timur, AKBP Suryanto kepada Floresa.

Pernyataan Suryanto merespons gugatan praperadilan yang diajukan pelajar salah satu SMA di Borong itu. 

Gugatan ditujukan terhadap dirinya dan Kasat Reskrim, Iptu Ilham Gesta Rahman.

Pelajar itu, berusia 18 tahun, mempersoalkan penangkapannya sebagai tersangka kasus persetubuhan dengan korban sesama pelajar yang masih di bawah umur.

Berusia di bawah 17 tahun, korban merupakan putri seorang polisi di Polres Manggarai Timur.

Sidang keempat gugatan praperadilan berlangsung di Pengadilan Negeri Ruteng, Kabupaten Manggarai pada 7 November, dengan agenda pembacaan duplik dan pengajuan bukti. 

Sidang pertama digelar pada 4 November, setelah didaftarkan pada 30 Oktober. Rangkaian sidang dipimpin dan akan diputuskan hakim tunggal, Syifa Alam pada 11 November.

Fitalis Burhan, pengacara tersangka berkata kepada Floresa, beberapa poin yang disorot dalam gugatan itu adalah kejanggalan penangkapan dan penyitaan barang milik kliennya, penahanan hingga penetapan statusnya sebagai tersangka.

Ia menjelaskan, penangkapan terjadi pada 11 September, hari yang sama saat laporan kasus ini diajukan ke Polres Manggarai Timur.

“Faktanya, penyidik baru menerbitkan surat penangkapan dan penahanan pada 14 September,” katanya.

Saat penangkapan, polisi juga “tidak menunjukkan surat perintah penangkapan maupun penahanan.” 

Ia juga mempersoalkan langkah beberapa polisi yang “justru melakukan penganiayaan berat” terhadap kliennya, yang dibuktikan dengan hasil visum.

Hal itu, jelas Fitalis, melanggar pasal 27 ayat [2] huruf a Peraturan Kapolri Nomor 2 Tahun 2023 yang menyatakan “petugas kepolisian dilarang melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis atau seksual untuk mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan.”

Ia juga menyebut surat perintah penyitaan sebuah sepeda motor dan ponsel milik kliennya yang “sejauh ini belum diperoleh, baik oleh keluarga maupun kuasa hukum.”

Selain itu, tersangka juga menggugat Polres Manggarai Timur lantaran tak membolehkan orang tuanya menjenguk ke ruang tahanan.

Sesuai ketentuan praperadilan, kata Fitalis, gugatan ini menyasar “aspek prosedural atau sisi formil.”

Konsekuensi hukum jika praperadilan dikabulkan, kliennya bisa bebas dari tahanan, demikianpun barang-barang yang disita dikembalikan.

“Namun, penyidik bisa saja melakukan penyidikan ulang terhadap objek pokok perkara dari sisi materiil. Artinya, bisa saja penyidik melakukan penyidikan ulang terhadap kasus tersebut,” kata Fitalis.

Merespons gugatan ini, AKBP Suryanto menolak memberi penjelasan rinci terhadap pokok-pokok gugatan.

Ia hanya berkata bahwa pihaknya memproses dua kasus ini, baik persetubuhan maupun penganiayaan.

Pelajar terduga pelaku, katanya, telah ditetapkan sebagai tersangka pada 13 September, dua hari sesudah ditangkap, sementara ayah korban pada 11 Oktober.

Ia menambahkan, berkas kasus ayah korban sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Manggarai pada 30 Oktober.

Ditanya soal waktu penetapan keduanya sebagai tersangka yang berselisih nyaris sebulan, Suryanto hanya mengatakan “akan saya jawab di pengadilan.”

“Yang jelas,” katanya, “prosesnya bergantung pada kelengkapan alat bukti yang diperoleh penyidik.”

Kapolres Manggarai Timur, AKBP Suryanto. (Dokumentasi Floresa)

Beda Klaim

Tersangka dan korban dalam kasus ini dilaporkan berpacaran, sebelum remaja korban kemudian diketahui hamil.

Sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak, persetubuhan terhadap anak di bawah umur merupakan tindak pidana. 

Polres Manggarai Timur menggunakan Undang-Undang itu untuk menjerat tersangka, khususnya pasal 81 ayat [1] dan pasal 76D.

Ancaman hukuman untuk pasal 81 ayat [1] adalah 9 tahun penjara, sementara pasal 76D antara lima sampai 15 tahun.

Suryanto menyatakan, tidak ada keterlibatan anggota polisi yang lain dalam kasus penganiayaan tersangka.

“Hanya ayahnya [yang menganiaya tersangka] dalam perjalanan menuju Polres Manggarai Timur,” katanya.

“Bila butuh bukti yang lebih akurat, silakan periksa rekaman bersama penyidik,” katanya mengacu pada sistem pengawasan berbasis video atau CCTV.

“Jangankan seorang,” kata Suryanto yang sedang berdinas di Jakarta, “empat polisi melakukan penganiayaan pun akan saya hukum.”

Pada 5 November malam, Floresa sempat menanyakan kondisi terbaru tersangka, yang dijawab Suryanto, “silakan menghubungi Kasat Reskrim, sembari mengirim nomor ponsel Iptu Ilham Gesta Rahman.

Namun, Gesta tidak bersedia memberi komentar, beralasan, “saya sedang dalam perjalanan dari Ruteng ke Borong.” 

Suryanto merespons jawaban Gesta yang Floresa teruskan padanya, dengan meminta seorang polisi bawahannya menghubungi Floresa.

Rafael Saputra Welem, anggota bagian administrasi tahanan dan barang bukti Polres Manggarai Timur lalu menghubungi Floresa lewat percakapan video WhatsApp.

Kamera ponselnya diarahkan ke tersangka, yang dalam video itu tampak berbaju hitam dan berdiri dalam suatu ruangan.

“Bisa cek, ya,” kata Suryanto, “tersangka dalam kondisi sehat di ruang tahanan, tidak ada yang ganggu.”

Pernyataan Suryanto soal hanya satu polisi yang terlibat dalam penganiayaan berkebalikan dengan Fitalis Burhan, pengacara tersangka. 

Kepada Floresa pada 5 November, ia berkata, penganiayaan juga melibatkan “sejumlah anggota polisi lainnya.”

Penganiayaan “dilakukan di tiga lokasi,” katanya.

Fitalis menjelaskan, kliennya dijemput tiga anggota penyidik Unit Pelayanan Perempuan dan Anak [PPA] di suatu persimpangan di wilayah Sita, Kecamatan Rana Mese pada 11 September sekitar pukul 18.00 Wita, setelah sebelumnya berkomunikasi melalui WhatsApp dengan seorang personel penjemput.

Kliennya itu kemudian dibawa masuk ke dalam pikap merek Hilux berwarna putih. 

Di bangku sopir duduk ayah dan ibu korban, kata Fitalis. Ibu korban bukan anggota polisi.

Ayah korban lalu bertanya soal hubungan keduanya, yang dijawab kliennya, “kami pacaran, Om.”

Mendengar jawaban itu, ayah korban lanjut menanyakan apakah terduga pelaku mengetahui kondisi terkini putrinya.

Terduga pelaku menjawab, “tidak tahu, Om” disambut pengakuan bahwa mereka telah berhubungan intim; pernyataan yang diduga menyulut kemarahan ayah korban.

Menurut Fitalis, ayah korban lalu mencekik leher kliennya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya “berkali-kali memukul mukanya hingga babak belur.”

Penganiayaan berhenti setelah seorang anggota polisi yang duduk dekat kliennya berkata, “cukup sudah.”

Mobil Hilux itu kemudian menuju ke Polres Manggarai Timur. 

Fitalis mengatakan, di Jembatan Wae Laku yang berjarak sekitar enam kilometer dari Polres Manggarai Timur, mobil yang disopiri ayah korban itu menepi.

Kecuali kliennya, “semua rombongan keluar dari mobil,” kata Fitalis.

Tak lama berselang, ayah korban masuk lagi ke dalam mobil dan bertanya kepada kliennya, berapa kali berhubungan intim dengan anaknya. 

Fitalis mengatakan kliennya menjawab pertanyaan itu, namun justru disambut pukulan “secara brutal hingga mulut dan hidung berdarah.”

Selepas penganiayaan, ayah korban menyopiri lagi Hilux putih itu menuju Polres Manggarai Timur. 

Tiba di Polres sekitar pukul 19.00 Wita, rombongan polisi itu menurunkan kliennya dan membawanya ke ruang besuk tahanan.

Tak lama kemudian, “tiba-tiba lampu dalam ruangan itu mati” dan saat itulah “ayah korban kembali menganiaya klien saya.”

Setelah dipukul, lima anggota polisi lainnya masuk dan memukul tersangka secara bergantian “hingga tak berdaya,” kata Fitalis.

“Setelah itu baru lampu dinyalakan,” katanya.

Kalaupun tersedia sistem pengawasan berbasis video atau CCTV, kata Fitalis, “pasti peristiwa itu tidak terlihat karena lampu dimatikan.”

Sementara itu Suryanto menegaskan pemukulan hanya terjadi dalam perjalanan menuju Polres Manggarai Timur. 

“Tidak ada pemukulan dalam sel tahanan,” katanya.

“Saya bahkan bertanya langsung pada anak [tersangka]. Ia bilang, ‘tidak ada’ [yang memukul dalam sel tahanan].”

Fitalis Burhan, kuasa hukum tersangka kasus persetubuhan anak di bawah umur sekaligus korban kasus dugaan penganiayaan oleh polisi di Polres Manggarai Timur. (Dokumentasi pribadi)

Tak Diketahui Keluarga

Penangkapan dan penahanan tersangka tak diketahui orang tuanya, kata Fitalis.

Mereka baru mengetahui dua hari sesudah penganiayaan saat mendatangi kos anaknya sambil membawa beras dan uang sewa bulanan kamar. 

Kepada orang tua tersangka, sejumlah teman kosnya mengatakan “ia ditahan polisi karena menghamili anak polisi.”

Mendengar itu, orang tua tersangka mendatangi Polres Manggarai Timur. 

Mereka marah terhadap polisi yang bertugas dalam ruangan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu karena tak diberi tahu soal penahanan anak mereka.

Menurut Fitalis, hari itu dan dua hari sesudahnya, orang tua kliennya tak diizinkan menjenguk anak mereka. 

Mereka baru diizinkan membesuk pada 17 September, enam hari sesudah penangkapan.

Kedua orang tuanya “kaget melihat muka anak mereka tampak lebam.”

AKBP Suryanto mengatakan kedua orang tua “tak diperbolehkan ke Polres karena alasan keamanan.” 

Apalagi “ayah korban masih sangat emosional,” katanya.

Ia menyatakan, tak mudah bagi saya memproses hukum kasus ini.” 

”Keluarga kedua pihak pasti menderita,” katanya, karena dari masing-masing mereka ada yang “telah saya jadikan tersangka.”

Anastasia Ika, Herry Kabut dan Petrus Dabu berkontribusi dalam pengerjaan laporan ini.

Editor: Ryan Dagur 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA