Floresa co – Dewan Pers dan International Media Support [IMS] meneken nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding [MoU] guna memperkuat perlindungan bagi jurnalis di Indonesia.
MoU bertajuk “Meningkatkan Keamanan dan Standar Profesional Wartawan di Indonesia” itu ditandatangani pada 6 Maret di Gedung Dewan Pers, Jakarta.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menyatakan kerja sama ini merupakan “langkah strategis untuk meningkatkan keselamatan jurnalis.”
Ia tak menafikan mekanisme perlindungan bagi jurnalis yang selama ini berlaku di Indonesia. Namun, upaya itu saja belum cukup.
Karenanya, kata Ninik, “butuh keterlibatan berbagai pihak guna memperkuat penegakan kemerdekaan pers secara lebih komprehensif.”
Ninik berharap kerja sama ini tak berhenti pada penyusunan mekanisme, tetapi “mesti dipastikan bagaimana mekanisme ini berjalan, berikut instrumen pengawasannya.”
Ia juga mengingatkan pentingnya kebijakan yang mengikat para lembaga terkait sehingga kekerasan tak lagi terulang terhadap jurnalis.
Sementara Lars Bestle dari IMS Asia Regional Director menekankan pentingnya kebebasan pers dan independensi media.
“IMS berkomitmen memastikan jurnalisme dapat terus berfungsi untuk kepentingan publik. Perlindungan terhadap jurnalis dari ancaman kekerasan menjadi salah satu prioritas utama kami,” katanya.
Menindaklanjuti MoU, konstituen Dewan Pers, Komite Keselamatan Jurnalis [KKJ], kementerian dan lembaga negara, akademisi, serta sejumlah organisasi masyarakat sipil segera menyusun mekanisme nasional terkait keselamatan jurnalis.
Mekanisme ini berfokus pada tiga pilar utama, yakni pencegahan, perlindungan, dan penegakan hukum.
Ninik menyebut hasil penyusunannya segera disosialisasikan untuk meningkatkan pemahaman publik terhadap sejumlah aturan terkait pers, termasuk Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Jurnalis Belum Terlindungi
Menyepakati Ninik, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen [AJI] Indonesia, Nani Afrida mengungkapkan “banyak kasus kekerasan terhadap jurnalis yang hingga kini belum terselesaikan.”
Februari tahun lalu, dua media daring di Makassar, Sulawesi Selatan digugat perdata sebesar Rp700 miliar. Lima bulan kemudian Rico Sempurna Pasaribu, jurnalis di Kabupaten karo, Sumatra Utara meninggal dalam rumahnya yang diduga sengaja dibakar.
Sementara secara global, Federasi Jurnalis Internasional mencatat sebanyak 516 jurnalis dipenjara, 122 jurnalis dan pekerja media tewas, termasuk di wilayah konflik Timur Tengah dan Gaza sepanjang 2024.
“Data itu menegaskan urgensi peningkatan perlindungan terhadap jurnalis,” kata Nani.
Di sisi lain, kendati Indeks Keselamatan Jurnalis pada 2024 meningkat sebesar 0,7 persen dari tahun sebelumnya menjadi 60,5, terjadi pergeseran kualitas kekerasan yang menuntut perhatian berbagai pihak, termasuk pemerintah.
Indeks itu diluncurkan baru-baru ini oleh Konsorsium Jurnalisme Aman – Yayasan Tifa, Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara dan Human Rights Working Group – dalam kolaborasi dengan lembaga riset Populix.
Salah satu studi kasus dalam laporan tersebut ialah penganiayaan terhadap Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut pada 2 Oktober 2024.
Anggota Polres Manggarai, Hendrikus Hanu, terbukti bersalah dalam sidang etik pada 24 Februari, namun hanya dijatuhi sanksi berupa “permintaan maaf.”
Putusan sidang ini menuai kecaman karena sanksi ringan dan persidangan yang dinilai kental dengan upaya melindungi institusi.

Koordinator Satgas Anti Kekerasan Wartawan Dewan Pers, Erick Tanjung, menyebut sanksi ringan ini sebagai bentuk impunitas aparat kepolisian terhadap kekerasan jurnalis.
“Ini akan menjadi preseden buruk bagi proses hukum di Indonesia, apalagi pelakunya adalah aparat yang seharusnya menjadi pengayom,” ujarnya.
“Jika aparat sendiri yang melanggar hukum, seharusnya hukumannya lebih berat agar benar-benar memberikan efek jera.”
Pengacara Herry, Ferdinansa Jufanlo Buba, juga menilai proses sidang etik tidak memuaskan dan memprotes vonis ringan terhadap Hendrikus.
“Kami tidak menemukan alasan yang cukup untuk meringankan sanksi, karena ia terbukti melakukan kekerasan,” katanya.
Sementara Yulianus Ario Jempau, pengacara lainnya berkata putusan bersalah terhadap Hendrikus “memang menunjukkan adanya keberpihakan pada korban.”
Putusan itu, menjadi “peringatan kepada polisi bahwa kerja jurnalistik harus dihargai, dan tidak boleh ada kejadian serupa bagi jurnalis dan elemen masyarakat sipil lainnya.”
Floresa juga menyatakan kekecewaannya terhadap kasus ini, menilai Polri mengaku adanya kekerasan tapi gagal mengusutnya secara tuntas, yang memperlihatkan praktik impunitas yang terang-terangan.
Editor: Anastasia Ika