Floresa.co – Korporasi milik Keuskupan Maumere mengerahkan umat dari sejumlah paroki untuk menguasai lahan konflik di Nangahale, membuat warga adat yang juga mengklaim lahan itu meminta perlindungan polisi demi menghindari konflik horizontal.
Pengerahan umat oleh PT Krisrama itu disampaikan dalam pengumuman di gereja-gereja di Keuskupan Maumere menjelang akhir Misa pada Minggu, 16 Maret.
Floresa mendengar pembacaan pengumuman itu dalam Misa di Gereja Paroki Reinha Rosari, Kewapante.
Dalam pengumuman, dijelaskan bahwa rencana itu berdasarkan kesepakatan rekoleksi para imam pada 12 Maret “tentang perlunya peran serta seluruh umat dalam proses percepatan peremajaan dan penanaman kelapa unggul pada lahan HGU Nangahale dan pengamanan aset-aset yang ada.”
“Maka, dengan ini diumumkan bahwa masing-masing paroki dapat mengutus minimal 30 orang untuk kegiatan penanaman bibit kelapa dan pemagaran di lokasi HGU,” demikian isi pengumuman itu, yang juga dibacakan di gereja-gereja lainnya.
Dalam aksi yang akan digelar pada Selasa esok, 18 Maret itu, umat diminta membawa batang pohon gamal dengan alat kerja seperti linggis atau parang.
“Kami minta kesediaan umat yang tidak berhalangan untuk terlibat dalam tugas itu. Kita akan daftarkan nama supaya pastikan jumlah pesertanya,” isi pengumuman itu.
Pastor Paroki Kewapante, Gregor Nule SVD, mengonfirmasi kepada Floresa bahwa pengumuman itu merujuk pada “surat yang diedar di seluruh paroki se-keuskupan.”
Ia berkata, karena berdasarkan keputusan para imam, ia menghormatinya.
“Soal lebih lanjut, nanti tanya kepada PT Krisrama,” katanya.
Pembacaan pengumuman terjadi setelah pada Sabtu beredar sebuah surat via WhatsApp dengan kop bertuliskan “Aksi Bersama Umat KUM di Lokasi HGU Nangahale,” dengan Koordinator Umum, Romo Robertus Yan Faroka.
Dalam surat ini, tercatat 17 paroki yang hendak dilibatkan, sambil ada catatan agar informasi itu diumumkan di mimbar gereja masing-masing.
Selain para imam diosesan, beberapa imam dari kongregasi juga dilibatkan sebagai koordinator kegiatan, yaitu dari Serikat Sabda Allah atau SVD dan Pasionis atau CP.
Floresa telah menghubungi Romo Epy Rimo dan Romo Robertus Yan Faroka, masing-masing direktur utama dan direktur pelaksana PT Krisrama soal rencana ini. Namun, keduanya tidak merespons hingga berita ini dipublikasi.
Menanggapi rencana ini, seorang umat Paroki Kewapante berkata, “saya menjadi bingung dengan tindakan ini.”
“Apakah kami menjadi pekerja PT Krisrama? Apakah tidak ada pemisahan antara urusan pastoral dan urusan bisnis?” kata umat itu yang meminta Floresa tidak menulis namanya karena alasan keamanan.
Ia mengaku dilema ketika mendengar pengumuman tersebut, mengkhawatirkan dampaknya bagi konflik horizontal antarwarga.
Rencana aksi ini terjadi setelah pada 22 Januari PT Krisrama juga melakukan penggusuran 120 rumah warga dan tanaman warga Suku Soge Natarmage dan Goban Runut yang tetap bertahan di Nangahale, hal yang memicu pemberitaan secara luas.
Pasca penggusuran yang dipimpin Romo Yan Faroka itu, yang ia klaim sebagai “pembersihan” lahan dari para okupan, warga adat bertahan di tenda-tenda darurat.
Potensi Konflik Baru
Ignasius Nasi, Kepala Suku Soge Natarmage, berkata “kami tetap dengan pendirian kami,” menanggapi rencana terbaru PT Krisrama.
“Kami tidak akan tinggalkan tanah kami,” katanya.
“Sebelumnya, mereka kerahkan aparat dan para preman untuk menggusur kami,” kata Ignasius merujuk pada peristiwa pada 22 Januari, “sekarang pakai umat, apakah itu bijak?”
Pada 16 Maret sore, Ignasius Nasi dan Antonius Toni memimpin rapat dengan warga Suku Soge Natarmage dan Goban Runut membahas respon atas rencana ini.
Mereka kemudian memutuskan meminta perlindungan ke Polres Sikka, demi menghindari konflik horizontal.
Pada pukul 20.00 Wita, mereka mendatangi kantor polisi membawa surat permohonan.

Salah satu warga lainnya yang juga meminta Floresa tak menulis namanya berkata, ia khawatir pengerahan umat ini bisa memicu letupan konflik.
“Kita semua tahu sedang terjadi konflik di sana. Apakah tindakan ini tidak berbahaya?”, katanya.
Konflik Agraria Berdekade
Konflik antara warga adat dengan PT Krisrama terkait lahan 868.730 hektare yang menurut mereka diambil secara paksa pada zaman penjajahan Belanda.
Setelah kemerdekaan, lahan tersebut beralih ke Keuskupan Agung Ende melalui PT. Perkebunan Kelapa Diag untuk masa kontrak selama 25 tahun, hingga 2013.
Keuskupan Maumere mulai menguasainya setelah keuskupan itu didirikan pada 2005, yang lalu membentuk PT Krisrama.
Setelah izin pengelolaan perusahaan keuskupan berakhir, masyarakat adat yang tinggal di dan mengelola lahan tersebut berupaya untuk mengklaimnya.
Namun, pada 2023, PT Krisrama memperoleh perpanjangan izin HGU atas tanah itu.
Dari total luas lahan 868,703 hektare, 325 hektare yang diberi hak oleh negara untuk dikelola PT Krisrama. Sisanya, 543 hektare dikembalikan kepada negara, yang sebagiannya untuk warga adat.
Namun, sengketa terus berlanjut karena menurut John Bala, kuasa hukum warga, wilayah HGU PT Krisrama mencakup lahan yang sudah ditempati warga sejak 2014, bagian dari pelaksanaan reforma agraria.
Sementara lahan seluas 543 hektare “adalah bagian yang tidak produktif, yang dibiarkan, yang sebelumnya disebut sebagai tanah terlantar ketika dikelola oleh PT Diag.”
“Mereka mengusulkan lahan yang tidak produktif itu sebagai bagian untuk warga, padahal tanah itu tidak ditempati warga saat ini,” katanya.
Ia juga berkata, lahan 543 hektare di luar HGU PT Krisrama juga “tidak secara gelondongan” diberikan kepada warga, tetapi sebagian diberikan kepada Pemerintah Kabupaten Sikka.
Selama konflik ini, PT Krisrama berulang kali melakukan aksi “pembersihan” lahan.
Pada 18 Desember 2023, warga menuding PT Krisrama merusak 182 pohon dan tanaman mereka yang lainnya. Kasus ini sempat dilapor ke Polres Sikka. Namun, pada Juli 2024 proses hukumnya dihentikan karena dianggap tidak memenuhi unsur pidana.
Pada 29 Juli 2024, aksi serupa juga terjadi, di mana 142 pohon dan tanaman lainnya dilaporkan dirusak. Hal itu memicu perlawanan warga yang membakar plang perusahaan. PT Krisrama kemudian melapor delapan warga ke polisi, dua di antaranya adalah perempuan.
Mereka ditahan sejak Oktober tahun lalu dan dituntut tujuh bulan penjara yang putusannya akan dibacakan pada hari ini, 17 Maret.
Editor: Ryan Dagur