Diskusi Publik Hari Buruh Internasional di Kupang Soroti Kondisi Ketenagakerjaan hingga Kemiskinan Struktural

Hasil diskusi akan diserahkan kepada Pemprov dan DPRD untuk mendorong penguatan kebijakan perlindungan dan kesejahteraan buruh

Floresa.co – Dalam rangka memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day pada 1 Mei, mahasiswa di Kupang, ibu kota Provinsi NTT menggelar diskusi publik yang menyoroti kondisi ketenagakerjaan, isu upah minimum hingga kemiskinan struktural di wilayah itu. 

Berlangsung di Aula SMK Negeri 3 Kota Kupang, diskusi bertajuk “Menakar Kesejahteraan Buruh di NTT” itu diinisiasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Kupang bersama Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Nusa Cendana Kupang.

Hadir sebagai pembicara, Dua Ate Astobe, Mediator Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) NTT; Stanis Tefa, Ketua DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) NTT; Toni Angtariksa Dima, Sekretaris Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) NTT; dan Yohanes Jimmy Nami, akademisi sekaligus dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Nusa Cendana (Undana).

Dua Ate Astobe menjelaskan “pentingnya delapan sarana hubungan industrial sebagai penopang utama kesejahteraan buruh, antara lain serikat pekerja, organisasi pengusaha, forum bipartit dan tripartit, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, hingga lembaga penyelesaian perselisihan.”

“Bila delapan sarana ini dijalankan dengan baik, maka kesejahteraan buruh bisa tercapai,” katanya

Delapan sarana hubungan industrial itu, kata dia, merupakan perangkat kelembagaan dan regulatif yang dirancang untuk menciptakan relasi kerja yang adil dan berimbang antara buruh dan pengusaha. 

Ia menekankan, “keberadaan serikat pekerja dan organisasi pengusaha adalah fondasi awal agar komunikasi dan negosiasi berjalan secara setara.” 

Forum bipartit dan tripartit, lanjutnya, memungkinkan dialog sosial yang melibatkan buruh, pengusaha, dan pemerintah sebagai “penengah untuk membahas isu-isu ketenagakerjaan secara menyeluruh.”

Selain itu, peraturan perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama atau PKB mesti disusun dengan prinsip keterbukaan dan keadilan. 

Ketika aturan internal dan kontrak kerja memuat standar upah layak, jam kerja manusiawi serta perlindungan sosial yang jelas, katanya, potensi konflik dapat ditekan. 

“Namun semua itu harus dibarengi dengan pengawasan dan komitmen dari pemerintah untuk memastikan kepatuhan perusahaan terhadap regulasi yang ada,” katanya. 

Ia juga menekankan pentingnya lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial agar konflik buruh tidak berlarut dan dapat diselesaikan secara adil dan cepat.

Stanis Tefa dari KSPSI NTT menyoroti Upah Minimum Provinsi (UMP) NTT pada 2025, yang lebih tinggi dibandingkan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, kendati ia menyebut “jumlah industri dan perusahaan di NTT masih sangat terbatas.”

Pemerintah Provinsi NTT menetapkan UMP 2025 sebesar Rp2.328.969, naik 6,5 persen atau setara Rp142.143,69 dari tahun sebelumnya. 

Penetapan itu dituangkan dalam Keputusan Gubernur NTT nomor 430/KEP/HK/2024 tanggal 11 Desember 2024 yang diteken eks Penjabat Gubernur, Andriko Noto Susanto, merujuk Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2024 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2025.

Meski demikian, Stanis menilai UMP tersebut belum menjamin kesejahteraan buruh secara merata. 

Menurutnya, banyak pekerja, khususnya di sektor informal seperti buruh tani, pekerja toko, dan buruh bangunan, tidak menikmati upah sesuai standar tersebut. 

Ia juga menegaskan “tingginya UMP NTT seharusnya mencerminkan kualitas hidup yang lebih baik bagi buruh, namun kenyataannya belum demikian.”

Hal itu, kata Stanis, karena terbatasnya lapangan kerja formal yang membuat hanya sebagian kecil buruh benar-benar menikmati upah sesuai ketentuan. 

“Kita tidak bisa hanya melihat UMP dari nominal, tapi harus mengkaji sejauh mana pelaksanaannya di lapangan,” ujarnya.

Ia juga mengkritik lemahnya pengawasan dan respons DPRD NTT terhadap berbagai permasalahan buruh. 

Menurutnya, “wakil rakyat kerap abai terhadap isu-isu yang bersentuhan langsung dengan kehidupan buruh, mulai dari pemotongan upah, jam kerja berlebih, hingga kasus PHK sepihak.” 

“Seringkali buruh tidak tahu harus mengadu ke mana. Di sinilah DPRD seharusnya hadir sebagai penghubung antara rakyat dan kebijakan,” katanya. 

Ia menambahkan bahwa perlu ada inisiatif konkret dari DPRD, seperti membentuk “panitia khusus ketenagakerjaan atau menggelar dengar pendapat rutin bersama serikat buruh.”

Lebih jauh, Stanis menyarankan agar “pembentukan kebijakan ketenagakerjaan di NTT lebih partisipatif,” dengan melibatkan langsung organisasi buruh dalam setiap proses penyusunan regulasi. 

Hal ini dinilai penting agar setiap keputusan tidak hanya menguntungkan pengusaha, tetapi juga berpihak pada perlindungan hak-hak dasar buruh. 

“Kalau suara buruh terus diabaikan, maka kebijakan yang lahir hanya akan jadi formalitas yang tak menyentuh realitas kehidupan mereka,” katanya.

Sementara itu, Toni Dima dari Apindo NTT, menjelaskan bahwa revolusi industri 4.0 saat ini membawa perubahan besar dalam cara perusahaan beroperasi, di mana “otomatisasi dan teknologi digital semakin menggantikan peran tenaga kerja manual.”

Menurutnya, banyak perusahaan kini memilih sistem yang lebih efisien dan presisi tinggi melalui robotika dan kecerdasan buatan. 

Hal ini, katanya, berdampak langsung pada “penyerapan tenaga kerja, terutama bagi pekerja yang belum memiliki keterampilan digital yang memadai.” 

“Kita harus realistis melihat bahwa dunia kerja terus berubah, dan buruh pun dituntut untuk beradaptasi,” katanya.

Meski begitu, Toni menekankan bahwa kesejahteraan buruh tidak semata-mata bergantung pada kebijakan perusahaan atau regulasi pemerintah. 

Ia berpandangan bahwa “peningkatan kualitas diri, kedisiplinan, dan etos kerja para buruh menjadi faktor penting dalam menjamin keberlanjutan usaha.”

Yohanes Jimmy Nami dari Undana mengkritisi kondisi buruh terdidik di NTT. 

Ia menyoroti banyaknya lulusan sarjana yang bekerja di sektor yang tidak sesuai dengan bidang keilmuan mereka akibat terbatasnya lapangan kerja. 

“Misalnya sarjana pertanian bekerja sebagai teller bank,” katanya mencontohkan.

Jimmy juga menyinggung soal “kemiskinan struktural dan maraknya kasus perdagangan orang sebagai masalah serius di NTT.” 

Ia mengutip data Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) NTT yang mencatat, sejak Januari hingga April 2025, jumlah pekerja migran yang dipulangkan meninggal dunia mencapai 49 orang, dengan mayoritas berasal dari jalur nonprosedural atau ilegal. 

Jimmy menilai fenomena ini mencerminkan buruknya kondisi ketenagakerjaan di NTT, yang mendorong banyak warga mencari pekerjaan ke luar negeri, meskipun berisiko tinggi. 

Ia juga mengkritisi “rendahnya kualitas pendidikan dan minimnya lapangan kerja formal di NTT sebagai faktor pendorong utama.” 

“Kemiskinan struktural di NTT sudah memasuki tahap memprihatinkan, dan ini harus menjadi perhatian serius pemerintah dan dunia usaha,” katanya.

Diskusi ini juga dihadiri oleh puluhan peserta dari organisasi Cipayung Plus berbasis di Kupang, di antaranya Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), dan BEM Undana, serta sejumlah organisasi mahasiswa daerah.

Menutup kegiatan, Ketua GMNI Kupang, Jacson Marcus, menyampaikan bahwa hasil diskusi ini akan dirumuskan dan diserahkan ke Pemprov dan DPRD NTT sebagai bentuk dorongan kebijakan untuk perlindungan dan kesejahteraan buruh. 

“Kami ingin agar pemikiran-pemikiran ini ditindaklanjuti secara konkret,” katanya.

Editor: Anno Susabun

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA