Floresa.co – Sandrianus Sehadun mendapat surat pemberitahuan pemberhentian sebagai Tenaga Harian Lepas [THL] di Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Kabupaten Manggarai Barat pada hari terakhir tahun lalu.
Sandri, sapaan pria 30 tahun itu, merupakan salah satu dari 20 THL yang mendapat surat serupa di dinas tersebut.
Dalam surat pemberitahuan bernomor DLHP.660/330/XII/2024 yang salinannya diperoleh Floresa, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan, Vinsensius Gande menyatakan, pemberhentian itu “sehubungan dengan berakhirnya masa Surat Perjanjian Kerja tanggal 31 Desember 2024.”
Dalam salah satu poin, ia menjelaskan “perpanjangan pengangkatan THL menunggu pemberitahuan lebih lanjut.”
Sandri yang sudah bekerja sebagai ‘pasukan kuning’ atau petugas kebersihan di dinas itu selama 10 tahun mengaku terkejut mendapat surat itu.
Apalagi, katanya kepada Floresa pada 7 Januari, namanya tidak lagi muncul dalam Surat Keputusan [SK] terbaru pengangkatan THL di instansi tersebut.
“Saya kaget, tiba-tiba nama saya tidak ada di SK terbaru,” katanya.
“Padahal selama ini saya kerja terus, saya juga tidak ada masalah sama orang-orang di dinas,” kata, Sandi, yang sudah menikah dan memiliki dua anak.
Vinsensius Gande, yang ditemui Floresa di kantornya pada 7 Januari, berkata, pemberhentian THL yang bekerja di Bidang Tempat Pengolahan Sampah Terpadu [TPST] tersebut berdasarkan hasil evaluasi terkait masalah disiplin “dalam menjalankan tugas.”
Para THL itu, katanya, telah berulang kali dipanggil karena masalah keterlambatan masuk kerja.
Para THL yang mengurus sampah bekerja pagi hari dan ketika mereka “tidak bisa bangun pagi, orang akan komplain.”
Ia mencontohkan para THL yang bekerja mengangkut sampah di sekitar Pelabuhan Marina Labuan Bajo yang sering jadi sasaran keluhan.
Banyak orang mengeluhkan sampah-sampah di kawasan tersebut yang tidak segera diangkut petugas, katanya.
Karena petugas terlambat, kata Vinsen, bus-bus pariwisata lebih dahulu tiba di lokasi itu, menyebabkan truk pengangkut sampah tidak dapat masuk.
Selain masalah disiplin, kata Vinsen, anggaran yang belum ditetapkan dalam Dokumen Pelaksana Anggaran [DPA] juga menjadi alasan pemberhentian.
Sebelum penetapan DPA, katanya, instansi tersebut tidak memiliki pasokan bahan bakar minyak untuk mesin pengolahan sampah, hal yang menyebabkan para THL di TPST tidak memiliki porsi kerja.
“Daripada mereka datang dan tidak ada pekerjaan, makanya kita off-kan saja, sambil kita evaluasi mana yang dipertahankan, mana yang tidak,” katanya.
Ia menyebut akan mengaktifkan kembali para THL setelah penetapan DPA “sekitar Februari atau Maret.”
Meski terkendala anggaran, pihaknya membuka lowongan baru THL di dinasnya.
“Ada yang diperpanjang, ada yang hanya ganti-ganti bidang,” kata Vinsen.
Sandi mengkritisi pernyataan Vinsen, mengaku tak pernah mendapatkan teguran lisan maupun peringatan tertulis yang berkaitan dengan kinerja dan kedisiplinan kerja.
Ia juga menyesalkan pernyataan Vinsen soal pengangkatan THL baru, menduga lowongan yang dibuka demi orang baru yang “memiliki kedekatan keluarga dengan orang di dinas.”
Adrianus Jelahu, 22 tahun, rekan Sandri yang juga diberhentikan kecewa karena menilai alasan pemberhentiannya tidak jelas.
“Kaget saja waktu itu. Saat sedang bekerja tiba-tiba kami ditelepon untuk mengembalikan mobil ke kantor,” kata Adrianus yang bekerja sebagai sopir truk pengangkut sampah.
Saat mulai bekerja sebagai THL pada 2014, Sandri mendapat upah Rp650.000 per bulan.
Upah itu beberapa kali naik hingga terakhir mencapai Rp2.800.000 per bulan.
Setelah pemberhentian sebagai THL, ia mengaku kesulitan mencari pekerja di Labuan Bajo, “sehingga untuk sementara saya memilih bekerja sebagai ojek.”
Adrianus sudah bekerja dua tahun sebagai THL dan ia menerima upah Rp2.500.000 per bulan.
“Sekarang mesti memulai mencari pekerjaan baru,” katanya.
Pemda Diminta Beri Kompensasi
Baik Sandri maupun Adrianus tidak mendapat kompensasi setelah diberhentikan.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang Federasi Serikat Buruh Demokrasi Indonesia-Manggarai Barat, Rafael Taher meminta Pemda tidak memberhentikan THL begitu saja tanpa mempertimbangkan untuk memberi kompensasi atau imbalan lainnya.
Hal itu, kata dia, sebagai bentuk apresiasi atas kontribusi mereka selama bekerja di bawah instansi pemerintahan.
Rafael menyebut hal itu sebagai bentuk “penghormatan terhadap hak asasi manusia, apalagi untuk THL yang bekerja di atas lima hingga 10 tahun.”
Selain itu, katanya, hal tersebut juga demi mewujudkan komitmen pemerintah dalam pemenuhan hak-hak pekerja.
“Jangan sampai kita omong tentang kenaikkan UMP atau pemberian pesangon di lingkup perusahaan swasta, sedangkan di lingkup pemerintah saja mereka melalaikan apa yang menjadi hak-hak buruh,” katanya.
Sementara itu, Arman Suparman, Direktur Eksekutif Komite Pemantau Penyelenggaraan Otonomi Daerah [KPPOD], lembaga yang salah satunya meneliti praktik penyelenggaraan pemerintah daerah, memberi catatan pada pengangkatan THL baru di dinas itu.
Ia menjelaskan, pengangkatan THL baru di seluruh instansi pemerintahan sudah dilarang sejak 2015.
Secara normatif, kata dia, sejak pemberlakukan UU No 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara [ASN], bahkan sejak UU No 5 Tahun 2015 tentang ASN, instansi pemerintah baik di pusat maupun daerah dilarang untuk mengangkat tenaga di luar ASN, termasuk tenaga honorer dan THL.
“Namun, kami melihat pada tataran implementasi, memang tidak konsisten antara yang diatur dengan yang terjadi di lapangan,” katanya kepada Floresa
Ia mengakui bahwa di daerah, tenaga-tenaga seperti itu masih dibutuhkan.
Karena itu, dalam pengangkatan THL, kata Arman, pemerintah daerah harus mengantongi basis pemetaan kebutuhan tenaga.
“Kalau mereka punya pemetaan basis kebutuhan tenaga, mereka bisa menginformasikan kepada publik bahwa mereka membutuhkan tenaga-tenaga seperti ini,” katanya.
Arman memberi catatan, bagaimanapun, prosesnya “harus sesuai kode etik seperti yang telah diatur dalam peraturan-peraturan yang terkait.”
Editor: Anno Susabun