Floresa.co – Diskusi yang digelar komunitas mahasiswa di Kupang baru-baru ini menyoroti politik primordial dalam tata kelola pemerintahan dan pembangunan di Manggarai Raya.
Berlangsung di Kaffe Mozza dan Galeri, Desa Penfui Timur, Kabupaten Kupang pada 12 Mei, diskusi itu bertajuk “Implikasi Politik Primordial terhadap Pembangunan di Manggarai Raya.”
Diskusi yang diinisiasi Mendi Project dengan melibatkan 14 organisasi kepemudaan dari tiga kabupaten itu – Manggarai Timur, Manggarai dan Manggarai Barat menghadirkan Ernestus Holivil, dosen Administrasi Publik di Universitas Nusa Cendana (Undana) sebagai pembicara.
Klarita Moren yang menjadi moderator membuka diskusi dengan menjelaskan tentang politik primordial.
Menurutnya, politik primordial merupakan kecenderungan dalam proses politik di mana seseorang memberikan dukungan berdasarkan kesamaan identitas seperti suku, agama, ras dan golongan, ketimbang melihat rekam jejak atau kebijakan yang ditawarkan oleh calon pemimpin.
Ia juga mengutip penjelasan Edward Shils, seorang sosiolog dan ilmuwan politik yang menyatakan primordialisme adalah bentuk keterikatan mendalam pada kelompok sosial tertentu baik etnisitas, agama maupun keluarga.
“Keterikatan ini menjadi faktor dominan dalam proses interaksi politik,” kata mahasiswi semester delapan di Undana itu.
Klarita menjelaskan, ketika emosi kolektif dan sentimen kelompok menjadi dasar utama dalam memilih pemimpin, maka akal sehat dan pertimbangan rasional seringkali terpinggirkan.
Dampaknya, kata dia, adalah lahirnya kebijakan yang bias identitas dan berpotensi menciptakan ketimpangan sosial.
Ia juga menyoroti kondisi di Manggarai Raya yang disebutnya “kerap dirasuki oleh praktik politik primordial karena masih kental dengan sejarah kedaluan” — merujuk pada wilayah otonom di bawah kekuasaan otoritas setingkat kecamatan pada zaman kolonial.
Sejarah kedaluan yang mengakar kuat, kata dia, justru dimanfaatkan untuk membangun dominasi politik berbasis keluarga dan kerabat.
“Desentralisasi yang seharusnya membuka partisipasi masyarakat secara luas justru memperkuat pola dinasti politik. Banyak pemimpin lokal yang berusaha menempatkan saudara dan kerabat pada posisi strategis, membentuk kerajaan politik terselubung,” katanya.

Ernestus Holivil, akademisi yang juga aktif mengkaji isu sosial-politik dan kebijakan publik berkata, konsep politik primordial tidak bisa dilepaskan dari konteks relasi kuasa.
Mengutip Benedict Anderson, Ernestus berkata, identitas budaya dan agama merupakan konstruksi sosial yang disebut sebagai “imagined community,” yakni sebuah komunitas yang terbangun melalui imajinasi kolektif, bukan fakta biologis.
Primordialisme, katanya, seringkali digunakan sebagai alat untuk mobilisasi massa oleh kelompok tertentu.
“Ini bukan semata tentang budaya, tapi bagaimana dinamika kekuasaan bermain melalui simbol-simbol identitas,” katanya.
Ernestus mencontohkan dalam kontestasi politik, figur calon pemimpin seringkali “menjual identitas budaya atau suku” terlebih dahulu sebelum berbicara tentang visi dan misi.
Di Manggarai Raya, seorang calon pemimpin yang tidak mampu “omong adat” akan kesulitan diterima, sekalipun punya kapasitas intelektual tinggi.
Masyarakat seringkali tidak peduli dengan kompetensi calon pemimpin, yang penting “dia berasal dari suku yang sama.”
Selain itu, masyarakat juga seringkali memilih pemimpin karena “punya darah dari dalu yang dihormati atau anak dari tokoh yang berjasa di masa lalu.”
“Di sinilah politik identitas bekerja dan itu berbahaya bagi kualitas demokrasi,” katanya.
Ernestus berkata, praktik politik seperti ini berdampak pada ketimpangan dalam “pembagian kue pembangunan.”
Ketika pemimpin hanya berpihak pada kelompoknya, maka “kelompok lain akan termarjinalkan dan kebijakan menjadi diskriminatif dan tidak inklusif.”
Kendati demikian, menurut Ernestus, dalam beberapa kasus, identitas primordial bisa menjadi alat resistensi terhadap ketidakadilan.
Ia mencontohkan kasus penolakan kebijakan geotermal di Manggarai dan Manggarai Barat yang digerakkan oleh kelompok masyarakat berbasis budaya dan suku yang sama.
“Ini membuktikan bahwa identitas juga bisa jadi alat perlawanan ketika kelompok merasa dipinggirkan oleh kebijakan yang tidak adil,” katanya.
Namun, Ernestus mengingatkan agar identitas tidak terus-menerus dikapitalisasi.
Jika tidak hati-hati, “kita justru melanggengkan politik sektarian dan membiarkan ketidakadilan struktural terus tumbuh.”
Sementara itu, Elfid Dasmadi, salah satu peserta diskusi berkata, diskursus tentang politik primordial menjadi penting dalam memahami fenomena pemilu di tingkat lokal.
Menurutnya, kecenderungan memilih berdasarkan identitas etnis, agama atau afiliasi historis tertentu cenderung mendegradasi rasionalitas politik.
“Politik primordial telah menyandera nalar publik. Masyarakat kerap memaknai pemilihan pemimpin sebagai soal keterwakilan kelompok, bukan kapabilitas dan visi,” katanya.
Deklarasi Mendi Project
Usai sesi diskusi tersebut, para mahasiswa mendeklarasikan berdirinya komunitas Mendi Project.
Enji Juna, ketua komunitas itu berkata, “kegiatan ini menjadi panggung awal bagi Mendi Project dalam memperkenalkan gagasan dan orientasi perjuangannya di tengah masyarakat, terutama kalangan muda.”
Ia berkata, “mendi” merupakan istilah dalam Bahasa Manggarai yang berarti hamba dan “dulunya merujuk pada kelompok sosial rendahan yang melayani raja dan elit.”
Menurunya, mendi adalah simbol dari mereka yang selama ini dipinggirkan, dipandang sebelah mata dan jarang diberi ruang bicara.
Kendati demikian, “kata mendi justru menjadi titik tolak” karena “kami percaya bahwa dari posisi yang dianggap rendah itulah muncul kesadaran kritis, keinginan untuk berpikir dan mendorong perubahan besar.”
“Walaupun mendi dilekati stigma sebagai kelas bawah, justru dari sanalah lahir semangat perjuangan yang tulus untuk membangun perubahan dari akar,” kata mahasiswa semester delapan di Undana itu.

Enji berkata, nama Mendi Project lahir dari refleksi itu di mana mendi adalah representasi keberanian kaum kecil untuk bermimpi dan bertindak.
Sementara itu, kata project digunakan sebagai simbol gerakan kolektif yang terus berjalan sekaligus menyesuaikan dengan semangat zaman.
“Mendi Project hadir sebagai ruang alternatif yang digerakkan oleh semangat kaum tertindas,” katanya.
“Kami merasa bahwa mahasiswa saat ini sudah jauh dari persoalan masyarakat. Banyak yang justru larut dalam pergaulan negatif, mabuk-mabukan dan tidak lagi peka terhadap isu-isu rakyat,” tambahnya.
Enji menegaskan Mendi Project berkomitmen untuk membangun kesadaran kritis mahasiswa, meningkatkan budaya literasi serta membuka ruang advokasi dan propaganda melalui media sosial.
“Kami ingin menghadirkan mahasiswa sebagai bagian dari gerakan sosial. Mendi Project bukan sekadar komunitas, tapi ruang edukasi, konsolidasi dan perlawanan terhadap ketidakadilan,” katanya dalam diskusi yang diikuti 35 peserta tersebut.
Handrisius Grodus merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana
Editor: Herry Kabut