Memandang mandusawu
sejauh-jauh terbentang hijau dan biru
mencuatkan kisah kesedihan itu
membuat rindu makin perih
dari anak-anak para pengembara
di kebun, ladang dan sawah.
Nun jauh di atas sana
awan biru mandusawu menebal
tersembul harapan akan melebatkan hujan
ternyata hanya mempergelapkan tatapan dan angka-angka
detik demi detik apa yang benar makin sulit
makin pelik
mana sakramen, mana uang, bedanya sangat tipis.
Bisu dan sepi tiba2 menyelimuti mandusawu
mengeringkan seketika Wae Ces dan Wae Locak
jalan sungai tersulap menjadi jalan tuak*.
Domba dan gembala berkembara
masing-masing mencari penjuru angin yang disukai
yang menerbangkan duit tanpa nomor seri
Sepi membuat mereka akhirnya berpikir
di balik setiap peristiwa yang terjadi
ada yang selalu ditutupi.
Ketawa yang tersumbar belum tentu karena merasa lucu
senyum dikulum tidak lagi tulus
mungkin sinis, mungkin maki, mungkin kutuk.
Domba-domba meyakinkan diri pada setiap langkah berjalan
bahwa ada sumbu yang tak meledak
yang membuat mereka tersesesat ke lubang hitam
atau terlempar ke kawah Ranaka di atas sana
mereka masing-masing mencari selamat
meniti jalan sendiri-sendiri
kadang ramai-ramai tapi lebih banyak sendiri-sendiri.
Ke mana gembala untuk menunjukkan kandang?
Ia telah ditelan oleh penjuru angin
sejak ia tak hadir
lereng-lereng mandusawu jadi fakir
tak mampu menahan perih akan ketertelanannya
Menjerit
yah, menjerit
karena hanya dengan menjeritlah
para kawananan domba menggambarkan sakit sesungguhnya.
Gembala mereka ndingur* dalam sunyi
nenteng* terhadap bunyi kentut
asyik dengan ndibol * kenikmatan diri
kepala domba ia anggap kepala batu.
Coba tengkok ke tahun yang sudah-sudah
ia adalah gelisah dengan tenang berkepanjangan
sampai-sampai para kawanan domba merasa tempat tinggal mereka tumbuh tak seperti biasa.
Yang ia rintis bukan cinta dan ketulusan melainkan prasangka dan kebohongan
yang ia perbaharui bukan penyembuhan luka melainkan rencana-rencana panjang untuk menyelenggarakan perang hasutan antara sesama saudara
yang ia kembang suburkan adalah memakan bangkai saudara-saudaranya sendiri dengan mengarang cerita dan narasi bahwa yang ia urus adalah keponakan-lah, anak angkat-lah, bapa asuh-lah, mama angkat-lah
Ia tidak memperluas cakrawala dengan menabur cinta
melainkan mengeringkan rahim mandusawu dengan lubang-lubang kebencian, hipokrisi dan dengki.
Ayo kawanan domba
mari mekarkan kembang
dan taburkan bintang yang mulai pudar
ayo jiwa-jiwa pengembara senusa bunga
mari menghangatkan kembali rindu
menanamkan kembali mawar di lereng mandusawu.