“Memandang Mandusawu,” Puisi Gerard N Bibang

Memandang mandusawu

sejauh-jauh terbentang hijau dan biru

mencuatkan kisah kesedihan itu

membuat rindu makin perih

dari anak-anak para pengembara

di kebun, ladang dan sawah.

 

Nun jauh di atas sana

awan biru mandusawu menebal

tersembul harapan akan melebatkan hujan

ternyata hanya mempergelapkan tatapan dan angka-angka

detik demi detik apa yang benar makin sulit

makin pelik

mana sakramen, mana uang, bedanya sangat tipis.

 

Bisu dan sepi tiba2 menyelimuti mandusawu

mengeringkan seketika Wae Ces dan Wae Locak

jalan sungai tersulap menjadi jalan tuak*.

 

Domba dan gembala berkembara

masing-masing mencari penjuru angin yang disukai

yang menerbangkan duit tanpa nomor seri

 

Sepi membuat mereka akhirnya berpikir

di balik setiap peristiwa yang terjadi

ada yang selalu ditutupi.

 

Ketawa yang tersumbar belum tentu karena merasa lucu

senyum dikulum tidak lagi tulus

mungkin sinis, mungkin maki, mungkin kutuk.

 

Domba-domba meyakinkan diri pada setiap langkah berjalan

bahwa ada sumbu yang tak meledak

yang membuat mereka tersesesat ke lubang hitam

atau terlempar ke kawah Ranaka di atas sana

mereka masing-masing mencari selamat

meniti jalan sendiri-sendiri

kadang ramai-ramai tapi lebih banyak sendiri-sendiri.

 

Ke mana gembala untuk menunjukkan kandang?

 

Ia telah ditelan oleh penjuru angin

sejak ia tak hadir

lereng-lereng mandusawu jadi fakir

tak mampu menahan perih akan ketertelanannya

 

Menjerit

yah, menjerit

karena hanya dengan menjeritlah

para kawananan domba menggambarkan sakit sesungguhnya.

 

Gembala mereka ndingur* dalam sunyi

nenteng* terhadap bunyi kentut

asyik dengan ndibol * kenikmatan diri

kepala domba ia anggap kepala batu.

 

Coba tengkok ke tahun yang sudah-sudah

ia adalah gelisah dengan tenang berkepanjangan

sampai-sampai para kawanan domba merasa tempat tinggal mereka tumbuh tak seperti biasa.

 

Yang ia rintis bukan cinta dan ketulusan melainkan prasangka dan kebohongan
yang ia perbaharui bukan penyembuhan luka melainkan rencana-rencana panjang untuk menyelenggarakan perang hasutan antara sesama saudara
yang ia kembang suburkan adalah memakan bangkai saudara-saudaranya sendiri dengan mengarang cerita dan narasi bahwa yang ia urus adalah keponakan-lah, anak angkat-lah, bapa asuh-lah, mama angkat-lah

 

Ia tidak memperluas cakrawala dengan menabur cinta
melainkan mengeringkan rahim mandusawu dengan lubang-lubang kebencian, hipokrisi dan dengki.

 

Ayo kawanan domba

mari mekarkan kembang

dan taburkan bintang yang mulai pudar

ayo jiwa-jiwa pengembara senusa bunga

mari menghangatkan kembali rindu

menanamkan kembali mawar di lereng mandusawu.

 

 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA