“Pariwisata Holistik” Keuskupan Ruteng: Antara Kata dan Perbuatan

Keuskupan Ruteng sedang gencar mensosialisasikan konsep pariwisata holistik. Bagaimana sikap Keuskupan Ruteng terhadap sejumlah persoalan krusial yang dinilai berlawanan arah dengan prinsip pariwisata holistik itu?

Oleh: Litbang Floresa.co

Di tengah laju perkembangan industri pariwisata di Flores, NTT, Keuskupan Ruteng (KR) menetapkan tahun 2022 sebagai tahun pariwisata holistik. Moto pariwisata holistik itu adalah “Berpartisipasi, Berbudaya, dan Berkelanjutan.” Wacana pariwisata holistik ini muncul di tengah-tengah sorotan berbagai pihak terhadap sepak terjang KR di dalam sejumlah persoalan krusial yang dinilai berlawanan arah dengan prinsip pariwisata holistik itu.

Yang Dikatakan

Kebijakan tahun pariwisata holistik ini ditetapkan di dalam sidang Pastoral Post Natal pada 4-7 Januari 2022 di Rumah Retret Putri Karmel Wae Lengkas, Ruteng. Selain tokoh-tokoh Gereja, sidang itu menghadirkan para bupati dari tiga kabupaten – Manggarai Timur, Manggarai dan Manggarai Barat yang masuk dalam wilayah administrasi KR – serta Direktur Utama  Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPO-LBF). Sejak penetapannya, konsep pariwisata holistik ini gencar disosialisasikan ke paroki-paroki.

Pariwisata holistik digambarkan sebagai karakter pembangunan pariwisata yang partisipatif, berbudaya dan berkelanjutan.

“Berpartisipasi berarti masyarakat lokal tidak hanya menjadi penerima keuntungan pariwisata, tetapi juga terlibat aktif dalam mendesain, melaksanakan, dan mengendalikannya. Dengan itu terwujudlah keluhuran martabatnya. Berbudaya berarti menghargai dan merawat kearifan dan tradisi lokal secara inklusif, dialogal dengan budaya lain, serta lentur dalam budaya mondial. Berkelanjutan berarti ramah lingkungan menuju integritas ciptaan, sebab bumi adalah rumah kita bersama,” demikian menurut dokumen resmi yang dipublikasi keuskupan.

Diuraikan juga bahwa gagasan pariwisata holistik itu mengacu kepada beberapa dokumen penting Gereja Katolik, seperti Peregrinans in Terra, Ajaran Sosial Gereja yang secara khusus membahas isu pariwisata dan Laudato Si, ensiklik Paus Fransiskus yang berbicara tentang keberpihakan Gereja pada masalah  lingkungan.

Bagian lain dari dokumen hasil sidang itu menyoroti dua sisi perkembangan pariwisata. Pada satu sisi, pariwisata dinilai telah membawa dampak positif seperti meningkatkan kesejahteraan ekonomi, mendorong perjumpaan dan dinamika sosial serta memperkaya kultur. Sebab itu, pariwisata menjadi peluang emas untuk membangun kesejahteraan umum, mendorong persaudaraan, dan persatuan global dalam keunikan bangsa, suku, bahasa, dan kultur.  Sementara itu pada sisi yang lain, ada dampak negatif pariwisata seperti terpinggirnya (marjinalisasi) penduduk lokal, penguasaan modal oleh segelintir elit, degradasi nilai etis-spiritual, komersialisasi tubuh dan kultur, dan kerusakan lingkungan hidup. Selain itu, pariwisata juga disebut menjerumuskan orang ke dalam gaya hidup materialistis-konsumtif-hedonis dan membentuk “masyarakat pencari kenikmatan” dan bukannya “masyarakat pencari kebenaran.”

Konsep pariwisata holistik itu tentu saja perlu didukung. Idealnya, melalui konsep itu, KR berada pada garda terdepan untuk memperjuangkan pembangunan pariwisata yang partisipatif, berbudaya dan berkelanjutan. Tidak hanya itu, tentu yang tidak kalah penting adalah kritis terhadap arah pembangunan pariwisata yang bertentangan dengan konsep pariwisata holistik.

Yang Dilakukan

Konsep pariwisata holistik ini muncul di tengah sorotan berbagai pihak atas sepak terjang KR terkait dengan sejumlah persoalan krusial yang dihadapi warga dalam perkembangan industri pariwisata di wilayah Flores Barat. Beberapa di antaranya yang kami anggap penting disorot adalah terkait tiga paket Proyek Strategis Nasional (PSN) yaitu privatisasi dan investasi di Taman Nasional Komodo (TNK), alih fungsi hutan Bowosie – hutan pelindung Kota Labuan Bajo, dan pengembangan energi geothermal di Wae Sano.

Berbeda dari sebelumnya di mana KR ikut aktif bersama kelompok sipil dalam advokasi sejumlah masalah di wilayah Manggarai Barat, seperti mempertahankan Pantai Pede sebagai ruang publik dan juga menolak eksploitasi tambang, dalam ketiga isu itu, KR malah mengambil sikap sebaliknya.

Absen dengan Masalah yang Mengancam Masa Depan TNK

Selama beberapa tahun terakhir, berbagai elemen masyarakat di Flores Barat, dengan dukungan yang luas dari publik nasional dan internasional, mempersoalkan aneka kebijakan pemerintah terkait dengan pengelolaan TNK, yang merupakan salah satu urat nadi pariwisata NTT.  Ironisnya, KR tidak ikut memberikan suara kritis terhadap masalah ini.

Yang paling krusial dari persoalan di TNK adalah pemberian konsesi kepada sejumlah perusahaan untuk membuka bisnis di dalam kawasan konservasi, rencana pemindahan warga Komodo pada tahun 2018, serta rencana alih fungsi sejumlah kawasan (termasuk beberapa pulau) dari zona konservasi menjadi zona pemanfaatan usaha, serta pembangunan sarana “wisata Jurassic” yang dilakukan tanpa Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dan tanpa konsultasi dengan Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengethuan dan Kebudayaan (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, UNESCO). Menghadapi hal itu, berbagai elemen masyarakat memobilisasi diri, melakukan dialog dengan pemerintah, serta meminta intervensi UNESCO.

Massa berkumpul di depan Kantor Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) pada Rabu, 12 Februari 2020 dalam aksi menolak konsensi perusahan di wilayah TNK. (Foto: Istimewa).

Perjuangan warga itu tidak sia-sia, karena rencana relokasi warga Komodo dibatalkan, izin perusahaan-perusahaan dievaluasi kembali, dan UNESCO meminta pemerintah meninjau ulang rencana yang sudah ditetapkan.

Dalam seluruh dinamika itu, Gereja Keuskupan Ruteng justru absen.

Diam dengan Alih Fungsi Hutan Bowosie

Sama halnya dengan masalah di TNK, KR juga belum pernah secara resmi menyatakan sikap terhadap proyek kontroversial alih fungsi 400 hektar hutan Bowosie menjadi kawasan bisnis wisata.

Proyek yang dilakukan oleh BPO-LBF atas mandat Presiden ini ditentang keras oleh warga karena  dua hal yang sangat mendasar. Pertama, secara ekologi kelestarian hutan ini sangat penting bagi Kota Labuan Bajo dan sekitarnya. Dominan terdiri dari ekosistem karst, hutan ini merupakan sumber air bagi lebih dari 10 mata air di Labuan Bajo dan sekitarnya. Membentang di puncak kota, hutan ini juga sangat penting sebagai pelindung kota dan kawasan pemukiman sekitarnya dari potensi bencana banjir tahunan.

Kedua, proyek ini juga ditentang keras karena memperparah ketidakadilan agraria di Labuan Bajo. Warga semakin kehilangan tanah (landless community), sementara sumber-sumber daya agraria semakin terkonsentrasi pada tangan segelintir orang. Tanah sekelompok warga di Kampung Lancang misalnya tiba-tiba saja menjadi bagian dari peta 400 hektar BPOLBF. Hingga kini mereka terus memperjuangkan pengembalian tanah-tanah tersebut.

Hutan Bowosie berada tepat di atas pemukiman warga Labuan Bajo. (Foto: Floresa).

Alih-alih kritis terhadap kebijakan pemerintah pusat yang merombak hutan menjadi kawasan bisnis perhotelan dan sarana hiburan lainnya, KR malah menjalin kerja sama erat melalui penandatanganan MoU. Pada 6 September 2021, KR membuat MoU dengan pihak Kabupaten Manggarai Barat dan Kementerian Parwisata dan Ekonomi Kreatif dalam rangka pengembangan Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) Labuan Bajo, yang salah satunya terkait proyek di wilayah hutan Bowosie.

Mendukung Proyek Geothermal Wae Sano di Tengah Perlawanan Warga

Di Wae Sano, warga adat yang juga umat Katolik menolak proyek Geohtermal karena titik-titik pengeborannya berada di dalam ruang hidup mereka. Kendati pemerintah dan perusahaan sudah berusaha menjelaskan bahwa geothermal itu adalah energi bersih dan aman bagi manusia, warga tidak ingin menanggung risiko bencana di masa mendatang. Mereka menolak menyerahkan tanah dan kampung untuk lokasi pengeboran.

Selain itu, Desa Wae Sano sebenarnya merupakan kawasan pariwisata holistik. Terletak di lingkar danau vulkanik terbesar di NTT dengan kawasan hutan sebagai habitat sejumlah burung endemik yang masih terjaga baik, Wae Sano merupakan situs pariwisata alam yang bernilai tinggi selain TNK. Wae Sano juga menjadi kantong kebudayaan Manggarai dan memiliki tempat istimewa dalam sejarah perkembangan Gereja Katolik Manggarai-Flores. Warga Wae Sano juga antusias dengan kegiatan pariwisata dan pertanian sebagai sektor ekonomi produktif.

Warga Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat sedang membaca surat Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat yang meminta agar proyek geothermal di kampung mereka dilanjutkan. Pada Minggu, 6 Juni, warga berkumpul membahas surat tersebut yang mereka sebut menggadaikan masa depan mereka. (Foto: Floresa)

Di tengah antusiasme warga mengembangkan pertanian dan pariwisata holistik itu, dan ketika mereka gencar menolak titik-titik pengeboran geothermal di tengah ruang hidup mereka, Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat justru mendukung kelanjutan proyek itu. Pada Mei 2021, uskup menulis surat kepada Presiden Joko Widodo untuk merekomendasikan kelanjutan proyek. Langkah ini mendapat protes keras dari warga Wae Sano yang merasa masa depannya digadaikan oleh gembala mereka.

Dengan rekam jejak seperti itu, kita akan menyaksikan di hari-hari mendatang apakah konsep pariwisata holistik yang sekarang didengung-dengungkan oleh KR akan menjadi titik balik perubahan sikap terhadap isu-isu krusial pariwisata atau hanya akan menjadi “tong kosong yang nyaring bunyinya”.

spot_img

Artikel Terkini