Mengapa Dirut BPOLBF Berani Klaim ‘Telah Sediakan 50 Destinasi Alternatif di Labuan Bajo’ Pada Momen Kenaikan Tarif ke TN Komodo?  

Pelaku wisata menduga bahwa salah satu alasan di balik kenaiktan tarif ini ialah karena laporan pihak BPOLBF yang mengklaim telah menyediakan 50-an destinasi alternatif di Labuan Bajo. Direktur BPOLF, Shana Fatina diduga memiliki peran dan berkepentingan di balik kebijakan kontroversi ini.

Floresa.co – Kebijakan kenaikan tarif ke Taman Nasional [TN] Komodo cukup menyita perhatian publik, khususnya untuk masyarakat di Labuan Bajo, Manggarai Barat [Mabar], Flores, Nusa Tenggara Timur [NTT] hari-hari ini.

Perdebatan dan ragam pertanyaan terkait motif, logika serta aktor di balik kebijakan ini mewarnai setiap diskusi berbagai kalangan masyarakat sipil, lebih khusus pelaku wisata.  Salah satu diskusi menarik ialah ‘dugaan’ keterlibatan Direktur Utama [Dirut] Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores [BPOLBF] yang melempar pernyataan yang syarat ‘mendukung’ dan diduga berperan dibalik kebijakan kontroversi yang hendak diberlakukan mulai 1 Agustus mendatang itu.

Terhadap kebijakan ini pelaku wisata kompak melakukan penolakan dengan menggelar Rapat Dengar Pendapat di DPRD Mabar dan lainnya, hingga akhirnya pada Kamis, 14 Juli 2022 pihak pemerintah merespons dengan menggelar soisialisasi di Aula Kantor Bupati Mabar.

Bahkan, rencananya pelaku wisata dan berabagai elemen sipil akan menggelar demostrasi besar-besaran yang akan laksanakan pada Senin, 18 Juli 2022.

Selain organisasi pelaku wisata seperti Formapp, HPI, Asita, DOCK, IPI, Gahawisri, dan lainnya hadir juga beberpa unsur dari pemerintahan seperti pihak TNI AL, Kejari Mabar, Ketua Pelaksana Koservasi TN Komodo Carolina Soge, pun Direktur BPOLBF, Shana Fatina beserta jajarannya.

Yang tampil sebagai pembicara ialah Kepala Dinas Provinsi NTT, Sony Libing, Peneliti dari Institut Pertanian Bogor [IPB] Irman Firmansyah dan pegawai senior dari Balai Taman Nasional Komodo [BTNK] Urbanus. Sementara, Bupati Mabar, Edistasius Endi bertindak sebagai moderator.

BACA: Catatan Sosialisasi Kenaikan Tarif ke TN Komodo: Irman Firmansyah Ajak Berdebat Secara’Akademis’ dan Pelaku Wisata yang Kukuh Menolak  

Salah satu pelaku wisata Ervis Budisetiawan yang juga hadir dalam acara sosialisasi tersebut menduga ada campur tangan Dirut BPOLBF, Shana Fatina di balik kebijakan kontroversi ini.

“Jangan-jangan ada campur tangan Dirut BPOLBF di balik kebijakan aneh ini,” ujarnya.

Dugaan keterlibatan Shana Fatina, kata Ervis karena Shana sendiri mengklaim telah menyediakan destinasi alternatif di luar TN Komodo yang disampaikan pada momen konferensi pers Pengumuman Kenaikan Tarif ke TN Komodo yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif beberapa waktu sebelumnya.

Dalam konferesi pers itu, Shana yang berbicara setelah Kadispar Provinsi NTT dan beberapa pembicara lain menyebut bahwa telah tersedia 50-an destinasi di luar TN Komodo yang akan menjadi alternatif bagi wisatawan.

“Untuk teman-teman media yang perlu disampaikan di sini adalah aktivitas untuk ke pulau itu tetap bisa dilakukan. Kemudian, di dalam destinasi Labuan Bajo sendiri, kita punya lebih dari 50 destinasi sebagai alternatif,” ujar alumnus Institut Teknologi Bandung itu dalam konferensi pers tersebut.

BACA: Anggota DPR RI Tolak Komersialisasi Secara Brutal di Pulau Komodo dan Padar

Selain Shana, yang jadi pembicara dalam konferensi pers itu ialah Sony Libing yang secara resmi mengumumkan kenaikan tarif ke TN Komodo; Kepala BTNK, Lukita Awang; Koordinator Pelaksana Program Konservasi TN Komodo, Carolina Noge; Irman Firmasyah, dan lainnya.

Ervis sendiri akhirnya tidak sungkan menyebut bahwa, dicurigai salah satu alasan di balik kenaikan tarif ini ialah karena laporan pihak BPOLBF yang mengklaim telah menyediakan 50-an destinasi alternatif di Labuan Bajo. Shana, kata dia diduga memiliki peran dan berkepentingan di balik kebijakan kontroversi ini.

“[Padahal] dalil yang kita bangun di sini, kalaupun Taman Nasional Komodo ditutup, kita sudah punya 50 destinasi yang sudah siap. Itu versinya direktur BOP. Lima puluh destinasi. Pertanyaan kita, mana 50 destinasi itu. Buktikan mana,” kata Ervis dalam sosialisasi tersebut.

Sementara itu, Shana beserta jajaran Direktur BPOLBF dan para staf, walaupun hadir dalam acara sosialisasi tersebut, namun tidak sedikit pun memberikan respons atas pernyataan dari Ervis.

“Bedakan antara Destinasi dan Daya Tarik Wisata!”

Lebih lanjut Ervis menjelaskan, pihak BPOLBF pun pemerintah harus bisa membedakan antara ‘destinasi’ dan ‘daya tarik’.

Menurut dia, destinasi dan daya tarik ialah dua hal berbeda. Mendukung pembatasan kunjungan ke TN Komodo dengan menaikan tarif sembari mengklaim telah menyediakan 50 destinasi alternatif di Labuan Bajo sama sekali tidak masuk akal.

“Saya empat tahun belajar destinasi, terminologi destinasi berbeda dengan terminologi daya tarik wisata,” katanya.

“Apakah destinasi-destinasi tersebut bisa mengganti peran Pualu Padar, Long Beach, Pink Beach sebagai main trigger alasan orang berlibur ke Labuan Bajo?” ujarnya.

Senada dengan Ervis, anggota Insan Pariwisata Indonesia [IPI] Leo Embu juga menyayangkan pernyataan Shana.

Menurut Leo, meski terdapat berbagai jenis destinasi di Labuan Bajo seperti yang diklaim Shana, tetap saja berbeda dengan yang terdapat di dalam TN Komodo.

“Destinasi di TN Komodo seperti Pulau Komodo, Pulau Padar, Pink Beach, dan perairan lainnya untuk snorkling ialah daya tarik utama bagi wisatawan,” katanya.

Sekalipun 50-an destinasi alternatif itu benar ada, kata Leo, itu hanya sebagai tambahan untuk menarik minat wisatawan agar lebih lama tinggal di Labuan Bajo.

“Kalau TN Komodo dieksklusifkan, orang mau berenang di mana lagi? Orang mau menikmati pantai pink di mana lagi? Ketika tarifnya dinaikkan, orang pasti malas ke sini,” tambahnya.

BACA: Polemik Kenaikan Tarif Masuk: Ke mana Arah Pengelolaan Taman Nasional Komodo?

Leo pun menuntut BPOLBF harus bertanggung jawab dengan segera mempublikasikan 50-an destinasi alternatif yang disebutkan tersebut hingga public tidak menganggap BPOLBF sedang melakukan pembohongan public atau menyebar hoaks.

“Sebutkan nama-namanya. Apa saja. Jangan sampai destinasi alternatif yang dimaksud ialah Patung Komodo, Patung Caci, Pantai Pede, ataupun etalase hidroponik program BPOLBF yang terdapat di Merombok Desa Golo Bilas itu,” ujarnya.

Spanduk yang dipasang peserta aksi meyerukan menyerukan, penutupan dan pembubaran BOP Labuan Bajo – Flores dalam aksi penolakan investasi dalam Taman Nasional Komodo pada Rabu, 12 Februari 2020. Masyarakat menilai, BOP Labuan Bajo Flores menjadi biang kerok masalah pariwisata di Labuan Bajo – Flores. (Foto: Istimewa).

Selama kepemimpinan Shana Fatina, ini bukan kali pertama lembaga tersebut mendapat kritikan dan perlawanan dari pelaku wisata pun elemen sipil Mabar lainnya.

Ervis menyatakan bahwa masih banyak orang yang mampu menangani dan lebih memahami pariwisata Labuan Bajo – Flores ketimbang oleh orang yang tidak mampu dan tidak mengenal orang dan budaya masyarakat Flores. Sehingga ia mendesak sebaiknya Shana meninggalkan kursi Dirut BPOLBF.

“Bila Direktur BOP tidak mampu menunjukkan 50 destinasi yang sudah jadi tersebut, saya pikir dia mesti malu dan angkat kaki dari BPO Labuan Bajo – Flores karena sudah melakukan pembohongan publik,” pungkasnya.

Pemberlakuan kenaikan tarif ini sendiri diinisiasi oleh Pemerintah Provinsi NTT. Melalui aturan baru ini, kunjungan wisatawan domestik dan luar negeri akan dikenakan tarif yang sama dengan tiket yang berlaku selama setahun atau yang dikenal dengan sistem membership.

Pemerintah mengklaim bahwa kebijakan ini dilakukan demi konservasi. Pemerintah gunakan kajian akademisi sebagai dasar utama untuk merekomendasikan prioritas konservasi dan pembatasan kunjungan wisata dalam pengelolaan TNK, khususnya di Pulau Komodo dan Pulau Padar.

Ilmuwan IPB dan Universitas Indonesia menunjukkan Daya Dukung Daya Tampung Wisata [DDDTW] di Pulau Komodo idealnya 219.000 dan di Pulau Padar 39.420 wisatawan per tahun. Hal ini berdasarkan pertimbangan tentang kelestarian Komodo dan ketersediaan infrastruktur pendukung dalam pulau.

Hasil kajian ini kemudian melahirkan rekomendasi mengenai perlunya uang ongkos jasa ekosistem konservasi [genetik Komodo, biodiversitas, iklim, ruang hidup, infrastruktur, dan lain-lain].

ARJ/Floresa

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA