Aksi Damai Tolak Monopoli Bisnis dan Komersialisasi TN Komodo, Warga Sentil Pariwisata Holistik Keuskupan Ruteng

“Gereja (seharusnya) bela kami! Gereja (seharusnya) beri suara! Gereja jangan hanya diam! Jangan hanya nyaman bersembunyi di balik tembok!” kata salah seorang orator.

Floresa.co – Massa yang menggelar aksi unjuk rasa menolak apa yang mereka sebut sebagai monopolisi bisnis dan komersiasi Taman Nasional [TN] Komodo pada Senin, 18 Juli 2022 sempat menyinggung soal sikap Keuskupan Ruteng, yang menurut mereka seharusnya ikut menanggapi masalah itu sebagai wujud nyata upaya memperjuangkan pariwisata holistik yang menjadi jargon pastoralnya tahun ini.

Saat melintas di depan Gereja Katolik Paroki Roh Kudus dan Kevikepan Labuan Bajo dalam pawai dari Balai Taman Nasional Komodo menuju Kantor Bupati Manggarai Barat, massa yang terdiri dari pelaku wisata, pegiat konservasi dan perwakilan warga itu sempat berhenti dan melakukan orasi.

Doni Parera, salah satu orator dalam aksi itu mengatakan, seharusnya Keuskupan Ruteng ikut bersuara bersama mereka memprotes kebijakan terbaru pemerintah yang menaikkan secara drastis tiket masuk ke TN Komodo dan menyerahkan pengelolaannya kepada salah satu perusahan, hal yang berdampak besar bagi kehidupan para pelaku wisata dan masyarakat secara umum.

“Gereja [seharusnya] bela kami! Gereja [seharusnya] beri suara! Gereja jangan hanya diam! Jangan hanya nyaman bersembunyi di balik tembok!” kata Doni saat berorasi.

BACA: Tolak Kenaikan Harga Tiket dan Monopoli Bisnis di TN Komodo, Ini Pernyataan Warga

Orator yang adalah juga pegiat konservasi itu melanjutkan, ikut bersuara terhadap masalah di TN Komodo dan pariwisata pada umumnya adalah bentuk upaya mengambil bagian dalam penderitaan umat, sesuai dengan misi mulia yang tertuang dalam konsep pariwisata holistik.

“Di tahun pariwisata holistik ini, lihatlah umatmu, menderita oleh kebijakan penguasa,” kata Doni.

Pada Januari lalu, Keuskupan Ruteng menetapkan tahun ini sebagai Tahun Pastoral Pariwisata Holistik, yang merespon perkembangan pesat industri pariwisata di wilayahnya. Dengan slogan “Berpartisipasi, Berbudaya, dan Berkelanjutan,” Keuskupan yang wilayahnya mencakup tiga kabupaten, termasuk Manggarai Barat itu, menyatakan mendukung pembangunan pariwisata yang mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat lokal, keutuhan alam ciptaan, dan budaya yang berbasis etis dan spiritual.

Pastoral pariwisata itu juga kini gencar disosialisasikan di paroki-paroki.

Sorotan terhadap Keuskupan Ruteng terkait sikapnya pada masalah pariwisata dan pembangunan di Manggarai Barat juga sudah muncul sebelumnya dalam isu lain, seperti proyek geothermal di Wae Sano.

Sikap Keuskupan yang aktif mendukung proyek dalam rangka menyokong ketersediaan listrik bagi kota pariwisata Labuan Bajo itu dikiritik, termasuk oleh warga Wae Sano, karena mengabaikan suara penolakan warga yang ruang hidupnya terancam.

Di sisi lain, Keuskupan menandatangani sejumlah Nota Kesepahaman [MoU] dengan pemerintah terkait pariwisata. Salah satunya adalah MoU dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif [Kemenparekraf] dan Pemerintah Kabupaten Manggarai tentang Pengembangan Pariwisata Destinasi Pariwisata Super Prioritas [DPSP]
di Labuan Bajo pada September tahun lalu.

Mogie, seorang aktivis perempuan yang juga menjadi orator dalam aksi unjuk rasa itu mengungkap hal yang sama, “tugas kalian [Gereja] itu misi kemanusiaan.”

“Tetapi, di Manggarai Barat, [Gereja] justru menghancurkan misi-misi kemanusiaan itu,” katanya.

BACA JUGA: “Pariwisata Holistik” Keuskupan Ruteng: Antara Kata dan Perbuatan

Aksi unjuk rasa ini digerakkan oleh Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata [Formapp] merespon langkah pemerintah yang menaikan secara drastis harga tiket masuk ke TN Komodo, dari sebelumnya 150 ribu per orang menjadi 3,75 juta per orang untuk jangka waktu setahun atau 15 juta per empat orang untuk periode yang sama.

Kebijakan yang diklaim dalam rangka pembatasan jumlah pengunjung ke dalam kawasan itu serta demi keselamatan Komodo dan ekosistemnya akan dikendalikan oleh PT Flobamora, dengan sistem pembelian tiket secara online, hal yang memicu kecemasan pelaku wisata yang menuding kebijakan itu sebagai bentuk monopoli bisnis dan komersialisasi TN Komodo.

Mereka menyebut kebijakan yang rencananya diterapkan pada 1 Agustus ini “sangat bertentangan dengan konservasi dan keadilan ekonomi sebagai prinsip dasar pariwisata di TN Komodo yang selama ini sangat kami junjung tinggi”.

FLORESA

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA