BerandaREPORTASEMENDALAMSiswi Muslim Dipilih Jadi...

Siswi Muslim Dipilih Jadi Ketua OSIS di SMA Katolik di Flores: Praktik Baik Menerima Perbedaan, Melawan Diskriminasi

Aprilia Inka Prasasti, peserta didik Muslim di SMA Katolik St. Fransiskus Xaverius Ruteng terpilih menjadi Ketua OSIS, meski hanya empat orang Muslim di sekolah yang memiliki lebih dari seribu murid itu.

Floresa.co – Sebuah sekolah Katolik di Flores, NTT yang lebih dari 97 persen peserta didiknya beragama Katolik memilih Ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah [OSIS) beragama Islam, untuk pertama kalinya dalam sejarah sekolah yang telah berdiri lebih dari tiga dekade itu.

Kendati peserta didik Muslim hanya empat orang dari total 1.173 peserta didik di SMA Katolik St Fransiskus Xaverius Ruteng, Kabupaten Manggarai itu, Aprilia Inka Prasasti berhasil memenangkan pemilihan Ketua OSIS periode 2022-2023.

Ia unggul atas lima kandidat lain, yang membuatnya berhak meneruskan estafet kepemimpinan dari ketua sebelumnya, Maria F. N. Siba. Ia bersama anggota pengurus dilantik pada Senin, 24 Oktober 2022.

Romo Martin Wiliam, kepala sekolah di sekolah milik Keuskupan Ruteng itu menyebut terpilihnya Inka sebagai “sebuah gugatan” atas praktek yang kerap terjadi saat ini di sejumlah tempat yang ‘mendewakan’ agama dan mengesampingkan ‘rasio’ dalam memilih pemimpin, bahwa segala sesuatu hanya boleh dan bisa atas nama agama.”

“Peristiwa ini boleh dimaknai sebagai kritik atas legitimasi berbagai sikap atau tindakan destruktif atas nama agama itu,” katanya kepada Floresa.co.

Ia menjelaskan, sekolah itu pada prinsipnya mendukung penuh siapapun peserta didik yang terpilih, sejauh memenuhi kriteria menjadi Ketua OSIS.

Kriteria itu, jelasnya, adalah terbaik dari utusan kelas yang dipilih oleh warga kelas, menyiapkan dan memaparkan visi misi yang dinilai oleh tim seleksi dan terpilih dalam pemilihan yang melibatkan guru dan siswa.

Dengan terpilihnya Inka dari komunitas minoritas agama di sekolahnya, kata dia, komunitas sekolah itu “sudah menunjukan bobot demokrasi yang baik dan benar.”

“Bahwa yang paling penting dan utama dalam kepemimpinan adalah kapabilitas kepemimpinan, yaitu memiliki intelek dan karakter yang baik,” katanya.

Romo Martin Wiliam, Kepala Sekolah SMA Katolik St. Fransiskus Xaverius Ruteng sedang memberikan arahan kepada pengurus OSIS terpilih. (Foto: Dok. SMA Katolik St Fransiskus Xaverius)

Ia juga berharap, karena Inka terpilih melalui proses demokratisasi yang rasional, maka semua warga sekolah mendukung program kerjanya.

Sementara Inka merasa bangga karena bisa terpilih, meski ia adalah Islam.

Ia mengatakan, ada tugas di pundaknya yang mesti ia tunaikan.

“Saya berusaha untuk mewujudkan visi dan misi, dengan merangkul seluruh warga sekolah,” kata siswi kelas 11 jurusan MIPA ini.

Pelajaran Penting di Tengah Menguatnya Diskriminasi

Kabar terpilihnya Inka memicu lahirnya berbagai apresiasi karena dianggap sebagai contoh inspiratif di tengah keprihatinan terhadap praktik intoleransi dan diskriminasi di lembaga-lembaga pendidikan.

Fransiska Widyawati, pengajar di Universitas Katolik Indonesia Santo Paulus Ruteng mengatakan, ini adalah “contoh pendidikan yang maju di Indonesia.”

“Bangga [bahwa] ini ada di wilayah kami,” tulisnya di akun Facebook dan telah mengizinkan Floresa.co untuk mengutipnya.

Ia menjelaskan, peristiwa ini memberi pesan penting di tengah menguatnya politik identitas agama di Indonesia, yang juga beriringan dengan kecenderungan “mencari kelompok agama sendiri” di kalangan masyarakat.

“Membawa-bawa nama agama dalam pemilihan pemimpin juga menjadi fenomena lainnya,” katanya.

Di level pendidikan, kata dia, penolakan pluralisme beragama dan keberadaan penganut agama minoritas oleh mayoritas kerap menjadi berita yang memprihatinkan.

“Banyak siswa dari kelompok minoritas menjadi korban perundungan,” kata Fransiska.

Doni Koesoema, pemerhati pendidikan mengatakan kepada Floresa.co bahwa peristiwa di SMA Katolik ini merupakan “tradisi demokrasi yang baik, yang perlu dilatihkan sejak awal pada para siswa.”

“Pemilihan seperti ini menunjukkan bahwa para siswa memilih yang terbaik, bukan yang pengikut agamanya sama dan terbanyak, yang sebenarnya tidak relevan sebagai bahan untuk pertimbangan memilih Ketua OSIS,” katanya.

Namun, ia juga memberi catatan bahwa di sisi lain, dalam konteks leadership [kepemimpinan] Katolik, hal yang juga menjadi keprihatinan adalah mengapa kandidat yang beragama Katolik tidak terpilih.

“Mengapa di antara mereka kok justru tidak ada yang terpilih. Ini tantangan leadership bagi pendidik di sana,” katanya.

Selain menyebut hal ini sebagai contoh yang baik dalam pemilihan yang tidak lagi melihat latar belakang agama, Achmad Nurcholish dari organisasi lintas agama Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) mengatakan, hal yang juga patut diapresiasi adalah cara sekolah menerima hasil pemilihan.

“Mayoritas siswa dan siswi Katolik yang legowo [ikhlas] menerima Ketua OSIS non-Katolik menunjukkan sikap dewasa dalam berorganisasi,” katanya.

“Ini menjadi contoh yang baik dalam konteks kebinekaan kita, untuk bisa hidup bersama dengan saudara-saudara yang berbeda,” katanya kepada Floresa.co.

Sementara Tantowi Anwari dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) menyebut terpilihnya Inka “sangat menginspirasi di tengah praktik-praktik diskriminasi yang terjadi justru di sekolah-sekolah negeri terhadap peserta didik non-Muslim.”

Pernyataan Tantowi merujuk pada sejumlah praktek intoleransi yang dalam beberapa waktu terakhir terus mengemuka di dalam institusi pendidikan.

Salah satunya adalah penjegalan kandidat Ketua OSIS yang berasal dari penganut agama minoritas di sekolah, terutama sekolah-sekolah negeri.

Pada pertengahan bulan ini, Wakil Kepala Sekolah di SMA Negeri 52 Jakarta, menjegal murid non-Muslim untuk menjadi Ketua OSIS. Dalam sebuah rekaman suara, wakil kepala sekolah itu mengatakan, kandidat Ketua OSIS non-Muslim “jangan sampai lolos.”

Kasus serupa juga terjadi di SMAN 58 Jakarta pada Agustus lalu, di mana kandidat Ketua OSIS non-Muslim mengaku sengaja tidak diloloskan karena masalah agama yang diyakininya.

Pada tahun 2020, meski sudah terpilih, seorang siswa non-Muslim di SMA Negeri 6 Depok, Jawa Barat gagal menjadi Ketua OSIS karena ditolak oleh sesama siswa, termasuk oknum guru.

Bonar Tigor Naipospos, Wakil Ketua Setara Institute for Democracy and Peace menyatakan, berbagai bentuk intoleransi di dalam institusi pendidikan merupakan akibat dari penetrasi paham-paham konservatisme yang terus disebarkan oleh kelompok-kelompok tertentu.

Ia menjelaskan, mereka menargetkan institusi pendidikan karena “menyadari bahwa usia muda menjadi faktor penting di masa depan.”

Ia menjelaskan, kelompok-kelompok ini umumnya tidak hanya melakukan penetrasi ke sekolah yang sudah ada, baik itu negeri dan swasta, bahkan ada juga yang mendirikan sekolah-sekolah sendiri.

Ia mengatakan, yang perlu diperkuat dalam dunia pendidikan kita adalah logika dan pendidikan kritis agar peserta didik bisa mengembangkan nalar mereka, termasuk untuk mempertanyakan paham-paham yang tidak cocok dengan kebinekaan, bukan sekedar hafalan dan transfer pengetahuan.

“Pendidikan Pancasila di ruang kelas jangan hanya sekedar hafalan dan tekstual, tapi perlu dilengkapi dengan praksis dan diskusi kritis,” katanya.

Doni Koesoema memberi catatan bahwa radikalisme muncul bukan karena kurang menghargai agama lain.

“Kurang menghargai agama lain menjadi akibat, bukan sebab, sedangkan penyebab radikalisme adalah salah menafsirkan ajaran agama dan menganggap agamanya yang paling benar dan yang lain salah,” katanya.

“Jadi, persoalannya adalah ada di penafsiran individu atau kelompok terhadap ajaran agamanya yang menjustifikasi kekerasan atas kelompok lain,” katanya.

Pentingnya Pembiasaan 

Romo Martin mengaitkan terpilihnya Inka dengan upaya sekolahnya yang selama ini secara konsisten melakukan penanaman nilai-nilai toleransi melalui hal-hal sederhana, yang menurut dia sangat penting diterapkan oleh lembaga pendidikan manapun.

Sekolahnya yang berdiri pada 17 Juli 1987 itu memiliki 1.147 siswa beragama Katolik, 19 Protestan, 4 Muslim dan 3 Hindu.

Didirikan pada 1987, saat ini SMA Katolik St. Fransiskus Xaverius Ruteng memiliki 754 siswa beragama Katolik, 19 Protestan, 4 Muslim dan 3 Hindu. (Foto: Dok. SMA Katolik St. Fransiskus Xaverius Ruteng)

Meski Katolik adalah mayoritas, jelasnya, mereka memberi kesempatan kepada peserta didik beragama lain memimpin doa sesuai keyakinan pada setiap Hari Senin dalam sepekan sebelum kegiatan belajar mengajar.

Pada setiap Hari Jumat, kata dia, kegiatan belajar mengajar berakhir pukul 12.00 Wita agar memberi kesempatan kepada siswa-siswi Muslim menjalankan ibadah.

“Pada setiap hari besar keagamaan apa saja, siswa dan siswi dari agama yang hari rayanya dirayakan diberi kesempatan mengikuti perayaan keagamaanya,” katanya.

Selain itu, kata dia, siswa dan siswi dibiasakan memberikan donasi sekali sebulan yang disumbangkan ke panti asuhan menjelang perayaan-perayaan besar keagamaan.

Ia berharap hal seperti ini dikembangkan oleh semua lembaga pendidikan, selain tentu saja memupuk dan menumbuhkembangkan ruang ekspresi akademik, seperti kebebasan berpikir, berdialog dan berdiskusi.

Ia menyatakan, pembiasaan hal-hal ini akan bisa menangkal bibit radikalisme dan intoleransi yang masih menjadi masalah laten di Indonesia.

“Kampanye atas hal ini tidak perlu melalui program dan kegiatan atau seminar mentereng, namun melalui hal-hal sederhana, yakni pembiasaan yang konsisten di lembaga pendidikan,” katanya.

Apa yang disampaikan Romo Martin diamini oleh Inka, yang mengaku merasa nyaman mengenyam pendidikan di sekolah itu, sama halnya dengan yang ia rasakan di jenjang sebelumnya yang juga Sekolah Katolik – SD Katolik Mano II di Mano, Manggarai Timur dan SMP Immaculata Ruteng.

“Sikap warga sekolah yang terbuka, membuat saya nyaman dan percaya diri,” katanya, sambil menambahkan bahwa “tidak ada perbedaan perlakuan oleh tenaga pendidik” terhadapnya.

“Mereka menerima apa adanya tanpa melihat latar belakang, tanpa mempermasalahkan agama saya. Hal itu dirasakan bukan hanya pada saat awal masuk saja, namun selama kurang lebih dua tahun mengenyam pendidikan di sini,” tambah Inka.

Selain diizinkan untuk libur pada hari raya keagamaannya, teman-teman dan para guru yang antusias untuk memberikan ucapan juga dirasanya memberinya dukungan.

Inka mengatakan ia mendapatkan pelajaran agama Islam hanya di rumah dan lingkungan sekitar saja, sementara untuk di sekolah, orangtuanya memberikan kesempatan untuk mengenal dan mempelajari agama lain.

Aprilia Inka Prasasti. (Foto: Dok. SMA Katolik St. Fransiskus Xaverius Ruteng)

“Karena pada intinya semua [agama] sama, sama sama mengajarkan kebaikan hidup,” kata Inka, anak tunggal dari ayah yang berasal dari Lombok, NTB dan ibu dari Malang, Jawa Timur.

Ia juga mengatakan tidak memakai jilbab selama di sekolah, bukan karena dilarang sekolah, tetapi karena pilihannya sendiri.

Ia  berharap kemenangannya dalam pemilihan  memberi pesan kepada siapapun untuk bersedia “memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua orang untuk menyalurkan bakat, minat, serta kemauan.”

“Semua orang memiliki kesempatan yang sama seperti yang tersirat di Pancasila sila kelima,” katanya.

Tantowi dari Sejuk berharap “cerita baik di Ruteng menjadi teladan” untuk menghentikan praktik diskriminatif, termasuk penjegalan dan penutupan akses bagi siswa-siswi non-Muslim menjadi Ketua OSIS “yang celakanya melibatkan pendidik sampai kepala sekolah, yang terjadi di beberapa tempat di wilayah Indonesia bagian barat.”

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga