Menggugat Pariwisata Super Prioritas Labuan Bajo, Flores

Label super prioritas bagi destinasi pariwisata Labuan Bajo yang membawa serta proses alienasi membutuhkan penguatan kesadaran kolektif warga lokal untuk menegaskan posisi sentral mereka dalam wacana pembangunan.

 Oleh: Ignasius Jaques Juru

Mengapa petani di Manggarai Barat dengan pendapatan per kapita hanya sebesar Rp 7,13 juta per tahun berdasarkan data Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah [RPJMD] tahun 2021-2026 tidak menjadi prioritas pembangunan?

Mengapa pertanian dan perikanan di kabupaten itu sebagai sektor utama penyumbang Produk Domestik Regional Bruto [PDRB] yang saat ini menjadi sektor “terbelakang” dan sedang mengalami penurunan dari sisi kontribusinya terhadap PDRB tidak dianggap sebagai isu sentral dalam keseluruhan wacana pembangunan?

Mengapa status Kecamatan Komodo sebagai salah satu kecamatan dengan jumlah penduduk miskin tertinggi di Manggarai Barat sama sekali tenggelam dalam berbagai branding yang terus disematkan terhadap kawasan Komodo dan Labuan Bajo, seperti: “Wonderful Komodo”, “Enchanting Labuan Bajo” atau “Kota Super-Premium”?

Mengapa Komodo, kekayaan alam dengan segala keragaman biodiversitas di dalamnya, juga kawasan di Hutan Bowosie seluas 400 hektar dan tanah Golo Mori yang akan disulap menjadi Kawasan Ekonomi Khusus, menjadi sumber daya yang layak mendapat status super prioritas?

Mengapa lebih fokus pada penyelenggaraan berbagai festival yang banyak menelan anggaran negara, mulai dari Sail Komodo 2013, juga sekarang berbagai macam bentuk mega event lainnya?

Berbagai paradoks di atas menjadi alasan penting bagi kita untuk terus menggugat status super prioritas sebagai diskursus sentral dalam pembangunan di Manggarai Barat saat ini. Ini menjadi krusial agar kita tidak terlalu terpesona dengan berbagai macam bentuk pembanguan fisik dan festival yang semakin marak dan rutin dilakukan hampir satu dekade terakhir demi menopang status super prioritas itu.

Padahal, sebagaimana diuraikan dengan bernas oleh Maribeth Erb dalam tulisannya Sailing to Komodo: Contradiction of Tourism and Development in Eastern Indonesia, berbagai mega event atau festival semacam itu sebenarnya tidak pernah menguntungkan ekonomi rakyat kecil. Festival atau mega event umumnya hanyalah cara menaikkan nilai aset wisata di mata internasional (Erb, 2015: 150).

Untuk menggugat  hal tersebut, kita perlu membongkar genealogi wacana kekuasaan yang selama ini membentuk dan mengatur ruang hidup sekaligus menyebabkan teralienasinya warga lokal.

Wacana Konservasi: Narasi Awal Dominasi

Satu hal yang perlu ditegaskan sejak awal adalah bahwa turisme tidak serta merta menjadi identitas yang melekat secara alamiah pada spesies Komodo dan bentangan alam yang ada di sisi barat Pulau Flores. Namun, turisme merupakan hasil dari berbagai proyek dan intervensi kekuasaan.

Jauh sebelum kita mengenal Taman Nasional [TN] Komodo dan Labuan Bajo sebagai kota pariwisata, identitas wilayah ini dinarasikan secara berbeda dalam wacana pengetahuan kolonial.

Douglas Burden, setelah melakukan ekspedisi di Pulau Komodo tahun 1926, menggambarkan wilayah ini melalui tulisan berjudul, The Dragon Lizards of Komodo, dengan konstruksi orientalis yang khas, yakni “timur yang eksotik dengan nuansa zaman pra-historis.”

Berbagai narasi pengetahuan kolonial yang dihasilkan di era tersebut membawa implikasi sosial dan politik yang serius bagi orang Komodo dan ruang hidup mereka. Dalam konstruksi pengetahuan kolonial, orang Komodo untuk pertama kali dianggap sebagai masyarakat primitif yang keberadaanya mengancam keberlangusngan ekosistem wilayah ini.

Di sini, wacana pengetahuan kolonial mengartikulasikan secara bersamaan eksotisme Komodo dan sumber ancaman yang dilekatkan pada penduduk asli, Ata Modo. Persis dalam konstruksi itulah, kolonialisme Belanda akhirnya menetapkan kawasan Komodo sebagai wilayah yang harus dilindungi, kendati sesungguhnya di tengah status dilindungi, Komodo sudah menjadi komoditas ekonomi yang diminati negara-negara kolonial saat itu dan menjadi “celebrity species” di berbagai kebun binatang di Eropa dan Amerika (Barnard, 2011).

Walaupun sudah dikenal di dunia barat sebagai “celebrity species” sejak era kolonial, kawasan Komodo tidak serta merta menjadi kawasan turisme. Bahkan, di era pasca kolonial, khususnya zaman Orde Baru, status kawasan dilindungi diperkuat dengan berbagai intervensi wacana konservasi global.

Sejak tahun 1977, oleh UNESCO melalui program Man and Biosphere, kawasan Komodo menjadi kawasan Biosphere Reserve dan pada tahun 1980 ditetapkan sebagai Taman Nasional.

Secara global, status Komodo semakin kuat diikat melalui rezim konservasi global dan dianggap memiliki Outstanding Universal Value, yakni memiliki nilai kultural dan alam yang eksepsional bagi generasi manusia saat ini dan akan datang. Hal ini menjadi alasan penetapan kawasan Komodo sebagai World Heritage Site pada tahun 1991.

Status konservasi memposisikan kawasan ini sebagai kawasan yang dilindungi dan arena bagi berbagai intervensi saintifik yang menjustifikasi berbagai bentuk pengaturan dan kontrol.

Status ruang darat dan laut berubah secara total dari ruang hidup bagi orang Komodo dan spesies Komodo menjadi ruang khusus untuk Komodo. Posisi manusia serta aktivitas kehidupannya pun dikonstruksi sebagai ancaman permanen, atau dalam wacana pengetahuan konservasi dikenal dengan istilah anthropogenic.

Status manusia sebagai ancaman menyebabkan menguatnya nalar sekuriti yang ditandai oleh patroli rutin pihak keamanan sebagai bentuk pendisiplinan terhadap Ata Modo. Tidak hanya itu, logika pendisiplinan juga ditunjukan dengan memagari ruang hidup orang Komodo ke dalam enklaf seluas 17,4 hektar.

Namun, bergesernya wacana konservasi global di akhir tahun 1980an dan awal 1990an mengubah orientasi konservasi di kawasan TN Komodo. Keadilan bagi komunitas lokal mulai menjadi elemen penting dalam wacana konservasi. Secara global, hal ini ditetapkan dalam “Convention on Biological Diversity” yang dirumuskan PBB tahun 1992. Dokumen yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia di era 1990an ini salah satunya menegaskan pentingnya “rekognisi” terhadap orang asli yang mendiami kawasan konservasi dengan segala pengetahuan yang mereka miliki.

Wacana konservasi yang berubah menjadi ruang awal masuknya turisme sebagai elemen baru dalam kawasan konservasi. Turisme menjadi strategi ekonomi dan menjadi cara baru melibatkan masyarakat lokal ke dalam ekonomi konservasi. Di sini, warga lokal bergeser posisinya, dari yang dianggap sebagai ancaman kemudian menjadi stakeholder yang coba diinklusi ke dalam ekonomi konservasi.

Intervensi lembaga internasional seperti The Nature Conservancy [TNC] sejak 1995 di kawasan ini menjadi salah satu penanda dari pergeseran wacana konservasi. Lembaga ini menjadi aktor kunci yang menggarap manajemen konservasi baru yang meletakkan wisata sebagai elemen krusial di dalam konservasi TNK.

Masuknya elemen turisme di dalam kawasan konservasi kemudian diperkuat oleh wacana global yang dimotori oleh UNESCO, United Nations Foundations (UNF) dan United Nations Environment Programme (UNEP) pada tahun 2001. Mereka mengembangkan pendekatan ecotourism sebagai strategi untuk melibatkan komunitas lokal ke dalam ekonomi konservasi dan meningkatkan nilai ekonomi dari kawasan konservasi.

Hal ini kemudian diimplementasikan di TN Komodo sejak tahun 2005 oleh PT. Putri Naga Komodo. Akan tetapi, pada fase ini turisme hanya menjadi elemen yang menopang konservasi. Dengan kata lain, turisme yang dikembangkan adalah turisme demi kepentingan konservasi.

Namun demikian, walaupun warga lokal sudah menyandang status stakeholder dalam wacana konservasi terbaru, mereka tetap marjinal dalam beberapa hal: pertama, mereka tidak memiliki posisi yang setara dalam menentukan berbagai keputusan; dan kedua, aktivitas ekonomi mereka tetap terbatas ke dalam ekonomi konservasi yang telah didisiplinkan.

Wacana Turisme: Nalar Baru Dominasi

Menguatnya elemen turisme yang diartikulasikan di dalam wacana konservasi sejak tahun 2005 semakin mempengaruhi wacana pembangunan lokal di Manggarai Barat. Pemerintah daerah kemudian mereartikulasi turisme dengan menetapkan pariwisata sebagai leading sector.

Tidak hanya itu, wacana turisme turut menentukan kontestasi kekuasaan antara dua orang yang pernah memimpin kabupaten itu, Agustnus Ch Dula dan Fidelis Pranda dalam Pilkada 2010. Dula menggunakan turisme sebagai wacana tandingan terhadap kebijakan pertambangan yang diprioritaskan oleh  Pranda. Sentralitas wacana turisme dalam narasi kekuasan lokal saat itu menentukan kemenangan Dula yang didukung oleh aliansi masyarakat sipil dan Gereja Katolik yang mendukung narasi turisme.

Akan tetapi, dominasi wacana turisme di level lokal tidak berarti menandai kehadiran rakyat sebagai aktor sentral dalam wacana pembangunan. Jika diperiksa, dokumen RPJMD tahun 2010-2015 sesungguhnya mereproduksi peminggiran warga lokal dalam narasi pembangunan.

Yang dianggap sebagai “kekuatan” dalam rumusan kebijakan pariwisata saat itu adalah keberadaan TN Komodo dan keberadaan hotel. Rakyat, sebaliknya, diposisikan dalam kolom “kelemahan”. Warga lokal digambarkan sebagai populasi yang memiliki kesadaran lingkungan yang rendah dengan kebiasaan jorok.

Gambaran ini persis mereproduksi pandangan modernitas di era 1980an yang mendeskripsikan Labuan Bajo dalam Guide Book sebagai “miserable place, dirty, and no good food (Erb, 2015), sebuah tempat yang menyedihkan, kotor, dan tidak memiliki makanan yang enak.

Wacana turisme semakin menguat dan terkonsolidasi sejak tahun 2011. Pemerintah pusat menetapkan Labuan Bajo sebagai salah satu koridor pariwisata dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI). Komodo kemudian dinarasikan sebagai The Real Wonder of the World dalam Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025.

Yang menarik, narasi ini sesungguhnya merupakan reartikulasi dari narasi global tentang Komodo sebagai New Seven Wonders, wacana yang dikonstruksi secara global oleh New Seven Wonders Foundation, sebuah lembaga yang didirikan oleh Bernard Weber dan didanai oleh New Open World Corporation (NOWC).

Dalam wacana global tersebut, Komodo menjadi bagian dari apa yang oleh Bernard Weber sebut sebagai “Global Memory”, yakni entitas yang melekat pada ingatan warga dunia. Persis dalam narasi demikian, pemerintah saat itu membayangkan bahwa ketika Komodo menjadi memori global, maka pulau ini akan menjadi daya tarik dan mengggerakkan wisatawan dari mana saja untuk berkunjung.

Implikasi dari menguatnya wacana turisme saat itu mendorong penetrasi kapital dalam bentuk investasi yang masif di kawasan Labuan Bajo dan TN Komodo. Hal ini ditopang oleh upaya politik pemerintah untuk menjadikan pariwisata sebagai prioritas dalam kebijakan anggaran.

Pemerintah mengalokasikan dana triliunan rupiah untuk memastikan kawasan ini sebagai ruang bisnis ideal bagi industri pariwisata. Rakyat kemudian diberi mimpi baru soal kemajuan kota Labuan Bajo dan kesejahteraan yang mungkin akan menetes dari kantong-kantong pelaku bisnis pariwisata.

Namun demikian, yang dialami warga saat itu adalah akses ke ruang publik semakin terbatas, infrastruktur yang dihadirkan lebih berorientasi pada kepentingan kelompok bisnis, dan konflik agraria yang semakin masif.

Dari New Seven Wonders ke Super Prioritas: Dominasi untuk Kesekian Kali

Turisme semakin kokoh sebagai wacana pembangunan dominan di era Presiden Joko Widodo. Hal ini dipertegas dengan status super prioritas yang melekat pada turisme. Labuan Bajo menjadi salah satu dari lima destinasi yang diberi label super prioritas, selain Borobudur, Likupang, Mandalika dan Danau Toba, dan Labuan Bajo.

Wacana ini ditopang oleh berbagai elemen kunci yang dalam beberapa hal mereproduksi narasi turisme yang diartikulasikan oleh institusi global. Wacana super prioritas jika didalami memiliki kesesuaian dengan berbagai rumusan turisme yang dihasilkan oleh World Economic Forum.

Pertama, soal kompetisi. Nalar daya saing pariwisata ini direproduksi oleh pemerintah dengan merujuk pada posisi Indonesia dalam Travel & Tourism Development Index 2019, sebuah dokumen yang diproduksi oleh World Economic Forum.

Menurut pemerintah, untuk meningkatkan daya saing dengan negara lain, maka perlu menetapkan pariwisata super prioritas. Hal ini menjadi justifikasi bagi pembangunan infrastruktur yang masif di Labuan Bajo dan untuk terus memprioritaskan kepentingan bisnis di dalam kawasan konservasi.

Kedua, narasi soal ancaman. Dalam dokumen tersebut, apa yang dianggap sebagai ancaman adalah overtourism, air pollution, dan species endangerment. Rumusan soal ancaman ini sepertinya direproduksi dalam kajian para ilmuwan lingkungan yang melakukan Kajian Daya Dukung Daya Tampung Wisata (DDDTW) di TN Komodo.

Produksi pengetahuan saintifik seperti inilah yang menjustifikasi penetapan TN Komodo sebagai Kawasan Wisata Eksklusif, dan, untuk kesekian kali, mereproduksi kembali posisi orang Komodo sebagai ancaman permanen bagi proyek turisme dan konservasi di wilayah itu.

Aspek ketiga yang menopang wacana super prioritas adalah model tata kelola anti demokrasi. Ini ditandai oleh model kelembagaan pariwisata yang diatur dalam skema Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores [BPO-LBF] yang mereduksi urusan pembangunan sebagai urusan manajerial, bukan urusan politik pembangunan yang memungkinkan warga memiliki kontrol atas urusan publik kepariwisataan.

Selain elemen-elemen di atas, pariwisata juga ditopang oleh nalar sekuriti  yang menguat. Ini ditandai oleh pendekatan keamanan dalam merespon tuntutan-tuntutan demokratik warga terhadap problem eksklusi dalam pembangunan pariwisata.

Kombinasi dari berbagai elemen di atas menyebabkan teralienasinya warga lokal dalam diskursus pembagunan turisme super prioritas. Alienasi ini dapat ditemukan dalam beberapa hal.

Pertama, alienasi dari ruang penghidupan. Hal ini selalu menjadi ancaman permanen, tidak hanya bagi warga Komodo, tetapi juga bagi pelaku pariwisata yang terancam oleh wacana pariwisata eksklusif.

Kedua, alienasi dari institusi demokrasi. Hal ini disebabkan oleh sentralisme tata kelola dan model teknokratisme dalam pembangunan pariwisata super prioritas.

Ketiga, teralienasi dari institutusi sosio-kultural. Hal ini ditandai oleh menguatnya konflik antara masyarakat yang berpotensi melemahkan ikatan sosial.

Merumuskan Politik Keadilan

Dominasi yang terus direproduksi dalam wacana pembangunan hegemonik menemukan limitasinya persis ketika berbagai intervensi kebijakan pembangunan sering ditentang oleh gerakan warga lokal. Warga memiliki kesadaran kolektif untuk menolak posisi teralienasi dengan menegaskan posisi sentral mereka dalam wacana pembangunan.

Dengan kata lain, dominasi kuasa pembangunan pariwisata selama ini telah melahirkan resistensi yang mengarah pada upaya membangun re-eksistensi dari warga lokal.

Untuk memperkuat posisi sentral warga dalam pembangunan yang dominatif dan cenderung mengalienasi, maka, ke depan, agenda politik kolektif perlu diperkuat dengan menggarap tiga aspek politik keadilan.

Pertama, menggarap dimensi redistribusi untuk mendorong akses yang setara dalam ekonomi-politik pembangunan, sekaligus memperkuat posisi warga dalam corak produksi ekonomi yang berkeadilan.

Kedua, mendorong politik pengakuan agar basis sosio-kultural warga menjadi rujukan utama dalam tata kelola pembangunan.

Ketiga, menggarap politik demokrasi sehingga warga lokal memiliki kontrol terhadap urusan publik dan tidak teralienasi dari institusi-institusi demokrasi yang ada.

Dalam kaitan dengan ini, agenda gerakan warga lokal perlu memperluas aliansi lintas kelompok, memperkuat partisipasi berbagai elemen warga, dan terus mengkonsolidasi berbagai agenda rakyat. Dengan kata lain, menggarap demokrasi di level lokal perlu memperhatikan tiga aspek fundamental, yakni agenda, aliansi, dan strategi.

Ignatius Jacques Juru adalah peneliti dengan fokus kajian pada isu pembangunan dan demokrasi di Flores

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Artikel Lainnya