BerandaNARASITradisi Menenun di Manggarai,...

Tradisi Menenun di Manggarai, Flores: Di Mana Peran Laki-laki?

Ketika kita masih berelasi baik dengan alam dan menganggap hutan sebagai ibu yang baik, yang memberi semua hal yang kita butuhkan secara berlimpah, di sana kita dapat melihat laki-laki dan perempuan berbagi peran dengan adil dalam menenun.

Oleh: Ney Dinan, pegiat Rumah Tenun Baku Peduli Labuan Bajo


Baru-baru ini saya bertemu dengan seorang kawan yang sedang melakukan riset tentang Kain Nusantara untuk kebutuhan tesisnya. Sebelumnya kami sudah berkomunikasi cukup lama via media sosial, namun baru pertama kali bertemu dalam sebuah kegiatan bersama. Di sela-sela acara, kami menarik diri agak menjauh dari kawan-kawan lain dan mulai berbagi kisah tentang dinamika kehidupan komunitas masing-masing. Sama seperti saya yang aktif dalam komunitas tenun di NTT, kawan ini juga terlibat dalam sebuah komunitas batik di Jawa Timur.

Mungkin karena sama-sama tumbuh dari komunitas lokal, banyak cerita tentang kenalan yang rupanya lingkarannya saling terhubung. Kenalan dia, kawan saya juga. Kenalan saya, kawan dia juga. Dunia terasa kecil. Lingkarannya menarik garis ke mana-mana dan menutupnya pada satu titik.

Di sela-sela obrolan kawan baru ini bertanya: “Di sana [Flores], apa benar hanya perempuan yang boleh menenun?” Saya dengan nada bercanda menjawab: “Iyo, mungkin benar mungkin juga tidak.”

Tampaknya karena mendengar jawaban saya seperti itu, yang mungkin baginya terdengar ambigu, dia kemudian mulai bercerita bagaimana perkembangan batik di lingkungannya yang dulu menjadi pekerjaan perempuan semata. Kini, katanya, terjadi perubahan ketika batik diproduksi oleh industri besar dan laki-laki mulai terlibat serta mengambil peran cukup banyak.

‘’Dulu, stereotipe bahwa perempuan lebih lembut, tekun, sabar, lebih teliti. Oleh karena itu, [untuk] pekerjaan membatik, menganyam dan merajut, masyarakat kita menyebutnya sebagai pekerjaan perempuan,” tuturnya.

“Lalu. Kalian di Flores bagaimana?” tanyanya lagi.

Peralatan pembuatan tenun. (Dokumen Rumah Tenun Baku Peduli)

Saya pun mulai bercerita. Saya mengawali dengan menegaskan bahwa apa yang akan saya ceritakan tidak mewakili situasi di Flores pada umumnya. Saya menceritakan apa yang saya tahu  sesuai dengan kondisi yang berlaku di kampung halaman saya. Saya menjelaskan bagaimana peran laki-laki menghilang dan dinilai tidak berkontribusi dalam menenun. Dan, mengapa itu bisa terjadi?

Saya menjawab pertanyaan itu dengan memulai begini: Ada banyak hal yang menjadi masalah dalam upaya konservasi tenun; soal nilai, soal apresiasi, atau soal regenerasi penenun. Namun, stereotip bahwa hanya perempuan yang boleh menenun menjadi masalah lain yang diamini dengan mudah oleh masyarakat kita.

“Betulkah menenun hanya pekerjaan perempuan?” Saya berusaha mengajukan pertanyaan itu kepadanya.

Teman itu tidak menjawab. Ia justru memasang wajah bingung dan barangkali di dalam hatinya mulai bertanya; Kenapa ini orang malah balik tanya ke saya? Yah, memang cukup sulit mengubah stereotip tersebut, tetapi perlu disadari bahwa laki-laki juga dirugikan dengan stereotip ini.

Di sekitar kampung saya di wilayah adat Cibal, terdapat dua laki-laki yang menenun dan menghasilkan uang jauh lebih banyak dari penenun perempuan. Ketika perempuan menenun sarung songke, salah satu dari kedua laki-laki tersebut menenun kain-kain kecil seperti syal yang dapat terjual dengan cepat.

Ketika bertemu dan berkesempatan mewawancarai salah satu dari antaranya, saya mendapati jawaban bahwa ia memilih menghasilkan uang dari tenunan daripada menjadi buruh proyek di Labuan Bajo, sebagaimana yang terjadi pada sebagian kaum pria di kampung tersebut.

Namun, sebetulnya muncul masalah terkait bagaimana orang-orang sekitar merespons pilihan mereka. Keduanya menjadi sasaran olokan, dianggap sebagai laki-laki yang gemulai oleh warga sekitar. Ini, lagi-lagi berangkat dari pandangan umum bahwa laki-laki tidak lazim menenun.

Pada kesempatan yang sama, saya juga bertanya pada ibu laki-laki itu tentang tanggapannya terkait anaknya yang bisa menenun. Jawabannya membuat saya cukup terkejut: “Ya,  menenun ini kan buat cari makan dan ini bagian dari keterampilan tangan. Saya tidak apa-apa kalau dia menenun.”

Kembali ke percakapan antara saya dan teman tadi. Saya lalu bercerita tentang kondisi yang lain, bahwa menenun itu proses kerja yang cukup panjang. Jika definisi menenun yang dimaksudkan oleh banyak orang adalah bagian memasukan benang pakan ke dalam benang lungsi, memang terkadang ada keterlibatan laki-laki di sana, meskipun hanya sebagian kecil, seperti mempersiapkan benang dengan cara menggulungnya menjadi bola benang [purung lawe], memindahkan benang dari bola benang ke ruas bambu untuk benang pakan [keliri lawe]. Itu biasanya dilakukan oleh laki-laki.

Pekerjaan  lainnya adalah mencari bahan pewarna ke dalam hutan, membakar batu menjadi kapur untuk campuran pewarna. Ada banyak sekali peran laki-laki yang sebenarnya tanpa kita sadari telah dihilangkan dari narasi tenunan ini.

“Kita yang hilangkan itu maksudnya bagaimana?” lagi-lagi teman saya bertanya. “Ya…. narasi kita yang tidak mengakui bahwa laki-laki juga terlibat,” kata saya. Saya menjelaskan bahwa di Manggarai peran laki-laki mungkin sangat sedikit, tetapi di wilayah lain di NTT untuk saat ini banyak laki-laki yang terlibat dalam proses menenun.

Kawan-kawan saya di Sumba misalnya punya peran yang sama besarnya dengan perempuan dalam membuat motif, mengikat benang, mencelup, dan tetek bengek pekerjaan menenun lainnya. Apalagi mereka yang terlibat dalam gerakan pewarna alam.

Salah satu kain tenun Manggarai, Flores. (Dokumen Rumah Tenun Baku Peduli)

Di Manggarai, saya melihat bahwa peran laki-laki menghilang karena efek faktor dari luar, seperti masuknya benang-benang polyester yang sudah digulung rapi dan bisa langsung digunakan. Apalagi jika benang-benang tersebut sudah diwarnai. Bisa dikatakan kemudahan-kemudahan ini membuat laki-laki tidak merasa memiliki peran lagi dalam menenun. Yang tersisa sekarang adalah para pengrajin yang membuat alat-alat tenun (Ewang Dedang). Boleh dikatakan, masyarakat modernlah yang menghilangkan peran laki-laki itu.

Bagaimana laki-laki berperan dalam tradisi menenun, mungkin hanya akan tersisa dalam dongeng-dongeng atau cerita rakyat masa lalu, ketika selembar tenunan masih bisa ditenun dari bahan-bahan yang kita ambil dari alam. Ketika kita masih berelasi baik dengan alam dan menganggap hutan sebagai ibu yang baik, yang memberi semua hal yang kita butuhkan secara berlimpah, di sana kita dapat melihat laki-laki dan perempuan berbagi peran dengan adil dalam menenun.

Artikel Terkini