Oleh: Didimus Dedi Dhosa
Ketika berpidato di Besipae dalam acara peresmian apa yang disebut sebagai hutan energi berbasis masyarakat, Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat mengatakan bahwa ia sedang berupaya menghadirkan kemajuan, membebaskan warga dari kemiskinan.
“Kehadiran saya di sini bersama Prof Benu [Rektor Universitas Nusa Cendana], bersama Pak Bupati [Timor Tengah Selatan], dan kita semua di sini [adalah] untuk melahirkan sebuah karya agar masyarakat makin hari makin maju, agar masyarakat bisa dibebaskan dari stigma kemiskinan. Tempat ini akan melahirkan pertumbuhan ekonomi,” katanya dalam pidato pada 5 November 2022 itu.
Pesan dalam pidato gubernur itu tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan Presiden Amerika Serikat, Harry Truman saat pidato perdananya pada tujuh dekade lalu.
Bagi Truman (1949), lebih dari setengah penduduk dunia yang sedang mengalami penderitaan, kekurangan makanan, kehidupan ekonomi yang primitif dan stagnan, dan kemiskinan akut hanya dapat diatasi melalui program pembangunan yang menggunakan konsep ‘democratic fair deal’.
Produksi skala besar, baginya, adalah kunci untuk menghadirkan kemakmuran dan perdamaian. Dan, esensi dari produksi tersebut adalah bagaimana menggunakan pengetahuan ilmiah-teknis modern (Escobar 1995: 3).
Sayangnya, janji kesejahteraan yang terbersit dari pidato Truman tidak terwujud di negara-negara Selatan pasca-perang dunia kedua. Ketimpangan pembangunan negara Utara dan Selatan justru terus direproduksi.
Dan, saat ini, di tingkat lokal, jauh dari era kekuasaan Presiden AS itu, Gubernur NTT kembali mengumbar janji kemakmuran di hadapan masyarakat Besipae.
Gubernur tampak percaya bahwa penggunaan teknologi, pengadaan fasilitas modern dalam bidang peternakan, pertanian dan kehutanan, dapat mengeluarkan masyarakat Besipae dari lubang kemiskinan.
Terlebih lagi, ia mengklaim bahwa kehadirannya di tengah mereka, juga di tempat lain di NTT, bertujuan membawa masyarakat makin maju ke depan dan bergerak cepat mendongkrak ketertinggalan pembangunan.
Sementara itu, gelombang perlawanan publik, seperti aksi massa jalanan oleh warga Besipae dan Aliansi Solidaritas Besipae di Kupang justru dengan jelas menunjukkan tanda bahwa klaim gubernur itu sedang digugat.
Menurut warga Besipae, pendekatan teknokratik ala pemerintah yang mengandalkan para ahli untuk mendesain pembangunan yang bercorak top-down, dalam praktiknya justru menelantarkan dan mengusir mereka dari akses terhadap basis sumber daya.
Problem Tapal Batas dan HGU
Konflik antara warga Besipae dan Pemprov NTT ini belum menemukan titik terang. Warga menggugat klaim pemerintah atas hutan seluas 3.780 hektar pada satu sisi, sementara itu di sisi lain pemerintah provinsi menuduh mereka sebagai pihak yang melakukan okupasi atas tanah pemerintah.
Konflik ini mulai muncul pada 1982 ketika pemerintah memperkenalkan proyek peternakan terpadu di dalam kerja sama dengan Pemerintah Australia.
Proyek tersebut membutuhkan lahan 6.000 hektar. Pemerintah kemudian mengalokasikan lahan 3.780 hektar, bagian dari hutan lindung warisan kolonial Belanda yang masyarakat lokal sebut sebagai ‘hutan kio’ (hutan larangan).
Untuk mencukupi kebutuhan lahan 6.000 hektar itu, melalui negosiasi, warga kemudian menyerahkan sebagian tanah mereka yang ditumbuhi semak belukar.
Yang terbersit dari ‘kio’ adalah larangan kepada masyarakat adat untuk mengambil bahan-bahan material yang dapat menghancurkan ekosistem hutan. Masyarakat adat sangat menjunjung-tinggi titah kultural demikian demi menjaga relasi yang harmonis antara mereka dengan hutan. Mereka tidak mengeksploitasi hutan hanya demi memuaskan nafsu akumulasi modal sebagaimana dipraktikkan secara masif dan vulgar oleh korporasi negara dan korporasi swasta saat ini di Kalimantan (Li dan Semedi, 2021).
Proses penyerahan tanah diwakili oleh usif Besi dan Pae, mendapat persetujuan dari para amaf, dan kemudian disaksikan oleh masyarakat lokal dari suku-suku yang tinggal di areal kawasan Besipae.
Sejak itulah, kawasan ini mengalami pergeseran fungsi dan kepemilikan. Fungsi hutan sebagai kio bergeser menjadi kawasan pengembangan ternak yang keuntungannya dinikmati oleh elit pemerintah lokal.
Selain ternak, areal ini juga dijadikan ladang ‘proyek’ penanaman hutan oleh pemerintah. Logika proyek di sini adalah menghabiskan anggaran tahunan demi mencapai tingkat penyerapan anggaran yang tinggi.
Sehubungan dengan ini, tidak heran bila proyek yang disebut Gerakan Rehabilitasi Hutan (Gerhan) itu dapat dikategorikan sebagai proyek yang didesain untuk menyerap anggaran negara.
Sebab, pengakuan sejumlah warga yang saya temui selama penelitian lapangan di desa-desa di kawasan Besipae (2019-2020) menegaskan bahwa bibit pohon yang ditanam dalam proyek itu adalah jenis pohon yang pernah ditebang dari kawasan seluas 1.050 hektar selama tiga periode pembabatan hutan oleh pemerintah.
Kepemilikan atas tanah dan hutan ikut berpindah, dari warga sebagai pemegang tanah ulayat kepada tanah milik pemerintah melalui skema Hak Guna Usaha (HGU).
Dari total 6000 hektar, pemerintah telah mengklaim tanah seluas 3.780 hektar adalah miliknya. Tapi, tapal batas dengan tanah lain milik warga lokal yang pernah disumbangkan untuk proyek peternakan terpadu justru tidak pernah dibicarakan secara transparan.
Penerbitan sertifikat tanah HGU atas nama Pemerintah Provinsi pada tahun 1986, sesaat setelah berakhirnya kontrak kerja dengan Pemerintah Australia, dan kemudian penerbitan ulang sertifikat tanah HGU pada tahun 2012 dengan dalih hilangnya dokumen sertifikat lama adalah bentuk kuasa eksklusi oleh pemerintah, yang menurut Hall, Hirsch dan Li dalam Powers of Exclusion (2011), terjadi melalui empat skema penting regulasi, pemaksaan, pasar maupun legitimasi.
Idealnya, perpanjangan HGU oleh pemerintah mesti melewati proses yang panjang, diantaranya meminta persetujuan dari semua pihak yang berhak atas tanah. Bila seluruh suku yang pernah menyerahkan tanah kepada pemerintah tidak ingin memperpanjang HGU, maka kekuasaan pemerintah atas tanah otomatis gugur, dan tanah tersebut harus dikembalikan kepada masyarakat atau pemilik ulayat.
Inkonsistensi Pemprov NTT
Inkonsisten pemerintah atas janji politik kesejahteraan bukan hanya terjadi saat ini, melainkan memiliki akar historis yang kuat.
Sejak awal pengembangan proyek ini, pengembangan ternak terpadu dimaksudkan sebagai percontohan yang kemudian membawa perubahan ekonomi politik bagi masyarakat lokal.
Tapi, riset saya (2021) menemukan tiga problem mendasar di kawasan hutan Besipae.
Pertama, bantuan ternak yang diberikan oleh pemerintah bersifat elitis. Ketimpangan relasi kuasa direproduksi dalam jejaring bantuan ternak. Elit-elit lokal yang memiliki akses dengan sangat mudah mendapatkan bantuan. Sebaliknya, warga biasa baru mendapatkan bantuan ternak sejauh mereka memberikan ‘mahar’ atau ‘oko mama’ dalam bahasa lokal di Timor, sebagai persembahan kepada pemerintah.
Kedua, praktik pembabatan hutan seluas 1.050 hektar. Aktor utama dari praktik pembabatan hutan adalah pemerintah. Akibat yang harus ditanggung oleh masyarakat di dataran rendah Besipae adalah debit air yang berkurang dan bahkan mengering sesaat setelah penghancuran hutan.
Dan ketiga, penutupan akses bagi warga lokal terhadap kawasan hutan untuk sekedar bertahan hidup. Intimidasi, kekerasan, bahkan dijebloskan ke dalam tahanan adalah bentuk-bentuk strategi yang diciptakan oleh pemerintah untuk membatasi akses dan serentak membungkam perlawanan masyarakat lokal.
Inkonsistensi janji kesejahteraan Pemerintah Provinsi NTT terjadi lagi pada era kekuasaan Gubernur VBL.
Pada Agustus 2020, aparat keamanan bersenjata laras panjang mengintimidasi warga di Besipae, dan membongkar semua rumah yang dibangun oleh warga di kawasan hutan.
Pemerintah kemudian membangun kembali sejumlah rumah berukuran kecil dan sangat sederhana di kawasan Besipae.
Tapi, dua tahun kemudian, tepatnya pada 20 Oktober 2022, pemerintah melalui aparat keamanan merusakkan dan membongkar kembali 19 rumah yang telah dibangun itu. Pemerintah membangun, pemerintah pula yang membongkar.
Aksi pembongkaran rumah-rumah warga di Besipae adalah potret dari kuasa eksklusi, entah melalui regulasi, pemaksaan, pasar maupun legitimasi yang dipraktikkan secara vulgar oleh pemerintah dan aparat keamanan.
Di titik inilah publik NTT perlu menggugat janji kesejahteraan Gubernur di Besipae: apakah janji itu akan terpenuhi atau lagi-lagi hanya ilusi.
Didimus Dedi Dhosa adalah Sekretaris Eksekutif Center for East Indonesian Studies pada FISIP Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang