Oleh: Anastasia Ika, tinggal di Jawa Barat, beberapa kali ke NTT, menulis tentang kehidupan masyarakat nelayan.
Bagi masyarakat di sebagian besar Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT], jagat raya tak semata-mata objek. Ia bukan sasaran yang sewaktu-waktu bisa dikenai perbuatan buruk. Bimasakti adalah subjek. Benda-benda langitnya merupakan entitas yang sejajar dan tak terpisahkan dengan kehidupan manusia.
Sejak pengetahuan tentang semesta mulai dilisankan, keturunan leluhur NTT terus menghayati jagat raya yang murah hati. Leluhur berpesan agar para keturunan tak lupa merawat benda-benda. Tempat-tempat hendaknya disucikan.
Melintasi jalinan abad, para keturunan diminta bersikap sopan dan hormat di bawah pohon-pohon tertentu supaya kukila tak ramai bernyanyi. Karena ketika burung-burung mulai ribut—menurut kepercayaan masyarakat di sebagian wilayah NTT—kemungkinan akan terjadi bencana.
Secara sederhana, persoalannya tak hanya tentang merawat makhluk dan hal lain. Pengetahuan akan kosmos turut kembali pada yang paling dekat: memelihara hati; merawat masing-masing jiwa.
Jagat yang Murah Hati
Sebelum kedatangan para penyebar ajaran agama, suku-suku seperti di Lamaholot misalnya — tinggal tersebar di bagian timur Pulau Flores serta beberapa daerah di Pulau Solor, Pulau Adonara dan Pulau Lembata — memahami Yang Ilahi menurut konsep kosmologi. Merekalah dewata yang berkuasa atas langit dan bumi.
Secara umum dalam budaya Lamaholot, Yang Ilahi jarang memanifestasikan diri-Nya secara langsung. Ia tak bisa disentuh, hanya dapat disapa, disembah dalam ucapan syukur dan kedukaan. Sembahan yang maha luhur. Ilah yang Ilahi.
Nama untuk zat Ilahi meminjam sapaan terhadap matahari dan bulan. Seluruh warga Lamaholot mengenal Lera Wulan dan Tana Ekan sebagai Yang Tertinggi. Bersifat dualitas, keduanya beroposisi dalam cara pandang kosmologi.
Lera Wulan mewakili matahari dan bulan. Lera untuk matahari dan Wulan untuk bulan. Tana Ekan menyimbolkan kehidupan di tempat yang lebih rendah—dengan kata lain: bumi.
Pengetahuan akan keilahian sedikit berbeda [dan boleh dibilang lebih rumit] di Kedang, timur laut Pulau Lembata. Di sana, bulan dan matahari disebut Ula Lojo. Ula untuk bulan, sedangkan matahari Lojo. Tak seperti suku-suku Lamaholot, masyarakat Kedang tak punya persamaan untuk Tana Ekan. Tanah kelahiran, ya, tanah kelahiran saja. Tak ada istilah khusus.
Dalam buku kajian etnologi Kedang: A Study of the Collective Thought of an Eastern Indonesian People yang terbit pada 1974, antropolog Inggris R. H. Barnes menceritakan keturunan Kedang yang “lebih sering meminta tolong pada tanah kelahiran, ketimbang Ula Lojo.”
Bagi mereka, tulis Barnes kemudian, “tanah kelahiran terasa lebih dekat dibanding langit.” Karena lebih dekat, permohonan akan lebih cepat terkabul. “Coba kalau memohon pada langit,” kata seseorang di antara mereka, “pasti permohonan akan lebih lama terkabul. Bisa-bisa setahun baru terkabul.”
Isyarat Bintang-bintang
Meski terasa jauh, tetap saja kehadiran benda-benda langit bermakna dalam keseharian masyarakat Kedang.
Komet yang tampak melaju pada langit malam mengisyaratkan kedukaan. Pengamatan warga atas kemunculan bintang berekor itu, “biasanya diikuti pemberitahuan akan kematian sosok penting di suatu kampung di Kedang,” kata Ambrosia Paulina Peni Lamak [30], keturunan Lamaholot yang bersuamikan orang Kedang.
Begitu pula kepercayaan terhadap kemunculan bintang-bintang tertentu. Misalnya, sabuk Orion, yang terdiri dari bintang yang membentuk sabuk pada konstelasi Orion – gugusan bintang yang kerap disebut “Sang Pemanah” lantaran wujudnya mirip orang membawa busur panah. Sabuk Orion dinamai tete wawi atau “orang-orang yang memanggul seekor babi.”
Kemunculan sabuk Orion menandakan suatu berita bahagia. Biasanya terkait kelahiran dalam silsilah keluarga penting Kedang, atau permulaan masa panen di lereng Uyelewun—pegunungan yang dipercayai sebagai tempat asal leluhur Kedang.
Keturunan Lamaholot dan Kedang memberi nama bagi benda-benda langit tanpa berbekal buku, karena memang dahulu tak ada buku panduan yang dapat dibaca. Mereka menamai bintang-bintang hanya berbekal mata yang melihat, dan ingatan—akan musim, waktu kemunculan dan tenggelamnya bintang-bintang.
Pada masa yang sangat lampau, mereka sudah bertafakur. Bahkan memikirkan yang besar: jagat raya.
Cerita yang Terputus
Sebegitu sakral benda-benda langit yang membuat sejumlah komune Lamaholot dan Kedang merinci fase matahari, bulan dan bintang. Bahkan, hingga sangat terperinci. Misalnya soal fase bulan.
Secara umum, ahli sains membagi pergerakan bulan mengitari bumi menjadi delapan fase dalam sebulan. Empat di antaranya adalah bulan baru, bulan sabit awal, kuartal pertama dan cembung awal. Empat itu saja, terkadang terbalik-balik menghafalnya. Apalagi untuk menghafal delapan fase.
Ternyata, suku berakar budaya Lamaholot yang tinggal di Lamalera, punya metode pembagian yang lebih terperinci. Mereka membagi fase bulan secara harian. Artinya, terdapat 30 fase bulan dalam sebulan. Dan mereka—setidak-tidaknya lima nelayan yang pernah saya temui—menghafal itu semua.
Sekitar 20 tahun sesudah penerbitan buku kajian etnologi tentang Kedang, Barnes menulis Sea Hunters of Indonesia: Fishers and Weavers of Lamalera. Dalam beberapa halaman buku kajian etnografinya, Barnes tak cuma merinci penamaan fase bulan dan bintang di Lamalera. Lebih dari itu, ia secara rinci pula memaparkan kaitan antara posisi benda langit, ritual yang menyertai dan musim melaut di Laut Sawu—perairan yang langsung terhubung dengan Lamalera.
Selama bertahun-tahun bukunya menjadi salah satu acuan penelitian dan penulisan jurnalistik yang beririsan dengan kehidupan masyarakat Lamalera dan Lembata [secara khusus] maupun NTT [secara umum]. Buku Barnes pula yang menjadi sumber riset awal saya ketika mendapat kesempatan menulis tentang nelayan Lamalera.
Saya memang baru menyinggahi sedikit sekali tempat di NTT yang begitu luas. Namun, ingin rasanya menemukan lebih banyak buku berbahasa Indonesia, ditulis oleh putra-putri NTT dan berkisah tentang warisan leluhur setempat.
Saat menulis paragraf-paragraf terakhir dalam tulisan ini, saya teringat seorang teman di Lembata. Andre Belutowe, namanya, merupakan keturunan Kedang. Berusia 37 tahun kini, ia bercerita generasinya tak lagi mengetahui folklor yang, menurut Andre, “tutur ceritanya berhenti sampai pada generasi kakek-nenek saya.”