Floresa.co – Kepada Kapolres Manggarai Timur, seorang istri yang ditetapkan tersangka dalam kasus penganiayaan hingga suaminya meninggal mengaku kerap mengalami kekerasan dalam rumah tangga [KDRT].
“Saya yang bertanya langsung ke MS, apakah ia sempat mengalami KDRT, yang dijawab ‘pernah,’” kata Kapolres Manggarai Timur, AKBP Suryanto pada 22 Desember.
MS mengacu pada tersangka dalam kasus penganiayaan itu, yang terjadi di Kampung Golo Ntoung, Kelurahan Rana Loba, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur.
Suryanto menanyakan kemungkinan tersebut setelah sebelumnya “menerima informasi dari sejumlah orang soal dugaan KDRT terhadap MS.”
Meski mengaku pernah mengalami KDRT, MS tak sekali pun melaporkan kekerasan itu ke polisi.
“Saya menyayangkan karena tak ada riwayat laporan polisi terkait KDRT tersebut,” kata Suryanto.
Ia mengaku akan lebih lanjut mendalami dugaan KDRT terhadap MS.
Suryanto menjelaskan, MS dijerat dengan Pasal 354 ayat [2] KUHP tentang penganiayaan berat yang berujung kematian. Bila terbukti bersalah, ia terancam pidana maksimal 10 tahun penjara.
Penyidik, kata dia, tidak menggunakan pasal pembunuhan biasa lantaran “MS kooperatif dengan menyerahkan diri ke polisi.” Pembunuhan biasa diatur melalui Pasal 338 KUHP dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara.
Ia menambahkan penyidik telah memeriksa saksi-saksi kasus ini yang keterangannya diharapkan “dapat meringankan hukuman terhadap MS.”
Bagaimanapun, menurut Suryanto, “putusan akhir tetap di tangan hakim.”
Kronologi Terbaru
MS ditetapkan tersangka pada 20 Desember, delapan hari sesudah melakukan penganiayaan.
Ia menyerahkan diri ke polisi pada hari kejadian.
Dalam penyampaian kepada media terkait penetapan tersangka terhadap MS, Polres Manggarai Timur turut merilis kronologi terbaru kasus tersebut.
Suryanto mengatakan kronologi terbaru merupakan “hasil pendalaman penyidik.”
Dalam kronologi terbaru, penyidik menemukan korban pulang dalam keadaan mabuk ketika kepada MS menanyakan keberadaan anak-anak mereka.
MS, yang sedang memasak di depan tungku, tak menanggapi pertanyaannya.
“Diduga agresif akibat mabuk,” kata Suryanto, si suami mengambil kayu yang masih menyala di tungku, hendak memukul MS.
Mengetahui sebongkah kayu panas sedang mengarah ke tubuhnya, MS segera merebut kayu itu dan memukulkan pada kaki suaminya.
Suami MS lalu terjatuh. Menggunakan sebongkah kayu yang sama, MS lalu memukul bagian kepalanya hingga tiga kali sehingga mengeluarkan darah.
Tiga pukulan pada bagian kepala itu “yang membuat korban akhirnya meninggal.”
Melihat suaminya terkapar, MS lalu keluar rumah, mencegat seorang pengendara sepeda motor untuk mengantarkannya ke Polres.
Kronologi Sebelumnya
Dalam kronologi yang disampaikan pada 13 Desember, Polres Manggarai Timur mengatakan si suami pulang dalam keadaan mabuk, lalu “memaki dan menendang” MS yang sedang memasak di dapur.
Merespons tindakan suaminya yang terjadi pada sekitar pukul 19.30 Wita itu, MS membalas dengan memukul kaki suaminya hingga terjatuh.
Suaminya yang mampu berdiri kembali kemudian mengambil sebongkah kayu menyala di tungku, berancang-ancang menyerang MS.
Mengetahui bongkahan kayu panas sedang diarahkan kepadanya, MS kembali memukul suaminya pada bagian kepala dengan sebatang kayu yang tergeletak di dekat tungku.
Pukulan kedua MS, menurut keterangan Polres saat itu, membuat korban “mengalami luka parah pada bagian belakang kepala.”
Ia jatuh tak sadarkan diri bersamaan darah mengalir keluar dari lubang telinganya.
Melihat kondisi suaminya, MS bergegas pergi ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu [SPKT] Polres Manggarai Timur. Ia membawa serta sebatang kayu yang digunakan untuk memukul suaminya.
Dalam konferensi pers 20 Desember, Suryanto mengingatkan masyarakat tentang “pentingnya memahami bahaya kekerasan dalam rumah tangga yang bisa berujung pada tragedi.”
Ia mengatakan “selama ini banyak yang melaporkan KDRT, tetapi laporannya ditarik kembali,” katanya berselang dua hari sesudah konferensi pers.
Sebagian besar penarik laporan beralasan “hanya ingin membuat jera pasangan mereka,” keputusan yang menurut Suryanto “dapat menambah potensi kekerasan yang lebih parah di kemudian hari.”
“Jangan takut melapor dan memprosesnya secara hukum,” katanya.
Editor: Petrus Dabu dan Anastasia Ika