ReportasePeristiwaRepresi terhadap Jurnalis Kian Marak, Mahasiswa dan Akademisi di Kupang Sebut Ada Tendensi Kembali ke Rezim Otoriter

Represi terhadap Jurnalis Kian Marak, Mahasiswa dan Akademisi di Kupang Sebut Ada Tendensi Kembali ke Rezim Otoriter

Media harus terus menggonggong saat kekuasaan melenceng, kata pembicara

Floresa.co – Kekerasan dan intimidasi terhadap media dan jurnalis merupakan cara negara membangun kembali wajah otoritarianisme, kata mahasiswa dan pembicara dalam diskusi publik di Kupang. 

Diskusi bertajuk “Darurat Kebebasan Pers: Solidaritas Mahasiswa atas Intimidasi terhadap Jurnalis di Era Digital” itu berlangsung di Moza Kaffe dan Galeri pada 23 Mei.

Diinisiasi oleh Ikatan Mahasiswa Hukum Manggarai (IMHM) Universitas Nusa Cendana (Undana), diskusi itu menghadirkan pembicara Ernestus Holivil dan Syukur Muhaimin Adang Djaha. Keduanya merupakan dosen Administrasi Publik Undana.

Arnoldus Jansen Tabung, salah satu anggota IMHM yang menjadi moderator membuka diskusi dengan menegaskan bahwa kebebasan pers adalah elemen fundamental dalam demokrasi. 

Menurutnya, segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis — baik fisik maupun digital — telah mencederai prinsip negara hukum dan kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi.

Syukur Djaha berkata, kebebasan pers bukan sekadar hak, melainkan indikator utama kualitas demokrasi. 

Karena itu, kebijakan publik seharusnya terbuka terhadap kritik, bukan menjadi doktrin yang tak boleh disentuh.

Ia menegaskan kritik bukanlah kebencian tetapi wujud kasih sayang dan kepedulian terhadap bangsa. 

“Tapi hari ini, bertanya saja bisa dianggap dosa. Bahkan, di ruang kelas budaya bertanya mulai dibungkam,” katanya.

Syukur berkata, jaminan konstitusional atas kebebasan berekspresi diatur dalam Pasal 28F UUD 1945 dan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 

Namun, kata dia, jurnalis seringkali mengalami berbagai bentuk kekerasan, kriminalisasi, sensor hingga serangan digital.

Kasus-kasus tersebut, kata dia, seringkali tidak ditindaklanjuti secara serius dan tidak diusut tuntas oleh aparat penegak hukum.

Ia merujuk pada kasus penyekapan dan penyiksaan terhadap Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut oleh polisi di Polres Manggarai pada Oktober tahun lalu. 

Kendati dinyatakan bersalah, Aipda Hendrikus Hanu hanya diberi sanksi meminta maaf. Sementara itu, Polda NTT menghentikan proses hukum pidana pada 6 Januari 2025 karena alasan “tidak cukup bukti.”

“Impunitas ini menciptakan iklim ketakutan,” kata Syukur.

Dipandu Arnoldus Jansen Tabung, diskusi tersebut menghadirkan dua pembicara yaitu Ernestus Holivil dan Syukur Muhaimin Adang Djaha. Ketiganya merupakan mahasiswa dan dosen Universitas Nusa Cendana. (Dokumentasi Handrisius Grodus)

Sementara itu, Ernestus Holivil menegaskan pers adalah jantung demokrasi dan penentu hidup matinya sistem yang berpihak pada rakyat.

“Teman-teman bisa lihat dalam sejarah global. Banyak negara runtuh bukan karena serangan luar, tapi karena demokrasi dan persnya mati,” katanya. 

Ernestus merujuk pada runtuhnya kekuasaan Adolf Hitler di Jerman dan Benito Mussolini di Italia yang tumbang karena pers kembali bersuara dan melawan.

Ia berkata, media seharusnya berfungsi sebagai watchdog atau “anjing pengganggu” yang terus menggonggong saat kekuasaan melenceng. 

Ia mengutip pernyataan Lord Acton, “power tends to corrupt” atau “kekuasaan cenderung korup,” sehingga pers mutlak dibutuhkan sebagai penyeimbang.

Ia menyebut terbongkarnya kasus-kasus besar seperti skandal Bank Century, korupsi KTP elektronik, hingga tambang ilegal merupakan “buah-buah dari kerja keras pers.” 

Ernestus berkata, kendati era reformasi telah membuka ruang kebebasan, bentuk-bentuk intimidasi simbolik kini bermunculan.

Ia menyebut fenomena itu sebagai suatu ciri otoritarianisme yang halus. 

Ia mencontohkan media investigatif Tempo yang kerap mendapat tekanan karena menjalankan fungsinya sebagai pengawas kekuasaan.

Pada 19 Maret, Tempo mendapat paket berisi kepala babi yang ditujukan kepada Francisca Christy Rosana, jurnalis pada desk politik sekaligus host siniar ‘Bocor Alus Politik.’

Tiga hari kemudian, paket lain berisi bangkai tikus juga dikirim ke kantor Tempo.

Ernestus menyebut praktik intimidasi simbolik seperti itu sebagai cerminan dari “republik kepala tikus,” sindiran terhadap negara yang abai pada demokrasi deliberatif.

Ia juga menyebut kekerasan dan intimidasi terhadap Pemimpin Redaksi Floresa Herry Kabut sebagai contoh nyata pembungkaman kebebasan pers.

“Kalau negara tidak siap dikritik, maka ia sedang membangun kembali wajah otoritarianisme yang dulu kita lawan,” katanya.

Ernestus menilai demokrasi yang dipraktikkan di Indonesia saat ini lebih bersifat prosedural daripada substantif. 

Meskipun secara formal tidak ada lagi pelarangan terhadap kebebasan berekspresi, kata dia, media dan jurnalis tetap menghadapi “pembungkaman halus” melalui kapitalisasi berita dan tekanan kekuasaan ekonomi-politik.

“Negara itu seharusnya menjadi jati parir pelindung dan pemenuh hak-hak warganya. Tapi justru rakyat sering dijajah oleh bangsanya sendiri,” katanya.

Sementara Agustinus Silvianus Sasmita, salah satu peserta diskusi menyoroti darurat kebebasan pers dan dinamika masyarakat era digital.

Saat ini, kata dia, “kita hidup dalam ‘global village,’ di mana batas-batas fisik nyaris hilang oleh karena teknologi. 

Ia juga menyebut “kita hidup dalam masyarakat tontonan atau society of the spectacle, di mana semua saling mengawasi. 

“Inilah yang memunculkan kecemasan kolektif dan mengikis kebebasan individu,” kata mahasiswa semester delapan Universitas Katolik Widya Mandira itu.

Sasmita mengusulkan “redefinisi atas pers perlu segera dilakukan” di mana pers tidak lagi terbatas pada institusi formal, melainkan telah melebur dalam keseharian individu.

“Setiap orang kini adalah institusi pers itu sendiri. Setiap akun media sosial adalah corong pemberitaan, bukan sekadar tempat membagikan potret diri,” katanya.

Handrianus Grodus merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana

Editor: Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

spot_img

TERKINI

BANYAK DIBACA