Floresa.co – Aliansi Jurnalis Independen [AJI] dan Lembaga Bantuan Hukum [LBH] Pers meminta polisi menghentikan praktik yang mereka sebut “cara kotor menyusupkan intel ke institusi pers.”
Desakan ini merespon kabar terkait seorang mantan kontributor sebuah stasiun televisi yang dilantik menjadi Kapolsek Kradenan, Blora di Provinsi Jawa Tengah.
Saat menjadi kontributor selama 14 tahun, polisi tersebut rupanya bertugas sebagai intel.
“AJI menilai praktek tersebut merupakan tindak memata-matai yang dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap pers Indonesia,” kata AJI dalam pernyataan bersama LBH Pers pada Kamis, 15 Desember yang diwakili Sasmito, Ketua AJI Indonesia dan Ade Wahyudin, Direktur Eksekutif LBH Pers.
Kabid Humas Polda Jawa Tengah telah membenarkan bahwa Iptu Umbaran Wibowo pernah menjadi kontributor di TVRI Jateng. Pada saat yang bersamaan Umbaran sedang bertugas sebagai intelijen di wilayah Blora.
AJI dan LBH Pers menyatakan, penyusupan anggota Polri ke dalam institusi pers juga menyalahi aturan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Pers.
Pasal 6 Undang-Undang Pers menyebutkan, pers nasional memiliki peranan untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
“Oleh sebab itu, kepolisian jelas telah menempuh cara-cara kotor dan tidak memperhatikan kepentingan umum dan mengabaikan hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi yang tepat, akurat dan benar,” kata bdua organisasi tersebut.
Mereka juga menegaskan bahwa pers memiliki imunitas dan hak atas kemerdekaan dalam melakukan kerja-kerjanya.
“Dengan menyusupkan polisi pada media, Kepolisian juga telah mengabaikan hak atas kemerdekaan pers. Penyusupan ini juga bertentangan dengan Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang berbunyi ‘Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap,’” kata mereka.
Dalam kasus ini, kata mereka, “Iptu Umbaran dan Polri jelas telah menyalahgunakan profesi wartawan untuk mengambil keuntungan atas informasi yang diperoleh saat bertugas menjadi wartawan.”
Mereka juga menegaskan organisasi pers serta media seharusnya dapat berperan aktif dalam menelusuri latar belakang wartawan.
“Hal ini akan berdampak pada kredibilitas organisasi maupun media yang bersangkutan dalam mengemban tugasnya sebagai wadah pers karena tidak mampu menjamin profesi pers yang terbebas dari potensi intervensi aktor-aktor negara,” kata mereka.
“Lolosnya anggota kepolisian sebagai wartawan yang tersertifikasi dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap institusi pers dan kerja-kerja pers secara umum.”
AJI Indonesia dan LBH Pers pun mendesak mendesak pemerintah khususnya Polri untuk menghentikan praktek seperti “yang dapat mengganggu kinerja pers dan menimbulkan ketidakpercayaan publik.”
Mereka juga mendesak Dewan Pers untuk menyelidiki kasus ini hingga tuntas dan memberikan sanksi kepada Iptu Umbaran yang telah melanggar Kode Etik Jurnalistik.
“Dewan Pers juga perlu memperbaiki mekanisme Uji Kompetensi Wartawan agar peristiwa serupa tidak terulang pada masa mendatang,” kata mereka.
Dewan Pers juga didorong untuk memastikan aparat keamanan lain seperti TNI dan badan intelijen lainnya tidak melakukan cara-cara kotor seperti yang dilakukan Polri.