Dewan Pers Teliti Berkas Perkara Jurnalis yang Jadi Tersangka oleh Kejaksaan Agung karena Pemberitaan Negatif

Komunitas pers menegaskan bahwa pemberitaan, opini publik dan penyampaian pendapat di muka umum bukan tindakan perintangan penyidikan

Floresa.co –  Dewan Pers menerima berkas perkara dari Kejaksaan Agung terkait penetapan tersangka seorang jurnalis karena pemberitaan negatif yang dibuatnya dianggap sebagai perintangan penyidikan (obstruction of justice).

Di sisi lain, komunitas pers menegaskan pemberitaan, pembentukan opini publik dan penyampaian pendapat di muka umum bukan merupakan tindakan perintangan penyidikan. Sengketa pemberitaan mestinya diselesaikan melalui Dewan Pers sesuai Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

“Dewan Pers akan meneliti secara mendalam berkas-berkas dari Kejaksaan Agung tersebut. Meski perlu waktu yang memadai untuk meneliti sekaligus menganalisis kasus tersebut sesuai dengan prosedur operasi standar, namun Dewan Pers akan menyampaikan hasilnya pada semua pihak sesegera mungkin,” kata Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu dalam siaran pers pada 25 April.

Tian Bahtiar, Direktur Pemberitaan Jak TV ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung pada 21 April, bersama dua pengacara Junaedi Saibih dan Marcela Santoso.

Ketiganya dituding melakukan permufakatan jahat untuk mengganggu penanganan kasus dugaan suap penanganan perkara yang ditangani Kejaksaan Agung. 

Lembaga itu menilai narasi negatif melalui publikasi sejumlah berita yang dibuat oleh tersangka mengganggu konsentrasi penyidik.

Karena itu, ketiganya dituding melanggar Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. 

Kejaksaan Agung menjadikan sejumlah topik pemberitaan yang dipublikasikan oleh Jak TV sebagai alat bukti yang disita.

Merespons protes komunitas pers atas penetapan tersangka Tian Bahtiar, Dewan Pers langsung mendatangi Kejaksaan Agung dan bertemu dengan Jaksa Agung pada 22 April. 

Pada 24 April, giliran perwakilan Kejaksaan Agung mendatangi Dewan Pers untuk menyerahkan berkas kasus yang melibatkan Tian Bahtiar.

Ninik Rahayu mengatakan baik Dewan Pers maupun Kejaksaan Agung sama-sama berkomitmen memperkuat penegakan hukum dan kehidupan pers, serta sama-sama saling menghormati kewenangan masing-masing.

“Untuk meningkatkan sikap saling menghormati wewenang masing-masing, Dewan Pers akan meneruskan rencana menghidupkan nota kesepahaman dengan Kejaksaan Agung berkaitan dengan penanganan sengketa pemberitaan (produk jurnalistik) sebagaimana pernah dilakukan di masa lalu. Hal yang sama telah dilakukan oleh Dewan Pers bersama Polri dan Mahkamah Agung,” ujar Ninik.

Komunitas Pers Khawatir

Terlepas dari adanya pelanggaran kode etik jurnalistik yang dilakukan oleh Tian Bahtiar, penetapannya sebagai tersangka karena pemberitaan negatif yang dibuatnya, menimbulkan kekhawatiran komunitas pers di Indonesia.

“Publikasi pemberitaan media yang dinilai digunakan oleh aparat penegak hukum sebagai alat untuk merintangi dan menghalangi proses hukum (obstruction of justice) tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi para jurnalis, perusahaan media serta kelompok masyarakat sipil lainnya,” tulis Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) dalam siaran pers pada 23 April.

Kejaksaan Agung memang menyatakan kasus ini tidak ada kaitannya dengan produk jurnalistik, meski dalam keterangan pers lembaga itu pada 22 April disebutkan peran Tian Bahtiar adalah membuat konten-konten berita negatif yang menyudutkan Kejaksaan Agung.

KKJ menyampaikan bahwa pemberitaan, opini publik, penyampaian pendapat di muka umum bukanlah tindakan perintangan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi. 

“Fokus atau tidaknya konsentrasi penyidik akibat membaca pemberitaan media dan penilaian masyarakat dalam kinerja penanganan perkara jelas tidak berhubungan dengan penyidikan dan penuntutan, juga tidak menghalangi penyidikan dan penuntutan. Kami melihat terdapat kesewenang-wenangan kekuasaan di sini,” tulis KKJ.

Dalam keterangan terpisah, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mempertanyakan penetapan tersangka terhadap insan pers jika dasar utamanya adalah aktivitas pemberitaan atau konten jurnalistik, khususnya yang dikategorikan sebagai “berita negatif” yang merintangi penyidikan terkait penanganan perkara oleh Kejaksaan. 

“Menyampaikan informasi yang bersifat kritis merupakan bagian dari kerja pers dan fungsi kontrol sosial yang dijamin oleh undang-undang,” tulis IJTI dalam keterangan pers pada 22 April.

IJTI menegaskan jika yang menjadi dasar penetapan tersangka adalah produk pemberitaan, maka Kejaksaan Agung seharusnya terlebih dahulu berkoordinasi dengan Dewan Pers. 

Sebab, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, penilaian atas suatu karya jurnalistik, termasuk potensi pelanggarannya, merupakan kewenangan Dewan Pers.

“IJTI mengkhawatirkan bahwa langkah ini dapat menjadi preseden berbahaya yang bisa disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menjerat jurnalis atau media yang bersikap kritis terhadap kekuasaan. Ini akan menciptakan iklim ketakutan dan menghambat kemerdekaan pers,” tulis IJTI.

IJTI  mengingatkan, sesuai UU Pers, setiap persoalan atau sengketa yang berkaitan dengan pemberitaan wajib lebih dulu diselesaikan melalui mekanisme Dewan Pers, bukan langsung menggunakan proses pidana. 

“Pendekatan represif terhadap kerja jurnalistik berpotensi mengancam kemerdekaan pers dan mencederai demokrasi,” tulis IJTI.

KKJ menyampaikan UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers memiliki mekanisme penyelesaian sengketa Pers yang harus dilakukan melalui Dewan Pers. Ketentuan ini bahkan juga tertuang dalam Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Kejaksaan Agung yang diteken pada 2019.

Nota kesepahaman tersebut memandatkan institusi Kejaksaan untuk terlebih dahulu berkoordinasi dan melakukan konsultasi perihal substansi pemberitaan yang digunakan oleh Kejaksaan Agung sebagai alat bukti utama dalam indikasi tindak pidana obstruction of justice.

Dewan Pers nantinya akan mengeluarkan penilaian terhadap muatan keseluruhan konten artikel pemberitaan tersebut, dan dapat memberikan petunjuk kepada Aparat Penegak Hukum perihal indikasi pelanggaran etik atau pelanggaran pidana dalam proses dan muatan penyusunan berita yang disita sebagai alat bukti. 

“Pengabaian atas mekanisme penilaian etik dalam rezim hukum kemerdekaan pers akan berpotensi mengafirmasi indikasi praktik kriminalisasi terhadap ekosistem kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers. KKJ mendukung penuh praktik pemberantasan korupsi secara holistik, sekaligus mendorong Aparat Penegak Hukum untuk menggunakan instrumen hukum pidana yang relevan dalam mekanisme penyelesaiannya,” tulis KKJ.

KKJ menyatakan, penggunaan sejumlah pasal seperti Pasal 21 UU Tipikor harus hati-hati karena berpotensi digunakan sebagai pasal karet terhadap kritik yang seringkali disampaikan publik pada proses penegakan hukum kasus tindak pidana korupsi. 

Penggunaan Pasal 21 UU Tipikor secara serampangan juga akan mengganggu kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat yang dijamin oleh UUD 1945 dan UU lainnya. 

Alasan Kejaksaan Agung

Dalam siaran pers pada 22 April, Kejaksaan Agung menyampaikan ketiga tersangka melakukan permufakatan jahat untuk mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penanganan perkara tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk.

Hal yang sama juga dilakukan dalam perkara tindak pidana korupsi dalam kegiatan importasi gula, baik dalam penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di persidangan.

Menurut kejaksaan, tersangka Marcela Santoso (MS) dan Junaedi Saibih (JS) membayar Rp478.500.000 kepada tersangka Tian Bahtiar (TB).

“Tersangka MS dan tersangka JS mengorder tersangka TB untuk membuat berita-berita negatif dan konten-konten negatif yang menyudutkan kejaksaan terkait dengan penanganan perkara a quo baik di penyidikan, penuntutan maupun di persidangan,” kata kejaksaan.

“Lalu, tersangka TB mempublikasikannya di media sosial, media online dan JAK TV News sehingga kejaksaan dinilai negatif.”

Selain itu, jelas kejaksaan, tersangka JS membuat narasi-narasi dan opini-opini positif bagi Tim Pengacara Tersangka MS dan Tersangka JS, dengan menuding metodologi perhitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan kejaksaan adalah tidak benar dan menyesatkan, lalu menuangkannya dalam berita di sejumlah media sosial dan media online.

Tersangka MS dan Tersangka JS juga disebut membiayai demonstrasi dalam upaya untuk menggagalkan penyidikan, penuntutan, dan pembuktian perkara di persidangan yang sedang berlangsung dan Tersangka TB kemudian mempublikasikan narasi-narasi demonstrasi tersebut secara negatif dalam berita-berita tentang kejaksaan.

Tersangka MS dan tersangka JS juga menyelenggarakan dan membiayai kegiatan seminar-seminar, podcast dan talkshow di beberapa media online dengan mengarahkan narasi-narasi yang negatif dalam pemberitaan untuk mempengaruhi pembuktian perkara di persidangan, kemudian diliput oleh tersangka TB dan disiarkannya melalui JAK TV dan akun-akun resmi JAK TV.

Tersangka TB juga memproduksi acara TV Show melalui dialog, talkshow, dan diskusi panel di beberapa kampus yang diliput oleh JAK TV.

 Tindakan ketiganya “bermaksud untuk membentuk opini publik dengan berita negatif yang menyudutkan kejaksaan” baik saat penyidikan maupun di persidangan.

Editor: Petrus Dabu

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA