Floresa.co – Kejaksaan Agung menangkap tiga hakim di Pengadilan Negeri Surabaya dalam sebuah Operasi Tangkap Tangan [OTT] pada 23 Oktober terkait suap dalam putusan bebas kasus penganiayaan oleh anak eks anggota DPR RI asal NTT.
Selain tiga hakim tersebut, yakni Heru Hanindyo, Erintuah Damanik, dan Mangapul, Kejaksaan juga menangkap Lisa Rahmat, pengacara Gregorius Ronald Tannur, anak mantan anggota DPR RI dari NTT, Edward Tannur.
Ronald sebelumnya divonis bebas dalam kasus penganiayaan dan pembunuhan kekasihnya Dini Sera Afriyanti pada Oktober tahun lalu.
Dalam konferensi pers di Kantor Kejaksaan Agung pada 23 Oktober malam, Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar menyatakan pihaknya menyita uang suap dengan total lebih dari Rp20 miliar.
Rinciannya adalah Rp1,19 miliar, 451,7 dolar AS, 717,043 dolar Singapura dan sejumlah catatan transaksi. Uang tersebut diamankan di kediaman Lisa Rahmat di Rungkut, Surabaya.
Selain itu, Kejaksaan juga menyita uang Rp97,5 juta, 32.000 dolar Singapura, 35.992 Ringgit Malaysia dan barang bukti elektronik di apartemen Hakim Erintuah di Surabaya, serta uang sejumlah Rp21,4 juta, 2.000 dolar AS dan 32.000 dolar Singapura di tempat tinggal Hakim Mangapul.
Di rumah Erintuah lainnya di Perumahan BSB Mijen, Semarang, Kejaksaan menyita uang tunai 6.000 dolar AS, 300 dolar Singapura dan sejumlah barang bukti elektronik.
Sementara itu Kejaksaan juga menyita uang sejumlah Rp104.000.000, 2.200 dolar AS, 9.100 dolar Singapura, 100.000 Yen serta sejumlah barang bukti elektronik di rumah Hakim Heru di Surabaya.
“Bahwa uang itu berasal dari pengacara Tannur. Itu dibuktikan dengan bagaimana dia transaksi tukar uang asing, bagaimana catatan yang ada, bagaimana barang bukti elektronik yang ada di sana,” kata Abdul.
MA: Ronald Dihukum, Hakim Diberhentikan
Merespons penangkapan tersebut, Mahkamah Agung [MA] langsung memutuskan untuk memberhentikan sementara tiga hakim itu.
“Setelah mendapatkan kepastian dilakukan penahanan oleh Kejaksaan Agung, maka secara administrasi, hakim tersebut akan diberhentikan sementara dari jabatannya oleh presiden atas usul Mahkamah Agung,” kata juru bicara MA, Hakim Agung Yanto dalam konferensi pers pada 24 Oktober pagi.
Ia juga menyatakan MA “menghormati proses hukum oleh Kejaksaan terhadap ketiganya “dengan tetap menghormati asas praduga tak bersalah.”
Sementara itu, terkait kasus Ronald, Yanto menyatakan MA telah mengabulkan kasasi oleh Kejaksaan Tinggi Surabaya pada 22 Oktober, sehari sebelum penangkapan tiga hakim tersebut.
“Majelis kasasi telah memutus perkara tersebut dengan amar putusan mengabulkan permohonan kasasi,” katanya, sekaligus membatalkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya.
Dengan amar putusan tersebut, kata dia, Ronald dinyatakan “terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan mati” sehingga divonis penjara lima tahun.
Bagaimana Polemik Vonis Kasus Ini?
Kasus ini bermula dari peristiwa kematian Dini Sera Afriyanti setelah terlibat percekcokan dengan Ronald dalam lift dan area parkir lantai dasar Lenmarc Mall, Surabaya pada 4 Oktober 2023 dini hari.
Hal itu berujung pada ditabraknya Dini oleh Ronald.
Hasil visum yang dikeluarkan Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soetomo, Surabaya pada 13 Oktober 2023 itu menunjukkan korban mengalami lecet dan memar karena benda tumpul pada kepala, telinga, dada, perut dan tungkai; memar pada paru-paru dan robek pada hati.
Tim forensik rumah sakit itu yang melakukan autopsi pada 4 Oktober 2023 juga menunjukkan robeknya organ hati yang menyebabkan perdarahan mematikan.
Jaksa kemudian menuntut Ronald 12 tahun penjara, dengan dakwaan sengaja merampas nyawa orang lain, menganiaya yang menyebabkan kematian dan kealpaan yang menyebabkan orang lain meninggal.
Namun, tiga hakim dalam putusannya menyatakan hal yang berbeda.
Namun, dalam putusan yang dibacakan pada 24 Juli, majelis hakim yang dipimpin Erintuah Damanik menyatakan semua unsur dalam dakwaan alternatif tersebut tidak terpenuhi, yang membuat “terdakwa dinyatakan bebas.”
Merujuk pada keterangan Ronald saat sidang, hakim menyebut “terdakwa mendorong dada korban untuk menahannya tak menyerang kembali.”
Kasus ini memicu kecaman luas, di mana pihak keluarga korban mengadukan para hakim ke sejumlah lembaga, termasuk Komisi Yudisial.
Editor: Anno Susabun