ReportaseMendalamSempat Nyaris Kuasai Bisnis Jasa Wisata di TN Komodo, Kini BUMD NTT PT Flobamor Tak Bayar Gaji Karyawan karena Krisis

Sempat Nyaris Kuasai Bisnis Jasa Wisata di TN Komodo, Kini BUMD NTT PT Flobamor Tak Bayar Gaji Karyawan karena Krisis

Perusahaan tersebut pernah memicu kontroversi dalam pengelolaan TN Komodo

Floresa.co – Pemimpin salah satu Badan Usaha Milik Daerah Nusa Tenggara Timur (BUMD NTT) mengaku krisis keuangan yang dialami perusahaannya menyebabkan puluhan karyawan belum menerima gaji selama lima bulan.

Hal tersebut disampaikan Direktur Utama PT Flobamor, Yufridus Irawan Rayon saat mendatangi Kantor Ombudsman Perwakilan NTT pada 12 Juni.

PT Flobamor adalah perusahaan yang bergerak di sektor penyeberangan perintis dan layanan transportasi laut.

Perusahaan tersebut mengoperasikan beberapa Kapal Ferry Roro, termasuk KMP Sirung, KMP Pulau Sabu dan KMP Ile Boleng.

Kapal-kapal itu melayani rute antarpulau seperti Kupang–Ende; Kupang–Rote; Kupang–Lewoleba dan sambungan ke Maluku. 

Sebagian besar dana operasional perusahaan tersebut bersumber dari subsidi Kementerian Perhubungan melalui Balai Pengelola Transportasi Darat.

Kepala Ombudsman NTT, Darius Beda Daton berkata, kedatangan Yufridus bertujuan untuk mengklarifikasi “mengapa belum membayar gaji karyawan.”

Sebelumnya, kata dia, 41 orang karyawan perusahaan itu mengadu kepadanya bahwa “mereka belum menerima hak sejak Februari.” 

Padahal, katanya, para karyawan itu “sudah menanyakan ke manajemen berulang kali.”

“Hak-hak yang belum mereka terima meliputi gaji dan uang makan,” katanya kepada Floresa pada 14 Juni.

Darius berkata, situasi ini menyebabkan mereka mengalami tekanan ekonomi yang berat.

Karena itu para karyawan mendesak agar manajemen segera memberikan kepastian dalam memenuhi hak-hak itu.

Direktur Utama PT Flobamor, Yufridus Irawan Rayon (kemeja putih),saat bertemu dengan Kepala Ombudsman NTT, Darius Beda Daton pada 12 Juni 2025. (Dokumentasi Humas Ombudsman NTT).

Merespons pengaduan itu, Yufridus Irawan Rayon mengklaim sejak ia menjabat sebagai Direktur Utama pada 19 Desember 2024 ada “berbagai kendala dan tantangan yang dialaminya.”  

Ia menyebut akumulasi beban dari tata kelola masa lalu menjadi tantangan besar. 

Tantangan-tantangan tersebut, kata dia, mencakup “piutang lama yang tak kunjung ditagih sejak puluhan tahun lalu dan kredit macet di Bank NTT yang sulit direstrukturisasi.

Selain itu, katanya, nihilnya dividen bagi pemerintah provinsi yang merupakan pemilik saham “menjadi beban berat yang harus dipikul manajemen baru.”

“Hal tersebut telah dilaporkan ke DPRD NTT dan pemerintah provinsi,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Floresa pada 14 Juni.

Yufridus mengaku adanya berbagai tantangan itu membuat manajemen belum bisa memastikan waktu pembayaran gaji para karyawan. 

Ia mengklaim “butuh waktu untuk menata ulang manajemen agar kondisi keuangan perusahaan kembali sehat.” 

Ia berkata, upaya itu dilakukan agar gaji karyawan bisa dibayar dan kapal-kapal yang dioperasikan bisa kembali melayani masyarakat NTT pada rute perintis yang telah ditetapkan.

Merespons pernyataan Yufridus, Darius Beda Daton menegaskan “hak karyawan harus segera dibayar.”

Pembayaran itu, kata dia, harus didasari dengan “melakukan upaya jangka pendek.”

Darius menyebut upaya jangka pendek dapat dilakukan dengan “mencari talangan sementara entah meminjam atau jual aset untuk membayar gaji (karyawan) dari Februari hingga Juni.”

“Kami juga siap membantu berkoordinasi dengan instansi terkait apabila upaya menuju perbaikan manajemen perusahaan mengalami hambatan,” katanya.

KMP Sirung, salah satu kapal milik PT Flobamor. (Dokumentasi Tribunnews.com)

Jejak PT Flobamor

Selain bergerak di bidang transportasi laut, PT Flobamor menjalankan program ekonomi kerakyatan seperti perdagangan sapi, beras dan jagung, pengadaan aspal, soil additive dan pendampingan UMKM melalui aplikasi digital dan off-taker produk lokal.

Perusahaan tersebut juga pernah diberi tugas mengelola jasa wisata di Kawasan TN Komodo. 

PT Flobamor mulai hadir dalam pengelolaan TN Komodo pada 4 Februari 2022, ketika perusahaan tersebut menandatangani perjanjian kerja sama dengan Balai TN Komodo.

Perjanjian termaktub dalam PKS.1/T.17/TU/REN/2/2022 dan PKS 1/FLBPKS/II/2022 tentang Penguatan Fungsi Berupa Penguatan Kelembagaan, Perlindungan Kawasan dan Pengembangan Wisata Alam di Taman Nasional Komodo.

Lima bulan berselang, Gubernur NTT saat itu, Viktor Bungtilu Laiskodat menetapkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 85 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Komodo.

Peraturan tersebut, yang dinyatakan mulai berlaku pada 1 Agustus 2022, memberikan hak “penyelenggaraan konservasi” kepada PT Flobamor di atas lahan seluas 712,12 hektare yang meliputi Pulau Komodo, Pulau Padar dan perairan sekitarnya.

Berdasarkan perjanjian kerja sama dan Pergub tersebut, PT Flobamor lalu menetapkan tarif masuk TN Komodo sebesar Rp3,75 juta per orang serta Rp15 juta untuk sistem keanggotaan per empat orang.

Kebijakan itu akhirnya mendorong gelombang protes publik, terutama para pelaku wisata, warga sipil, serta wisatawan domestik dan asing.

Rangkaian demonstrasi besar-besaran terjadi di Labuan Bajo, termasuk pada 18 Juli dan 29 Juli 2022, serta pada hari pertama pemberlakuan kebijakan tersebut yang jatuh pada 1 Agustus 2022.

Dalam demonstrasi pada 1 Agustus 2022, asosiasi pelaku wisata Labuan Bajo turut melakukan aksi mogok massal, yang direspons dengan tindakan represif oleh aparat.

Enam orang terluka. Puluhan pelaku wisata ditangkap, dengan seorang di antaranya ditetapkan sebagai tersangka. Mereka baru dibebaskan dari tahanan setelah menandatangani pernyataan untuk menghentikan aksi mogok.

Protes tersebut dan desakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membuat Laiskodat mencabut Pergub 85/2022. 

Meski demikian, pengelolaan wisata di TN Komodo oleh PT Flobamor tetap dilanjutkan, termasuk kebijakan kenaikan tarif. 

Pada 22 Mei 2024, PT Flobamor memutuskan mundur dari TN Komodo karena “pendapatan hasil usaha tidak sejalan dengan biaya operasional dan konservasi yang dikeluarkan.”

Selain itu, perusahaan tersebut mundur karena sejak awal kehadirannya ditolak oleh pelaku wisata lokal.

Editor: Herry Kabut

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

spot_img

TERKINI

BANYAK DIBACA