Gunting Kekerasan terhadap Perempuan dengan Cinta

Ketika perempuan korban penindasan membebaskan diri, mereka juga membebaskan penindasnya. Si penindas akan sadar bahwa tindakannya tidaklah benar. Dengan demikian, dia diharapkan berubah, muncul sebagai individu baru yang jauh dari lingkaran penindasan.

Oleh: Dhila Joned

Dalam konteks kehidupan sosial, kampanye tentang pentingnya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan masih terus digalakkan.

Mengapa upaya seperti ini menjadi penting? Karena kendati masing-masing gender memiliki fungsi dan peran masing-masing, kenyataannya kehidupan perempuan masih diliputi berbagai stereotip yang menempatkannya selalu berada di bawah laki-laki.

Budaya patriarki yang masih sangat tertanam kuat dalam masyarakat kita menjadi biang keladi dari ketimpangan ini.

Misalnya, perempuan diidentikkan sebagai pihak yang menanggung beban reproduksi dan seringkali dianggap memiliki peran statis. Di sisi lain, laki-laki sebagai kepala keluarga cenderung memiliki keleluasaan untuk melakukan apapun kepada perempuan.

Anggapan-anggapan seperti ini menjadi faktor yang menyebabkan perempuan rawan menjadi korban berbagai bentuk tindak kekerasaan.

Data yang Memprihatinkan

Berdasarkan lembar fakta Catatan Tahunan Perempuan yang dipublikasi oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan [Komnas Perempuan], tercatat 339.782 kekerasan berbasis gender selama 2023. Dari jumlah tersebut, 336.804 di antaranya adalah kekerasan di ranah personal.

Data tersebut dihimpun dari kasus-kasus yang dilaporkan kepada lembaga-lembaga layanan di seluruh Indonesia.

Sementara dari data pengaduan ke Komnas Perempuan, dari 2.098 kasus pada ranah personal, 713 di antaranya adalah kekerasaan oleh mantan pacar, 622 kasus  kekerasaan terhadap istri, 422 kasus kekerasan dalam pacaran, 140 kasus kekerasan terhadap anak perempuan, 111 kasus kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT dan 90 kasus kekerasan oleh mantan suami.

Mayoritas kasus pada ranah personal adalah kekerasan psikis. Sementara di ranah publik didominasi kekerasan seksual dan kekerasaan fisik.

Selain itu, fenomena yang penting juga disinggung di sini adalah kekerasaan di jagat maya, yang makin menjamur.

Salah satu contohnya adalah ketika kasus pelecehan Miss Universe Indonesia mencuat pada…., komentar-komentar yang muncul di media sosial malah mengarah kepada victim blaming, menyalahkan korban.

Banyak jari yang kejam, mengomentari tanpa berpikir panjang dan mengolok-olok korban dengan kalimat tidak pantas.

Hal ini seolah membenarkan stigma bahwa ketika perempuan speak up atau berani bersuara tentang kekerasaan yang dialami, akan ada dua kemungkinan yang dihadapi; mendapat dukungan atau malah mendapat kecaman.

Kekerasan Dalam Hubungan dan Pentingnya Perlawanan

Dari data di atas, menarik juga untuk mencermati kekerasan dalam ranah personal, yang didominasi oleh konflik dalam hubungan, entah rumah tangga atau pacaran.

Pacaran pada masa kini memang tidaklah selalu manis layaknya cerita Film Televisi atau FTV. Kekerasaan dalam pacaran atau KDP menjadi marak. Bentuknya berupa fisik, psikis dan seksual.

Secara hukum, KDP belum diatur secara khusus. KDP masuk ke dalam delik aduan, yang artinya hanya bisa dituntut apabila ada aduan dari pihak yang dirugikan.

Ini berbeda dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga atau KDRT. Melalui UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pemerintah telah memberi payung hukum yang melindungi perempuan.

Dalam upaya mengakhiri kekerasan, tentu saja produk perundang-undangan tidak akan berdampak signifikan jika perempuan belum memiliki tekad untuk melawan.

Perempuan memang sering berhadapan dengan situasi sulit dan dilematis. Nilai cinta yang dijunjung tinggi terhadap pasangan kerap mempengaruhi keputusan yang akan diambil dalam merespons kekerasaan.

Saya pernah menemukan perempuan yang sedang terjebak dalam sebuah hubungan toxic, yang mengalami banyak intimidasi secara verbal dan psikis dari pasangannya.

“Aku hancur banget, tetapi masih sayang,” demikian katanya.

Pernyataan tersebut menggambarkan dilema dalam membuat keputusan, antara bertahan atau meninggalkan pasangan.

Dilema semacam itu membuat perempuan akhirnya bertahan di dalam situasi penindasan. Seorang penindas biasanya menilai apapun dari sudut pandangnya.

Penting dicatat bahwa ketika pada suatu titik perempuan korban penindasan melakukan perlawanan, tanpa disadari bahwa yang sedang diperjuangkan adalah upaya menumbuhkan cinta kasih.

Ketika perempuan korban penindasan membebaskan diri, mereka juga membebaskan penindasnya.

Si penindas akan sadar bahwa tindakannya tidaklah benar. Dengan demikian, dia diharapkan berubah, muncul sebagai individu baru yang jauh dari lingkaran penindasan.

Cintai Diri Sendiri dan Galakkan Pendidikan Anti Kekerasan

Salah satu aspek yang juga penting dalam upaya melawan kekerasaan adalah menempatkan cinta kepada diri sendiri lebih tinggi, dibandingkan cinta kepada pasangan.

Dengan menanamkan cinta diri sendiri, maka perempuan akan memiliki sikap yang lebih tegas dan menetapkan skala prioritas.

Mengingat setiap manusia tidak pernah mengetahui muara dalam setiap hubungan yang dijalani, dengan mencintai diri sendiri seseorang tidak akan membiarkan dirinya diperlakukan dengan buruk oleh lain.

Cinta kepada diri sendiri akan menjadi fondasi kokoh untuk memotivasi diri agar tidak mau disakiti oleh orang lain.

Perempuan juga bisa proaktif menanamkan upaya anti kekerasan lewat peran sebagai ibu. Didikan dari seorang ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anak.

Dalam hal ini, setiap perempuan diharapkan dapat menciptakan sistem pendidikan yang mengajarkan kesetaraan gender.

Perempuan dapat mendorong terciptanya iklim yang humanis dengan mengajarkan pendidikan anti kekerasaan di dalam keluarga.

Misalnya, mengajak anak berdiskusi tentang kekerasaan yang marak terjadi.

Komunikasi yang berdasarkan empati juga perlu dibudayakan di dalam rumah.

Pendidikan anti kekerasaan, baik fisik, psikis maupun seksual harus dipahami anak agar mereka mampu mengambil sikap yang tepat berhadapan dengan fenomena kekerasan.

Disinilah letak peran vital seorang ibu. Ibu tidak hanya bertanggung jawab melahirkan anak, tetapi juga bertanggung jawab untuk mendidik, memberikan contoh yang baik dalam memutus mata rantai kekerasan.

Dhila Joned, berasal dari Banyuwangi, Jawa Timur. Sejak 2019 menjadi guru Mata Pelajaran Sejarah di SMA Negeri 1 Rote Timur. Salah satu dari 50 penulis terbaik dalam ajang aspirasi GTK penulis esai Merdeka Belajar 2023 yang diselenggarakan oleh Balai Guru Penggerak Provinsi NTT.

Baca tulisan lainnya terkait kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan [16HAKTP] 2023 bertajuk “Perempuan Melawan, Galang Solidaritas Hapus Kekerasan,” dengan klik di sini

Artikel Terkini