Oleh: YULITA HETY SUJAYA
“Untuk mencari orang pintar itu sangat mudah, tetapi untuk mencari orang baik sangat sulit,” demikian bunyi salah satu ungkapan klasik.
Ungkapan ini sesungguhnya memiliki makna yang sangat dalam jika kita mencermatinya secara sungguh.
Menurut saya, ungkapan tersebut mau mengafirmasi pentingnya proses pendidikan karakter di tengah mencuatnya arus globalisasi saat ini.
Kita sering menyimak pemberitaan di media belakangan ini yang selalu menampilkan potret buram anak bangsa.
Tidak sedikit dari anak bangsa yang mengais rezeki di kolong jembatan, menjajakan diri di jalan raya dan sebagian lainnya dengan terpaksa menjual tubuh demi mendapatkan uang. Tingkat kekerasan terhadap anak pun kian melambung.
Jika ditelusuri lebih jauh, sebenarnya persoalan ini tidak terlepas dari minim dan makin mengendornya peran keluarga (orang tua) dalam mendidik anak.
Padahal, pedagogi sikap, nilai dan perilaku seharusnya sudah ditanamkan sejak dini di dalam keluarga.
Hal ini penting mengingat proses pendidikan pertama dan utama seorang anak adalah di dalam keluarga, sehingga ketika memasuki lingkungan yang baru (sekolah), mereka tidak akan mengalami alienasi(keterasingan).
Perubahan Paradigma
Kehadiran seorang anak dalam sebuah keluarga merupakan anugerah yang sangat istimewa. Dalam bahasan agama, anak merupakan titipan dari yang kuasa.
Dengan demikian, anak disejajarkan dengan orang tua karena mereka sama-sama menamakan diri sebagai manusia.
Namun, faktanya, kita kerap menyaksikan bagaimana anak dipandang sebagai obyek guna menyalurkan hasrat kekuasaan dan juga hasrat seksual dari orang tua. Tidak sedikit anak yang dipakai oleh orang tuanya sebagai “alat” untuk meningkatkan akumulasi modal.
Anak-anak tidak diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan karena dianggap akan menghabiskan uang dan memakan banyak waktu.
Keinginan sebagian besar anak Indonesia untuk bisa menjadi seperti sahabat-sahabat lain yang merasakan iklim pendidikan terhenti di tangan orang tua.
Ketika ruang gerak anak untuk berkespresi dibungkam dan dipasung sedemikian rupa, banyak dari mereka (anak-anak) mengalami frustrasi dan memilih untuk bunuh diri.
Tragedi lain yang cukup meresahkan adalah ketika anak dijadikan obyek untuk menyalurkan hasrat seksual. Tak ada rasa malu dan bersalah sedikit pun, orang tua mencabuli anak kandungnya sendiri.
Sungguh mengerikan, namun terkadang hal tersebut dilihat sebagai sesuatu yang wajar saja bagi sebagian orang.
Bukankah ini bentuk representasi dari menumpulnya hati nurani serta merosotnya moralitas?
Pendidikan Partisipatif
Fuller dan Jacobs mengidentifikasi empat agen sosial utama yaitu keluarga, kelompok bermain, media massa dan lembaga pendidikan sekolah.
Keluarga melalui orang tua merupakan aktor utama sekaligus yang pertama dalam memberikan dan melakukan sosialisasi serta membentuk kepribadian seorang anak untuk menjadi lebih baik.
Di sini, orang tua melakukan sosialisasi dengan dua cara yaitu sosialisasi partisipatif yang menempatkan anak secara aktif dan sosialisasi represif yang dicirikan dengan pemberian sanksi atau hukuman terhadap anak yang melakukan pelanggaran.
Kelompok bermain merupakan agen sosialisasi yang mengedepankan nilai equaliter atau kesederajatan, di mana seorang anak lebih banyak berinteraksi dengan teman sebayanya.
Selanjutnya adalah media massa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan seorang anak.
Media-media seperti TV ikut berkontribusi terhadap pembentukan kepribadian seorang anak. Dan yang terakhir adalah lingkungan sekolah atau institusi pendidikan yang berkontribusi besar terhadap peningkatan kemampuan akademik dan non akademik dari anak.
Peran keluarga: vital
Di dalam keluarga anak mulai mengenal nilai-nilai keadilan, kebenaran, toleransi, partisipasi dan solidaritas. Untuk mendapat nilai-nilai tersebut, kehadiran dan peran orang tua sangatlah penting.
Bentuk pendidikan partisipatif dalam keluarga dimulai dari proses komunikasi yang intens antara orang tua dan anak. Baik orang tua maupun anak harus bersikap inklusif, rendah hati dan saling mendengarkan.
Proses interaksi bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja. Keberadaan orang tua bersama anak harus dimaknai sebagai suatu kenyamanan dan kebahagiaan yang tidak terhingga.
Anak-anak perlu perlahan-lahan mulai dilibatkan dalam seluruh program dan perencanaan keluarga. Orang tua harus memberi kesempatan kepada anak untuk berbicara, berdiskusi atau pun berdebat dengan memperhatikan kesantunan dan etika.
Dengan demikian anak akan menjadi aktif dan bisa menikmati kehidupannya dengan lebih baik.
Ketika penanaman nilai-nilai luhur sudah sangat kuat di dalam keluarga, maka potensi untuk bertumbuh menjadi seorang anak yang baik dan berarti bagi keluarga dan masyarakat sangatlah besar.
Anak sejak awal juga harus dibekali dengan sikap kritis, sehingga tidak mengamini begitu saja (taken for granted) terhadap setiap hal baru yang menghampirinya.
Menuju Generasi Emas
Pentingnya keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak berkorelasi degan output yang sering disebut sebagai generasi emas.
Anak-anak Indonesia harus bisa menjadi pioner bangsa yang memberikan dan membahagiakan bumi pertiwi.
Tanggung jawab orang tua tidak cukup hanya sampai pada tataran finansial berupa pemberian uang untuk membiayai anaknya. Yang paling penting adalah proses pendampingan kepada anak, memberikan dukungan moral untuk meningkatkan semangat anak.
Partisipasi aktif orang tua harus selalu berkolaborasi dengan partisipasi anak-anak di dalam keluarga. Dengan demikian mereka tidak menamakan diri sebagai penonton (pasif) terhadap setiap kegiatan dan aktivitas dalam keluarga.
Penulis adalah guru di SMA Setia Bhakti Ruteng