Eks Dosen Unika St Paulus Ruteng yang Kajiannya Dipakai PLN untuk Dukung Geotermal Ajukan Protes, Floresa Tolak Permintaan Tarik Berita

Floresa memilih tidak melayani permintaan dosen tersebut karena telah melalui prosedur jurnalistik sesuai Pedoman Pemberitaan Media Siber, termasuk meminta tanggapannya sebelum merilis berita

Floresa.co – Dosen yang melakukan kajian terkait PLTP Ulumbu dan dipakai PT PLN untuk mendukung perluasan proyek geotermal di Poco Leok memprotes laporan Floresa soal polemik kajian itu, mengklaim bahwa ia “tidak pernah mengatasnamakan” Universitas Katolik Indonesia [Unika] St. Paulus Ruteng.

Ia juga menyatakan tidak pernah memberikan rekomendasi apapun terkait proyek itu.

Fany Juliarti Panjaitan, dosen yang dilaporkan tidak lagi mengajar di Unika St Paulus sejak 2022, menghubungi Floresa pada 15 Juni, beberapa jam usai laporan tentang kajian tersebut dirilis.

Berita itu berjudul PT PLN Jadikan Kajian Unika St. Paulus Ruteng Tameng Dukung Perluasan Geotermal Ulumbu, Rektor Klaim ‘Tidak Tahu’ Dosen Periset.

Isinya memuat informasi bahwa PLN menggunakan kajian itu sebagai landasan klaim bahwa aktivitas PLTP Ulumbu tidak berdampak bagi lingkungan di sekitar.

Informasi tersebut muncul dalam brosur yang disebarkan PLN saat sosialisasi perluasan titik pengeboran baru ke sejumlah wilayah di wilayah Poco Leok dan Desa Wewo.  Sementara Poco Leok berada sekitar tiga kilometer di sebelah timur, Wewo terletak di lokasi PLTP Ulumbu.

Sosialisasi Persiapan Pengadaan Tanah Pembangunan PLTP Ulumbu Unit 5-6 itu digelar di Aula Paroki St. Arnoldus Janssen Ponggeok, Kecamatan Satar Mese pada 12 Juni dan 14 Juni. Floresa meliput langsung dua sosialisasi tersebut.

Dalam brosur itu, PLN menyatakan Lembaga Afiliasi Peneliti dan Industri di Institut Teknologi Bandung dan Unika St Paulus Ruteng pada 2022 menghasilkan kajian yang salah satunya menyebut “panas bumi Ulumbu tidak menyebabkan seng berkarat.”

Hasil kajian itu menunjukkan kadar keasamaan atau potential of hidrogen [pH] terukur kurang lebih 7, “jauh sekali dari indikasi hujan asam.”

Pada bagian lain brosur itu disebutkan “tidak ada kaitan dampak PLTP Ulumbu terhadap penurunan kesuburan tanah dan produktivitas tanaman.”

Berdasarkan kajian ITB dan Unika St Paulus, demikian keterangan brosur itu, pH pada sampel tanah perkebunan masyarakat berada pada pH optimum [baik untuk pertumbuhan tanaman], tetapi pada tanah sawah di Kawah Ulumbu, pH bersifat sangat asam. 

Disebutkan juga bahwa “kadar sulfur tertinggi terdapat pada tanah sawah dan tanah kebun yang berdekatan dengan kawah.”

Hasil kajian itu diprotes warga saat sosialisasi, mengklaimnya kontradiktif dengan pengalaman mereka. Mereka misalnya mempersoalkan klaim bahwa PLTP Ulumbu tidak berdampak pada cepatnya pengaratan seng.

Padahal, kata mereka, seng rumah mereka cepat berkarat sehingga PLN sempat memberikan bantuan seng.

Dokumen yang disebarkan pemerintah dan PT PLN dalam sosialisasi pada 12 Juni 2024. (Mikael Jonaldi/Floresa)

Laporan Floresa itu juga menyebutkan bahwa Rektor Unika St. Paulus, Romo Maksimus Regus tidak tahu soal dosen periset dan hasil kajiannya yang dipakai PLN.

Ia juga meminta Floresa melacak peneliti tersebut, “biar bisa wawancara langsung orang-orangnya.” 

“Saya juga tidak tahu siapa saja mereka itu,” katanya.

Dosen lainnya, Romo Inosensius Sutam juga mengklaim tidak tahu dosen tersebut, meski mengakui hanya mengingat namanya dengan satu kata: Panjaitan.

Mengacu pada pengakuan Inosensius, dalam laporan itu Floresa melacak via internet tentang dosen tersebut.

Selain menyebut bahwa ia masih tercatat sebagai dosen tetap dan aktif di Program Studi Agronomi Unika St. Paulus Ruteng, merujuk pada Pangkalan Data Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Floresa juga menyinggung sejumlah kajiannya di wilayah Manggarai bersama para periset lainnya.

Floresa telah berusaha menghubungi Fany Juliarti Panjaitan via telepon dan pesan WhatsApp, juga pesan dan telepon via akun Instagramnya. Namun, ia tidak merespons hingga berita itu diterbitkan.

Pernyataan Fany

Dalam pernyataannya kepada Floresa pada 15 Juni malam, Fany mengakui bahwa ia merupakan dosen Unika St. Paulus yang dimaksud dalam laporan itu.

“Selamat malam editor media Floresa yang terhormat. Saya Fany Juliarti Panjaitan, orang yang Anda maksud sebagai dosen Unika St Paulus yang terlibat dalam pengembangan PLTP Ulumbu,” tulisnya dalam pernyataan yang dikirim kepada jurnalis yang menghubunginya sebelum merilis berita.

Setelah “sepintas saya membaca berita tersebut,” Fany menyatakan, “hasil riset kami seolah-olah mendukung dan merekomendasikan pengembangan PLTP Ulumbu.”

Pada poin lain, ia berkata, dari berita tersebut “kami telah melakukan riset dan hasilnya dipublikasikan bersama teman-teman dosen yang lainnya di Unika Santo Paulus Ruteng” dan “kami mengatasnamakan lembaga Unika Santo Paulus Ruteng dalam riset tersebut.”

Ia kemudian menyatakan bahwa saat mengerjakan riset tersebut ia terlibat bersama dosen Unika St Paulus lainnya, Inosensius Jehadu.

Ia mengaku “dihubungi oleh pihak PT LAPI ITB sebagai ahli di bidang pertanian untuk ikut membantu dalam riset mereka di bidang pertanian di sekitar PLTP Ulumbu” dan “tidak ada nama lain seperti yang Anda sebutkan dalam pemberitaan Anda.”

PT LAPI ITB merupakan unit usaha milik Institut Teknologi Bandung, yang “memberikan layanan profesional bagi pemerintah Indonesia, Badan Usaha Milik Daerah, serta perusahaan swasta nasional dan internasional,” merujuk pada informasi di situs resminya.

Dalam pernyataannya, Fany juga menyatakan, “saya dan Pak Inosensius tidak pernah mengatasnamakan lembaga Unika Santo Paulus Ruteng dalam hal riset tersebut.”

Ia menambahkan, “terkait hasil riset, kami tidak pernah memberikan rekomendasi apapun terkait pengembangan PLTP Ulumbu karena kami tahu kapasitas kami hanya tenaga yang membantu mengambil data.”

“Kajian sepenuhnya dilakukan oleh PT LAPI ITB,” katanya.

Pada bagian akhir pernyataannya ia menyatakan, “saya minta dengan hormat agar berita tersebut ditarik karena tidak sesuai dengan fakta di lapangan seperti yang kami sampaikan ini. Demikian untuk menjadi perhatian dan semoga media Floresa dapat segera memperhatikan hal ini.”

Merespons pernyataan tersebut, jurnalis Floresa memintanya mengecek kembali isi laporan tersebut, yang tidak menyebut nama dosen-dosen lain dalam kajian terkait PLTP Ulumbu.

Floresa menjelaskan bahwa nama dosen-dosen lain dalam berita tersebut ditulis dalam konteks berbagai riset lainnya yang dikerjakan Fany, bagian dari pekerjaannya sebagai dosen dan peneliti Unika St. Paulus.

Ia merespons, “kita paham kerja wartawan dan media,” namun, “pahami konteks topik Anda dan fokus. Tidak perlu mencari sensasi.”

Fany kemudian mengirimkan sampul depan hasil riset dengan PT LAPI ITB, disertai keterangan “saya harap Anda mendapatkan dokumen yang sama.”

Sampul hasil riset bersama PT LAPI ITB yang dikirimkan Fany Juliarti Panjaitan kepada Floresa.

Ia juga mempersoalkan laporan Floresa yang menyebut bahwa PLN memakai kajian Unika St. Paulus dalam dokumen resminya saat sosialisasi geotermal, menilai Floresa “menyebarkan berita berdasarkan data yang tidak terverifikasi.” 

Terkait itu, Floresa menjelaskan proses penulisan laporan yang diprotes Fany, bahwa bukan Floresa yang menyebut kajian itu mendukung pengembangan geotermal, tetapi klaim PLN. Floresa juga mengirimkan kepadanya foto brosur yang disebarkan PLN.

Karena dalam brosur PLN tidak menyebut identitas dosen yang melakukan penelitian, menurut jurnalis Floresa, “kami meminta keterangan kepada rektor dan seorang dosen lain.”

Mengacu pada klaim rektor dan dosen yang “tidak tahu” dan “kurang tahu” soal identitas periset – yang hanya menyebut nama Panjaitan – dan meminta Floresa melacak identitasnya, maka hal itu dilakukan.

Jurnalis Floresa menjelaskan menelusuri informasi pada situs Pangkalan Data Pendidikan Tinggi Kemdikbud dan Google Cendekia, mesin pencari di internet yang mengindeks teks lengkap atau metadata dari literatur ilmiah dalam berbagai format penerbitan dan disiplin ilmu.

Selain menemukan nama Fany Juliarti Panjaitan tetap tercatat sebagai dosen pada Program Studi Agronomi di Unika St. Paulus Ruteng, Floresa juga memberitahunya soal turut menemukan informasi berbagai riset lainnya di wilayah Manggarai, yang ia lakukan bersama beberapa dosen dari program studi yang sama.

“Kami juga menghubungi si dosen, yang adalah Anda sendiri. Semua proses itu kami lalui dan kami tulis.”

Tanggapan Floresa

Ryan Dagur, editor yang menyunting berita yang jadi polemik tersebut berkata, “kami mengapresiasi upaya dosen tersebut menghubungi Floresa untuk menyampaikan tanggapan.”

Namun, katanya, “tanggapan tersebut sebetulnya lebih pas disampaikan sebelum Floresa merilis berita itu.”

“Kami telah memberi kesempatan kepadanya dengan beberapa cara untuk bisa memberi tanggapan. Sayangnya, dosen tersebut tidak merespons,” tambahnya.

Ia menjelaskan, dalam pengerjaan laporan jurnalistik, Floresa berpatokan pada Pedoman Pemberitaan Media Siber dari Dewan Pers.

Dalam pokok terkait verifikasi dan keberimbangan berita, kata dia, diatur ketentuan tentang “setiap berita harus melalui verifikasi” dan “berita yang dapat merugikan pihak lain memerlukan verifikasi pada berita yang sama untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan.”

“Dalam laporan tersebut, Floresa telah melakukan sejumlah langkah itu, baik dengan menghubungi kampus yang namanya dibawa-bawa PLN, maupun dosen periset tersebut.”

Dalam Pedoman Media Siber juga diatur ketentuan soal kondisi ketika “subyek berita yang harus dikonfirmasi tidak diketahui keberadaannya dan atau tidak dapat diwawancarai.”

Dalam konteks seperti ini, kata dia, media tetap bisa merilis laporannya, ketika itu “benar-benar mengandung kepentingan publik yang bersifat mendesak” dan “sumber berita yang pertama adalah sumber yang jelas disebutkan identitasnya, kredibel dan kompeten.”

“Dalam kasus ini, kami menilai ketentuan-ketentuan tersebut sudah dipatuhi. Selain meminta tanggapan kampus, di mana Floresa mendapat narasumber yang otoritatif, yaitu rektor dan dosen, jurnalis juga telah menghubungi dosen periset,” tambahnya.

Ia berkata, “wawancara ke kampus bagian dari upaya mencari informasi mendalam tentang siapa dosen dimaksud dan seperti apa hasil risetnya, untuk mengecek apakah yang diklaim PLN dalam brosur itu benar atau tidak.”

“Sayangnya kami mendapat informasi yang terbatas, termasuk soal dokumen hasil riset itu yang ternyata tidak ada di kampus, kendati dalam brosur PLN, nama kampus disebut-sebut,” katanya.

“Andai saja dokumen riset itu bisa didapatkan, maka Floresa juga akan mengkajinya untuk mengecek apakah yang diklaim PLN benar. Ini prosedur standar dalam jurnalistik,” katanya.

Ia juga berkata jurnalis Floresa menghubungi Fany setelah mendapat informasi dari pihak kampus tentang identitas dosen yang dimaksud. 

“Kami memiliki bukti-bukti riwayat telepon dan pesan yang kami kirimkan kepada Fany sebelum merilis laporan itu,” katanya.

Poin lain dari pernyataan dosen itu adalah klaimnya yang keliru bahwa Floresa menyatakan seolah-olah kajiannya mendukung geotermal. 

“Dalam berita tersebut, mulai dari judul hingga isinya, Floresa menyatakan bahwa PT PLN yang menggunakan kajian tersebut untuk mendukung geotermal. Hal itu ada dalam brosur yang mereka sebarkan saat sosialisasi,” katanya.

Karena itu, kata dia, Floresa memutuskan tidak melayani permintaan Fany menarik berita tersebut.

Merujuk pada Poin 5 [a] Pedoman Pemberitaan Media Siber, katanya, “berita yang sudah dipublikasikan tidak dapat dicabut karena alasan penyensoran dari pihak luar redaksi, kecuali terkait masalah SARA, kesusilaan, masa depan anak, pengalaman traumatik korban atau berdasarkan pertimbangan khusus lain yang ditetapkan Dewan Pers.”

“Dalam kasus ini kami meyakini berita yang telah dirilis tidak memenuhi kategori-kategori alasan tersebut untuk dicabut, sebagaimana permintaan dosen tersebut,” kata Ryan.

Sebaliknya, kata dia, berita itu telah melayani kepentingan publik, terutama warga Poco Leok dan Desa Wewo di lingkar PLTP Ulumbu untuk bisa mendapat informasi lebih soal kajian yang disebut dibuat Unika itu. 

“Mencari tahu, meriset dan menyajikan informasi yang memadai adalah peran yang memang sudah seharusnya diemban jurnalisme. Kami berdiri mempertahankan itu,” katanya.

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA