Aksi Pengadangan oleh Masyarakat Adat Batalkan Upaya Korporasi Keuskupan Maumere Kerahkan Umat untuk Beraktivitas di Lahan Konflik Nangahale

Warga dan perusahaan lalu berdialog di lokasi, bersama Kapolres dan wakil Pemda Sikka

Floresa.co – Masyarakat adat Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut-Tana Ai di Kabupaten Sikka melakukan aksi pengadangan di lahan konflik Nangahale, membuat rencana korporasi Keuskupan Maumere itu melakukan aktivitas yang melibatkan umat paroki pada 18 Maret batal.

Pantauan Floresa, konsolidasi warga Nangahale, bagian dari Kecamatan Waigete dan Kecamatan Talibura, untuk pengadangan itu dilakukan sejak Minggu, 16 Maret, menyusul pengumuman di gereja-gereja pada hari itu, di mana PT Krisrama mengajak pelibatan umat Katolik melakukan pemagaran dan penanaman bibit kelapa.

Mereka membangun pagar dari kayu gamal dan bambu hingga 17 Maret untuk melindungi wilayah yang mereka yakini sebagai tanah warisan leluhur. 

Mereka juga melakukan penjagaan di tiga titik, masing-masing Pedan di sisi timur; Tua Bao di sisi selatan dan Wairhek di barat.

Pada 18 Maret, sejak pukul 05.00 wita, warga mulai bergerak. Para ibu mulai mengurus dapur umum, menyiapkan kopi, teh dan makanan di masing-masing titik penjagaan.

“Saya jaga di sini mulai dari jam enam pagi,” kata Avelina Dua Gete, perempuan dari komunitas adat Goban Runut kepada Floresa di Wairhek.

Sementara itu anak-anak sekolah, mulai dari SD, SMP juga SMA, turut terlibat dalam aksi. Mereka berdiri bersama orang tua mereka untuk menjaga lahan itu. 

Anak-anak di Nangahale juga ikut dalam aksi pengadangan pada 18 Maret 2025. (Dokumentasi Floresa)

“Sebelumnya, tanaman kami dirusak, rumah-rumah warga juga dirusak,” kata Avelina merujuk pada beberapa aksi PT Krisrama sebelumnya, termasuk pada 22 Januari. 

Ia menambahkan, “delapan saudara-saudara kami sekarang dipenjara” dan sekarang PT Krisrama “kembali mengusik, sementara masalah lainnya belum selesai.” Pernyataannya merujuk pada vonis penjara pada 17 Maret terhadap delapan warga yang merusak plang perusahaan itu.

Sekitar pukul 08.30 wita, rombongan polisi dari Polres Sikka tiba di Nangahale, disambut ratusan warga yang telah berbaris di sepanjang jalan, menanti rombongan PT Krisrama dan umat Keuskupan Maumere lainnya yang akan beraksi.

Warga sempat mengadang rombongan polisi itu sebelum mereka menjelaskan maksud kedatangannya untuk memenuhi surat permohonan perlindungan yang diajukan warga sehari sebelumnya, juga oleh PT Krisrama.

“Saya datang karena ada surat dari PT Krisrama dan dari  Kepala Suku Soge Natarmage,” katanya.

Sekitar pukul 09.50, rombongan Satpol PP juga tiba di lokasi, disusul rombongan kedua kepolisian, termasuk Kapolres Sikka, AKBP Mohammad Mukhson yang tiba sekitar pukul 10.15.

Di Wairhek, Mukhson meminta warga tidak menghambat akses jalan agar tidak mengganggu ketertiban umum dan pengguna jalan yang lain.

Dialog Terbuka di Pedan 

Mukhson kemudian menggelar dialog bersama warga di Pedan.

Ia berkata, posisi kepolisian dalam kasus ini adalah netral, sembari mengimbau warga menjaga situasi tetap kondusif, supaya diskusi dan dialog dapat berjalan lancar.

Hadir dalam dialog tersebut perwakilan Pemerintah Kabupaten Sikka, yakni Camat Waigete Antonius Jabo Liwu dan Camat Talibura Laserus Gunter.

Suasana saat dialog pada 18 Maret 2025. (Dokumentasi Floresa)

Sementara Romo Robertus Yan Faroka, direktur pelaksana PT Krisrama hadir mewakili perusahaan.

“Kami di sini bicara keteraturan sosial. Bicara soal yang punya hak,” kata Mukhson.

Menurutnya, pemerintah melalui Kementerian Kementerian Agraria dan Tata Ruang-Badan Pertanahan Nasional [ATR/BPN] sudah mengeluarkan keputusan yang memberi izin Hak Guna Usaha [HGU] kepada PT Krisrama pada 2023.

Merespons hal itu, Ignasius Nasi, Kepala Suku Soge Natarmage berkata, pihaknya memiliki landasan sejarah untuk menempati lahan itu.

“Saya keturunan Sugi-Sao, Siam Sina Malaka. Punya Nuba. Ada empat,” katanya.

Dalam bahasa lokal Tana Ai, Nuba merujuk pada tempat atau lokasi yang dilindungi untuk ritual adat tertentu.

“Setiap tahun saya melaksanakan ritus adat, mulai nenek moyang sampai saya saat ini,” katanya.

Ignasius menyampaikan keberatan atas rencana pemagaran dan penanaman bibit kelapa yang dianggapnya diambil secara sepihak oleh PT Krisrama.

Ia juga meminta dialog yang terbuka dengan perusahaan, pemerintah dan Keuskupan Maumere sebelum pengambilan keputusan terkait lahan itu.

“Saya katakan, kenapa sebelum kita duduk bersama, [perusahaan] sudah lakukan itu. Dari dulu saya minta kita dialog, tetapi keputusan selalu diambil sepihak, menindas umat di sini,” katanya.

Sementara itu, Yan Faroka menjelaskan, ia mengemban dua tugas sekaligus,  yakni sebagai Pastor Rekan Paroki Talibura-yang wilayahnya mencakup Stasi Nangahale-dan Direktur Pelaksana PT Krisrama. 

Posisi di perusahaan itu, katanya, adalah penugasan dengan surat keputusan yang dikeluarkan oleh negara.

Ia berkata, terkait aspirasi warga yang mempersoalkan HGU PT Krisrama  “kita bersama-sama bertemu negara untuk memperjelas apa yang menjadi bagian kita.” 

Ia memberi catatan bahwa negara-lah yang mengeluarkan surat keputusan tersebut.

“Kalau ada masalah dengan sertifikat [HGU] itu menurut kalian, jangan cari saya,” katanya.

Antonius Jabo Liwu, Camat Waigete menyatakan, persoalan lahan antara PT Krisrama dan masyarakat adat tersebut sedang dalam proses pendataan untuk kemudian dilakukan permohonan redistribusi lahan kepada Kementerian ATR/BPN.

“Sudah ada penerbitan 10 sertifikat,  7 untuk wilayah Talibura, tiganya untuk wilayah Waigete,” katanya.

“Saya minta agar kita semua mengikuti proses ini,” tambahnya.

Kapolres Mukhson menambahkan, Bupati dan Wakil Bupati Sikka saat ini tengah mengurus redistribusi lahan tersebut di Kementerian ATR/BPN.

“Pak Wakil sekarang ada di Jakarta. Maka, saya mengajak untuk sama-sama menjaga keamanan,” katanya.

Sekitar pukul 12.00 wita, polisi mulai mengamankan peralatan yang dibawa warga saat berjaga di lokasi, termasuk busur dan panah.

Mukhson juga meminta warga untuk kembali ke rumah masing-masing, sembari berjanji bahwa tidak akan ada aksi pemagaran karena PT Krisrama telah membatalkan rencananya.

Merespons Mukhson, Antonius Yohanis ‘John’ Bala, pengacara warga yang juga hadir dalam dialog meminta kepolisian memproses laporan yang mereka ajukan terkait perusakan rumah serta tanaman yang dilakukan oleh pihak PT Krisrama.

Perusakan itu, kata dia, terjadi pada 18 Desember 2023, 29 Juli 2024 dan 22 Januari 2025.

Dua warga duduk menatap rumah mereka yang dirobohkan oleh PT Krisrama, perusahaan milik Keuskupan Maumere di Sikka pada 22 Januari 2025. (Dokumentasi Floresa)

Semua kasus itu, kata John, telah dilapor ke Polres Sikka, namun tidak ditindaklanjuti.

Mukhson berkata pihaknya akan memfasilitasi pertemuan bersama pengacara warga di Mapolres Sikka untuk membahas tindak lanjut laporan itu.

Sementara Paulus Papo Belang, salah satu relawan PT Krisrama menyatakan pembatalan aksi penguasaan lahan itu karena perusahaan mendapatkan informasi akan ada penolakan warga.

“Kami tidak dalam hubungan dengan konflik apapun,” klaimnya.

Ia berkata, PT Krisrama hanya berusaha “melestarikan lingkungan,”  dengan rencana kegiatan penanaman kelapa yang melibatkan umat paroki.

Semula PT Krisrama berencana mengerahkan umat yang disampaikan dalam pengumuman di gereja-gereja pada Misa Hari Minggu, 16 Maret.

Rencana itu disebut berdasarkan kesepakatan rekoleksi para imam pada 12 Maret “tentang perlunya peran serta seluruh umat dalam proses percepatan peremajaan dan penanaman kelapa unggul pada lahan HGU Nangahale dan pengamanan aset-aset yang ada.”

“Maka, dengan ini diumumkan bahwa masing-masing paroki dapat mengutus minimal 30 orang,” demikian isi pengumuman itu, yang salah satunya dibacakan di Gereja Paroki Reinha Rosari, Kewapante, di mana Floresa hadir.

Selain para imam diosesan, beberapa imam dari kongregasi juga rencanaya dilibatkan sebagai koordinator kegiatan, yaitu dari Serikat Sabda Allah atau SVD dan Pasionis atau CP.

Hal itu membuat warga adat mengajukan surat permohonan perlindungan ke Polres Sikka pada 16 Maret malam.

Konflik Berkepanjangan

Konflik antara masyarakat adat dengan PT Krisrama terkait lahan 868.730 hektare yang menurut mereka diambil secara paksa pada zaman penjajahan Belanda. 

Setelah kemerdekaan, lahan tersebut beralih ke Keuskupan Agung Ende melalui PT. Perkebunan Kelapa Diag untuk masa kontrak selama 25 tahun, hingga 2013.

Keuskupan Maumere mulai menguasainya setelah keuskupan itu didirikan pada 2005, yang lalu membentuk PT Krisrama.

Setelah izin pengelolaan perusahaan keuskupan berakhir, masyarakat adat  berupaya untuk mengklaimnya kembali. Namun, pada 2023, PT Krisrama memperoleh perpanjangan izin HGU atas tanah itu.

Dari total luas lahan 868,703 hektare, 325 hektare yang diberi hak oleh negara untuk dikelola PT Krisrama. Sisanya, 543 hektare dikembalikan kepada negara, yang sebagiannya untuk warga adat.

Namun, sengketa terus berlanjut karena menurut John Bala, kuasa hukum warga, wilayah HGU PT Krisrama mencakup lahan yang sudah ditempati warga adat sejak 2014, bagian dari pelaksanaan reforma agraria.

Sementara lahan seluas 543 hektare, katanya, “adalah bagian yang tidak produktif, yang dibiarkan, yang sebelumnya disebut sebagai tanah terlantar ketika dikelola oleh PT Diag.” 

“Mereka mengusulkan lahan yang tidak produktif itu sebagai bagian untuk warga, padahal tanah itu tidak ditempati warga saat ini,” katanya.

Ia juga berkata, lahan 543 hektare di luar HGU PT Krisrama juga “tidak secara gelondongan” diberikan kepada warga, tetapi sebagian diberikan kepada Pemerintah Kabupaten Sikka.

Perseteruan antara warga terus terjadi dalam beberapa tahun terakhir.

Pada 17 Maret, Pengadilan Negeri Maumere memvonis 10 bulan penjara terhadap delapan warga yang merusak plang PT Krisrama pada Juli tahun lalu. Dua dari kedelapan warga itu merupakan perempuan.

Warga Nangahale keluar dari ruang sidang di Pengadilan Negeri Maumere pada 17 Maret 2025. (Dokumentasi Floresa)

Putusan itu memicu kecaman dari sejumlah pihak, karena perusakan plang itu dianggap sebagai respons warga terhadap aksi perusahaan pada hari yang sama terhadap tanaman mereka.

Amnesty International Indonesia menyebut vonis itu mencederai rasa keadilan.

“Menghukum penjara masyarakat adat karena mempertahankan tanah mereka dari penggusuran paksa oleh pihak perusahaan adalah jelas suatu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang sedang dipertontonkan secara gamblang oleh negara di Sikka,” kata Usman Hamid, direktur eksekutif lembaga advokasi hak asasi manusia itu.

Editor: Anno Susabun

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

spot_img

BACA JUGA

BANYAK DIBACA