Floresa.co – Belum genap setahun Mahkamah Agung membebaskan seorang warga adat yang dipenjara terkait tudingan merambah kawasan hutan lindung, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam [BBKSDA] Wilayah II Ruteng kembali menangkap warga adat lainnya pada 20 Maret saat tengah beraktivitas di lahan yang mereka klaim bagian dari ulayat.
Yohanes Emas, 56 tahun, warga adat Gendang Ngkiong, Desa Ngkiong Dora, Kecamatan Lambaleda Timur ditangkap saat istirahat siang bersama beberapa warga lainnya di sela kegiatan pembangunan rumahnya di Lok Pahar, yang mereka sebut bagian dari lahan ulayat Lando-Lawi.
Lasarus Rabun, 53 tahun, adik kandung Yohanes berkata, sekitar delapan petugas BBKSDA yang menggunakan tiga unit mobil mendatangi pondok tempat istirahat mereka pada pukul 12.30 wita.
“Mereka tanyakan aktivitas kami dan dari mana kayu untuk pembangunan rumah Yohanes diambil,” katanya kepada Floresa.
Lasarus mengatakan para petugas tidak terima ketika Yohanes menjawab kayu-kayu itu diambil dari lahan ulayat Lando-Lawi, lalu “mengangkat semuanya dan dibawa ke mobil.”
Pada 21 Maret pukul 10.00 wita, Lasarus dan sembilan warga lainnya dari Ngkiong, Lando dan Cumbi mendatangi Kantor BBKSDA Wilayah II di Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai.
Lando dan Cumbi adalah bagian dari Komunitas Adat Lawi yang terletak di Desa Compang Lawi, Kecamatan Congkar.
Mereka menemui Daniwari Widiyanto, kepala kantor itu, bersama beberapa petugas lainnya, termasuk yang menangkap Yohanes.
“Kami datang untuk meminta pembebasan saudara Yohanes Emas karena dia beraktivitas di lahan ulayat, bukan di kawasan lindung,” kata Wihelmus Yakum, 63 tahun, Tua Gendang Lando.
Hal senada disampaikan Yosep Mardi, 52 tahun, warga Gendang Cumbi-Lawi, yang meminta BBKSDA mengembalikan Yohanes karena “dia adalah warga adat Ngkiong yang memiliki tanah ulayat sesuai prosedur adat.”
Yosep berkata, meski bukan berasal dari Gendang Lando-Lawi, Yohanes sudah secara resmi melakukan ‘kapu manuk lele bonggo’, prosedur adat untuk meminta lahan ulayat kepada pemilik gendang untuk digarap.
“Yohanes Emas harus segera kembali, dan kerugiannya yaitu kayu papan dan balok yang disita harus diantar pulang, karena dia sedang bangun rumah,” katanya, menegaskan bahwa Yohanes memotong kayu di lahan ulayat Lok Pahar, bukan di kawasan konservasi.
Yosep yang juga Ketua Forum Komunitas Adat Lawi menyesalkan langkah BBKSDA yang menangkap Yohanes secara sewenang-wenang tanpa sepengetahuan tua adat dan pengurus komunitas.
BBKSDA: Kami Melakukan Pengamanan
Merespons pernyataan warga, Daniwari Widiyanto menjelaskan pihaknya hanya melaksanakan tugas dan fungsi terkait pengamanan kawasan hutan lindung di Taman Wisata Alam [TWA] Ruteng.
“Ada namanya patroli rutin di semua kawasan konservasi. Kami patroli di wilayah kerja kami yang dimandatkan,” kata Daniwari, sembari mengklaim memiliki dokumen peta tata batas hutan lindung di wilayah itu.
“Kemarin ada aktivitas yang menurut kami non-prosedural di kawasan. Ada pondok, kayu olahan, papan, yang diambil dari kawasan TWA Ruteng. Kami salah kalau tidak melakukan apapun ketika melihat itu,” lanjutnya.
Merespons warga yang menyebut kawasan tempat Yohanes beraktivitas sebagai lahan ulayat, Daniwari menganjurkan pembuktian hukum sesuai dengan titik koordinat dan tata batas hutan yang sudah diatur pemerintah.
Afridus Alang, Koordinator Polhut Bidang KSDA Wilayah II yang juga ikut berbicara berkata, pihaknya tidak membantah klaim warga soal kawasan itu sebagai lahan ulayat, tetapi “di persidangan akan dibuktikan tanah [milik] dia atau pemerintah.”
Petugas BBKSDA, kata dia, langsung menyerahkan Yohanes beserta barang bukti papan dan balok kayu ke Polres Manggarai Timur di Borong pada 20 Maret.
“Daripada saling membantah di sini, lebih baik kita tunggu di persidangan,” ungkapnya.
Daniwari berkata, pihaknya akan melanjutkan proses kasus tersebut di Polres Manggarai Timur, “sesuai [hukum] yang berlaku di Indonesia.”
Kapolres Manggarai Timur, AKBP Suryanto yang dihubungi Floresa pada 21 Maret menyatakan belum tahu soal laporan itu karena sedang dalam perjalanan dari Ende ke Borong.
“Tapi kalau memang ada laporan seperti itu, kami pasti akan proses lanjut,” ungkapnya.
Sementara terkait langkah hukum, Kepala Unit Pidana Umum Polres Ipda Manasye berkata “kami sementara lakukan penyelidikan.”
Sengketa Berdekade
Ketua Pelaksana Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN] Nusa Bunga, Maximilianus Herson Loi, yang mendampingi warga bertemu BBKSDA berkata, petugas seharusnya tidak menangkap Yohanes dengan mempertimbangkan status wilayah tersebut yang kini tengah diidentifikasi sebagai wilayah hukum adat.
“Selama proses identifikasi berjalan, mestinya penangkapan tidak boleh terjadi,” katanya.
Identifikasi yang dimaksud Herson adalah tahap pertama sebelum verifikasi dan validasi kawasan hukum adat yang kini sedang berjalan di Wilayah adat Gendang Ngkiong dan Lawi.
Proses itu, kata dia, dilakukan oleh Panitia Masyarakat Adat yang dibentuk melalui Surat Keputusan Bupati Manggarai Timur Nomor HK/57/Tahun 2021 tentang Pembentukan Panitia Masyarakat Hukum Adat di Kecamatan Lambaleda Timur.
“BKSDA adalah salah satu unsur dalam panitia masyarakat adat Manggarai Timur, dan tugas panitia, selain identifikasi, verifikasi dan validasi adalah juga menyelesaikan persoalan-persoalan yang menyangkut tata batas ulayat dan hutan itu,” katanya.
“Mestinya dalam proses itu, penangkapan terhadap masyarakat harus dihentikan dulu sampai ada validasi apakah itu betul kawasan hutan atau tanah ulayat,” lanjut Herson yang juga menegaskan “Kabupaten Manggarai Timur sudah punya peraturan daerah yang khusus mengatur terkait eksistensi masyarakat adat.”
Proses identifikasi, verifikasi dan validasi wilayah hukum adat di kawasan itu terkait dengan sengketa berdekade yang melibatkan warga adat dan BBKSDA.
Pada 6 Mei 2024, Mikael Ane, 58 tahun, warga adat Gendang Ngkiong dinyatakan bebas dalam putusan kasasi Mahkamah Agung setelah sebelumnya divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Ruteng karena tudingan membangun rumah di atas tanah yang diklaim sebagai bagian dari kawasan TWA Ruteng.
Mikael yang ditangkap pada 28 Maret 2023 – dua tahun setelah ia mendirikan rumah di lahan itu – divonis penjara satu tahun enam bulan pada 5 September.
Hal itu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Kupang dalam putusan banding pada 22 November 2023.
Sementara pembebasannya oleh MA karena dinyatakan tidak melakukan pelanggaran pidana.
Mikael telah dua kali menjalani proses hukum karena konflik dengan TWA itu.
Pada 2013 ia sempat dipenjara satu tahun karena menebang pohon di dalam kawasan yang diklaim bagian dari TWA Ruteng.
Pada 2004, konflik di wilayah itu sempat menuai pertumpahan darah ketika warga memprotes langkah pemerintah membabat tanaman kopi di wilayah Colol.
Polisi kala itu menembak mati empat petani yang menggelar unjuk rasa di Ruteng. Tujuh orang lainnya luka parah dan cacat permanen hingga kini.
Pada 2013, BBKSDA NTT sempat merumuskan upaya penyelesaian masalah tapal batas ini dengan “Konsep Tiga Pilar” yang melibatkan tiga pihak-Gereja Katolik, Masyarakat Adat dan Pemerintah.
Konsep itu mengedepankan soal musyawarah untuk membahas masalah sengketa tapal batas.
Konsep Tiga Pilar ditandatangani perwakilan masyarakat adat, perwakilan media, perwakilan lembaga swadaya masyarakat, Uskup Ruteng saat itu, Hubertus Leteng, Bupati Manggarai saat itu, Christian Rotok dan Kepala BBKSDA NTT, Wiratno.
Namun, hingga kini belum ada tindak lanjut dari konsep itu.
Herson berkata, kasus yang dialami Mikael seharusnya menjadi dasar pertimbangan BBKSDA maupun polisi dalam penangkapan Yohanes Emas.
“Kalau Mikael dinyatakan tidak melakukan pelanggaran pidana oleh Mahkamah Agung, mestinya sama dengan kasus Yohanes ini, karena dia mengambil kayu dan membangun rumah di lahan ulayat masyarakat adat,” katanya.
Editor: Ryan Dagur