Floresa.co – Pernyataan Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena yang menyebut proyek geotermal di Flores dan Lembata akan ditinjau kembali dianggap sebagai manuver politik guna mengalihkan perhatian akan penolakan rakyat secara bulat.
“Melki tak perlu sibuk membentuk tim khusus untuk uji petik atau survei teknis yang pura-pura netral,” tulis warga di wilayah proyek geotermal NTT melalui pernyataan bersama pada 1 Mei.
Pernyataan bersama tersebut mewakili suara warga Poco Leok, Ulumbu, Wae Sano, Mataloko, Sokoria, Lesugolo (Flores) dan Atadei (Lembata).
Di tujuh lokasi itu pemerintah terus menggalakkan proyek geotermal yang menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN).
Pernyataan bersama menyusul rapat koordinasi pengembangan geotermal se-NTT.
Rapat yang digelar secara hybrid pada 28 April itu dihadiri perangkat pemerintah pusat, Pemprov NTT, PT PLN, akademisi, perwakilan warga dan organisasi masyarakat sipil.
Dalam rapat tersebut Melki mengaku akan membentuk tim investigasi untuk meninjau kembali lokasi-lokasi proyek geotermal di provinsi pimpinannya.
Ia mengklaim langkah tersebut “sebagai wujud keterbukaan terhadap berbagai aspirasi, termasuk dari kelompok penolak.”
Melki, kata warga melalui pernyataan bersama yang diterima Floresa pada 1 Mei, telah mengesampingkan kenyataan akan ketiadaan partisipasi publik secara bermakna.
Alih-alih dilibatkan dalam diskusi partisipatif, “kami justru diusir, dibungkam, diancam, dipukul dan dilaporkan ke polisi.”
Melki menyebut terdapat kelompok pro dan kontra dalam proyek geotermal, klaim yang menurut warga “hanya upaya memecah belah.”
“Tidak ada yang pro dan kontra,” tulis warga melalui pernyataan bersama.
Penolakan terhadap geotermal “sudah bulat, bukan hanya dari sebagian kecil masyarakat.”

Tutup Mata
Executive Vice President Manajemen Panas Bumi PLN, John Y. S. Rembet, ikut dalam rapat koordinasi itu.
Ia mengklaim PLN telah menggelar upacara meminta restu secara adat Manggarai atau tabe gendang.
Upacara itu, masih menurut klaimnya, digelar di 14 gendang di Poco Leok, Manggarai guna “merespons resistansi warga.”
Berbicara melalui Zoom, Tadeus Sukardin, seorang warga adat Poco Leok membantah pernyataan John.
Ia menyebut prosesnya “tak direstui komunitas gendang dan dilakukan sepihak.”
Tadeus turut menyinggung penjelasan John bahwa PLTP Ulumbu tak menimbulkan konflik maupun dampak lingkungan.
Perluasan proyek PLTP Ulumbu di Poco Leok terjadi menyusul penetapan Flores sebagai pulau panas bumi pada 2017.
Melki menyebut penetapannya “harus dimaknai sebagai anugerah dari Tuhan.”
Penetapan itu mendorong eksploitasi di beberapa tempat, termasuk Sokoria di Kabupaten Ende dan Mataloko di Kabupaten Ngada.
“Saya rasa yang bilang begitu belum pernah ke Ulumbu. Atau sengaja menutup mata,” kata Tadeus.

Agustinus Tuju, warga adat lainnya dari Poco Leok, sempat meminta kesempatan berbicara.
Asisten Perekonomian dan Pembangunan Setda Provinsi NTT, Flouri Rita Wuisan selaku moderator tak mengizinkannya, beralasan “sudah diwakili Bapak Tadeus.”
Tiga Kali Didemo
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Eniya Listiani Dewi menyatakan pengembangan panas bumi di sejumlah wilayah NTT merupakan komitmen nasional guna menurunkan emisi karbon.
Proyek geotermal di Flores, katanya dalam rapat koordinasi itu, bakal memangkas emisi karbon sebesar 358 juta ton CO₂ hingga 2030.
Ia mengklaim geotermal sebagai “solusi paling andal” dalam kategori energi baru dan terbarukan lantaran “mampu menyuplai listrik 24 jam tanpa jeda.”
Kemampuan tersebut “berbeda dengan tenaga surya atau angin yang intermittent.”
Intermittent mengacu pada sesuatu yang tak stabil dan tidak terus-menerus.
Menurutnya pengalihan sumber energi ke panas bumi dapat menekan subsidi pemerintah ke Flores yang diklaim mencapai Rp1 triliun per tahun.
Eniya tak memerinci penghitungan tersebut, juga data pembanding terkait biaya sosial dan ekologis di wilayah proyek.
Ia hanya menyebut dana itu bisa dimanfaatkan untuk pembangunan lokal, meski tidak memerinci skema distribusinya.
Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2017 tentang Panas Bumi “telah membuka ruang bagi keterlibatan masyarakat, katanya, “termasuk terkait pengeringan hasil panen atau ketersediaan air panas.”
Menanggapi kritik yang terus mencuat dari organisasi masyarakat sipil, ia mengaku telah “tiga kali didemo.”
Meski begitu, “pengembangan geotermal sebagai PSN perlu dilanjutkan.”

“Inikah yang Disebut Pembangunan?”
Warga di wilayah proyek geotermal NTT menyatakan “tanah yang hendak dibor bukanlah lahan kosong atau tanpa makna.”
Tanah itu ialah “tempat hidup, bertani, berdoa serta melestarikan budaya.”
PT. Sokoria Geothermal Indonesia (SGI) mengklaim proyek geotermal mereka di Sokoria berjalan “hijau” dan tanpa pencemaran.
“Dugaan polusi dan kekeringan yang muncul di sekitar proyek tersebut tidak berdasar,” kata Official Manager PT. SGI, Adi Gunawan pada 28 April.
Warga merespons pernyataannya, mengatakan “yang punya tanah, yang akan kehilangan sumber air dan yang akan terpapar racun adalah kami, bukan pejabat maupun teknokrat.”
Atas nama energi terbarukan, “kami dipaksa menyerahkan segalanya tanpa jaminan perlindungan, ruang bicara dan penghormatan terhadap martabat kami sebagai penjaga tanah secara turun-temurun.”
Dalam rapat koordinasi, Melki sempat meminta semua kelompok “bergerak dengan tenang dan menghindari aksi yang bersifat demo atau provokatif.”
Warga “mengecam keras ajakan gubernur untuk tidak melakukan aksi atau unjuk rasa. Itu penghinaan.”
“Ketika bicara, kami disebut memprovokasi. Ketika menjaga tanah, kami dicurigai. Ketika bertahan, kami dikriminalisasi,” tulis warga.
“Inikah yang disebut pembangunan?,” tulis mereka kemudian.
Bagi warga, geotermal tak mengandung cita-cita tentang energi bersih.
Proyek geotermal yang menyudutkan warga adalah “penjajahan gaya baru atas nama lingkungan.”
Editor: Anastasia Ika