Di Yogyakarta, Mahasiswa Asal Manggarai Raya Gelar Diskusi Tentang Dana Desa

Yogyakarta, Floresa.co – Mahasiswa asal Manggarai Raya yang sedang kuliah di Yogyakarta dan bergabung dalam Kelompok Studi Tentang Desa (KESA) menggelar sebuah diskusi publik bertajuk “Menilik Manggarai dari Dana Hibah Negara,” pada Sabtu lalu (2/5/2015).

Diskusi yang berlangsung di ruang seminar Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta ini menghadirkan narasumber Viky Jalong, Dosen FISIPOL Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Peserta diskusi itu berasal dari berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa.

Diskusi yang diagendakan dimulai pada pukul 09.00 WIB sempat tertunda akibat hujan yang mengguyur kota Yogyakarta sejak pagi hari. Namun, penundaan itu tidak lantas menyurutkan semangat peserta dalam mengikuti kegiatan ini.

Risky Hadur, Ketua KESA mengatakan saat memberi sambutan, kegiatan ini bertujuan  membangun simpati dan empati mahasiswa dan masyarakat umum terkait isu kemandirian desa.

Desa yang merupakan level pemerintahan yang mandiri dewasa ini, kata dia, semakin kehilangan arah akibat berbagai bentuk eksploitasi, politisasi dan marginalisasi yang mengantarkan pemerintahan desa pada tahapan yang belum mandiri.

Kehadiran UU Desa No. 6 tahun 2014 serta Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 Tentang Dana Perimbangan Negara kepada Desa membuat pemerintahan desa menerima dana yang cukup besar.

Ini, kata dia, merupakan momentum yang memberikan daya dobrak baru pada semangat pembangunan desa.

Namun, ia mengingatkan, masih ada persoalan terkait hal ini. “Kesiapan pemerintah desa, secara khusus desa di Manggarai, NTT dalam mengimplementasikan kebijakan ini masih menjadi permasalahan serius yang perlu dikaji lebih jauh”, jelas mahasiswa asal Wae Palo, Ruteng ini.

Kawal Dana Desa

Viky Jalong, dalam pemaparannya mengingatkan publik perlu mengawal, apakah pengimplementasian alokasi dana desa akan berpihak pada kepentingan masyarakat desa atau hanya akan dihabiskan untuk belanja administrasi seperti yang selama ini terjadi di Manggarai Raya.

Ia menjelaskan, penggunaan dana ini memang menuntut sinergitas antara pemerintahan daerah dan pemerintahan desa, hal yang de facto belum terwujud di Manggarai Raya.

Agenda pembangunan yang dicanangkan pemerintahan desa, kata Viky, seringkali tidak sesuai dengan agenda pemerintahan kabupaten.

“Tarik menarik kepentingan pun menjadi tak terelakkan. Desa masih dipandang sebagai local state government yang berada dibawah pemerintahan daerah.”

Padahal, kata dia, konstitusi mengamanatkan pengakuan terhadap asal-usul dan kemandirian desa. Hal ini yang seharusnya dipertegas dalam regulasi daerah ataupun desa.

Viky menambahkan, ada beberapa poin penting yang perlu dikaji terkait dana desa ini.

Pertama, benarkah Dana Desa mampu membenahi ketimpangan pembangunan antara Indonesia Barat dan Timur? Alih-alih memperkuat, postur dana desa terbanyak di periode pertama ini malahan didapat oleh provinsi di pulau Jawa.

Parahnya lagi, keterwakilan anggota DPR RI asal Indonesia Timur di pusat yang sedianya dapat memperjuangkan aspirasi dana desa ini sedikit.

Kedua, apakah dana desa dapat mengatasi tata kelola pemerintahan di tingkat kabupaten? Bagaimana mungkin desa dan kabupaten mengurus uangnya sendiri-sendiri. Bagaimana nasib Musrenbang di tingkatan desa?

Ketiga, apakah dana desa yang akan dikucurkan selama ini akan bersinergi dengan APBD di tingkat kabupaten? Ketakutannya adalah kebijakan yang berbuah program kerja pada APBD pemerintah kabupaten hanya terjadi di tingkat kota kabupaten. Pertanyaannya ialah seberapa efektif dana desa tersebut dapat memberi perubahan positif di desa?

Keempat, seberapa jauh dana desa ini bisa meningkatkan ruang demokrasi di tingkat desa? Pengalaman selama ini ialah masyarakat kecil tidak pernah dilibatkan dalam rapat dengar pendapat setingkat musyawarah desa.

Anggota KESA dan peserta diskusi (Foto: Evan Lahur)
Anggota KESA dan peserta diskusi (Foto: Evan Lahur)

Alfred Tuname, salah satu peserta mengatakan dalam sesi diskusi, kehadiran dana desa ini sebagai bentuk political claim.

“Menjelang Pilpres, isu dana desa ini diklaim oleh beberapa partai politik misalnya Gerindra dan PDIP sebagai bagian dari perjuangan rakyat. Ketika Jokowi dengan PDIP menang, dana desa ini dihadirkan sebagai aksi nyata PDIP menaruh perhatian kepada rakyat sekaligus menggantikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) di masa SBY”.

Sementara itu, peserta lain, Romo Emanuel Haru, Pr menitik beratkan pada hubungan Gereja dan pemerintah.

Berdasarkan pengalaman selama ini, kata dia,  masih ada dikotomi antara Gereja dan Pemerintah dan hal ini berujung pada Gereja jalan sendiri begitu pun pemerintah jalan sendiri. Contoh konkret adalah perhatian pemerintah terhadap sekolah negeri lebih besar ketimbang sekolah swasta.

“Dalam kaitannya dengan dana desa, menurut saya Gereja belum dilibatkan penuh. Disinilah pertanyaan bagi kita semua, bagaimana menghubungkan peran kedua pihak ini agar lebih koordinatif lagi” jelas rohaniwan asal Paroki Ketang, Manggarai ini

Pikiran lain juga disampaikan oleh Ben Senang Galus. “Menurut saya BLT dan ADD saat ini hanya ganti kelamin saja. Dua-duanya sama saja memberi ‘gula’ kepada masayrakat. Hingga saat ini pemerintah belum memberi penjelasan kepada masyarakat mengenai pelaksanaan BLT itu sendiri. tidak ada evaluasi secara periodik mengenai BLT dan ketakutannya ialah nasib BLT terulang kembali pada dana desa ini.”

Agenda KESA

Menurut Kar Beda, Kepala Urusan (Kaur) KESA, hasil diskusi ini akan ditindaklanjuti saat liburan semester nanti.

“Apa yang dibicarakan hari ini akan kami sampaikan kepada pihak-pihak terkait misalnya bupati maupun dinas yang berkecimpung di bidang desa dalam bentuk seminar maupun diskusi publik pada saat liburan semester sekitar bulan Juni atau Juli nanti,” katanya.

Rencananya, jelas mahasiswa semester II STPMD “APMD” Yogyakarta, mereka akan turun ke desa dalam rangka mengadakan kegiatan pelatihan teknis mengenai dana desa. (Laporan Evan Lahur, Kontributor Floresa.co di Yogyakarta/ARL/Floresa)

spot_img
spot_img

Artikel Terkini