Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo: Mengubah atau Memperburuk Keadaan?

Labuan Bajo, Floresa.coKehadiran Badan Otorita Pariwisata (BOP) Labuan Bajo, Manggarai Barat disambut sikap pro dan kontra oleh berbagai elemen.

Program pemerintah pusat itu, tidak begitu saja diterima sebagai solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan, sebagaiamana yang diklaim sebagai tujuan dasar pembentukannya. Sebaliknya, BOP justeru melahirkan persoalan baru. Dengan berbagai bentuk ketimpangan, ketidakadilan yang kini sudah menyata dalam praktek pariwisata di Labuan Bajo, BOP dinilai bakal memperburuk keadaan.

Hal itu menjadi intisari diskusi bertajuk “Menyoal Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo-Flores” yang digear di Rumah Baku Peduli, Labuan Bajo pada Kamis, 23 Maret 2016.

Kegiatan ini dilakukan atas inisiatif Lembaga Gerakan Lokal Sunspirit for Justice and Peace dan menghadirkan berbagai elemen masyarakat sipil dan pemerintah daerah.

Dari pihak pemerintah, hadir kepala Dinas Pariwisata Manggarai Barat (Theo Suardi), kepala Bappeda, Alex Haryono, kepala Balai Taman Nasional Komodo (BTNK), Sudiono, dan pokja percepatan pembangunan pariwisata di Manggarai Barat, Shana Fatina.

Sementara itu, perwakilan dari berbagai masyarakat sipil antara lain World Wide Fund for Nature (WWF), Operator Community Komodo (DOCK Komodo), Himpunan Pramuwisata Indonesia, Asosiation of Indonesian Travel Agency, perwakilan guide, perwakilan dari pelaku wisata, wartawan, dan perwakilan masyarakat setempat.

Berikut beberapa poin dari diskusi tersebut:

Pertama, sekalipun menjanjikan pembangunan infrastruktur dan invetasi yang masif, asal- muasal rencana pembentukan kelembagaan Badan Otorita Pariwisata (BOP) dipertanyakan. BOP bukanlah organisasi yang muncul dari masyarakat atau atas dasar kebutuhan masyarakat, tetapi dibentuk karena inisiatif dan rencana besar pemerintah. Hal itu menimbulkan pernyataan, apakah masyarakat di Manggarai Barat membutuhkan kehadiran Badan Otorita Pariwisata atau tidak? Mengapa BOP seperti harga mati demi pembangunan di Manggarai Barat?

Kedua, pembangunan dan pertumbuhan investasi dianggap sebagai obat mujarab terhadap kemiskinan di NTT pada umumnya dan kabupaten Manggarai Barat pada khususnya. Jumlah penduduk miskin di Manggarai Barat mencapai 20 persen dari 253 ribu total jumlah penduduk atau sekitar 11 ribu jiwa. Angka kemiskinan terbesar dari sektor pertanian.

Diagnosa tersebut dipertanyakan ketika pada saat yang sama provinsi NTT merupakan provinsi terkorupsi di Indonesia. Artinya, kemiskinan bukan semata- mata dianggap karena kurangnya pembangunan, tetapi justru bisa jadi dalam kasus Manggarai Barat karena banyaknya pembangunan dan minimnya perhatian terhadap usaha pemberantasan korupsi di NTT. Apalagi BOP hanya menilik persoalan ekonomi. Padahal kemiskinan di NTT ditandai oleh masalah politik seperti kesenjangan penguasaan sumber daya tanah, laut, pesisir dan pulau- pulau, kesenjangan penghasilan/manfaat dan masalah korupsi, serta kesenjangan akses terhadap kekuasaan.

Ketiga, target 500 ribu pengunjung pada tahun 2019—naik dari sekitar 90 ribu pada tahun 2015 menimbulkan kekhawatiran dalam upaya konservasi. Ikon pariwisata di Labuan Bajo adalah Taman Nasional Komodo (TNK) membutuhkan suatu proteksi terhadap lingkungan baik di darat maupun di laut. Peningkatan jumlah wisatawan menimbulkan kekhawatiran terhadap kelestarian lingkungan terutama pada persoalan sampah.

Meskipun Badan Otorita Pariwisata menjamin keberlangsungan konservasi, tak sedikit pihak yang meragukan kenyataan tersebut. Menurut perwakilan WWF, prinsip kehati-hatian yang dibangun dalam kurun waktu yang lama saja, tidak menjamin keberlangsungan konservasi, apalagi keberadaan suatu lembaga yang hadir dalam waktu singkat dengan target yang besar. Dalam nada yang sama, pihak BTNK mengharapkan bahwa pertumbuhan sektor pariwisata tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip konservasi.

Lebih dari itu, merujuk pada kasus di Raja Empat tak sedikit yang meragukan kewenangan kontrol dan pengawasan dari pemerintah. Peningkatan jumlah Cruz dan yatch masuk dalam kawasan konservasi dapat membahaya konservasi.

Keempat, skema BOP yang melibatkan pemerintah pusat dan bahkan mengambialih pengelolahan aset daerah menimbulkan pertanyaan terkait eksistensi pemerintah daerah. Jika segala-galanya sudah mulai diintervensi oleh pemerintah pusat, apakah yang bisa dilakukan pemerintah daerah? Bukankah pemerintah daerah mulai dikebiri?

Dalam konteks Manggarai Barat, BOP karenanya sangat dikhawatirkan hanya menjadi kuda tunggangan kepentingan dari berbagai pihak di tengah-tengah ketidakberdayaan pemerintah daerah. Ketidakberdayaan itu ditunjukkan melalui keberadaan BOP justru akan mengabaikan potensi SDM lokal sedemikian sehingga hanya berkontribusi sedikit terhadap orang-orang setempat.

Kelima, pariwisata di Labuan Bajo saat ini sudah menunjukkan situasi ketidakadilan yang tak pernah tuntas diperbaiki dan menjadi ironi memalukan selama ini. Bahwasannya masyarakat setempat justru menikmati bagian paling sedikit dari pertumbuhan yang masif dari sektor pariwisata.

Untuk kebutuhan sayur, misalnya, masih didatangkan dari luar daerah ketimbang dari dari kabupaten itu sendiri. Berkembangnya pula travel agen yang tidak pernah membayar pajak atau keberadaan travel online dengan alamat fiktif. Sementara infrastruktur pendukung pariwisata seperti bandara, pelabuhan, dan jalan ke sentra pariwisata diperbaiki dan dibuka, jalan-jalan dan fasilitas publik seperti air dan rumah sakit yang diakses masyarakat umum justru terbengkalai.

Di tengah-tengah situasi demikian, BOP menambah jumlah investasi dalam skala besar di bidang pariwisata. Meskipun menjanjikan perbaikan terhadap masalah- masalah yang ada, peserta diskusi menyangsikan janji tersebut. Pasalnya, BOP sangat berciri industri pariwisata dimana persaingan merupakan harga mati. Bahkan BOP justru menambah muram ironi yang ada.

Contoh paling nyata, rencana pembangunan marina, hotel, dan tempat komersial yang berencana mengambilalih aset pemda Mabar yakni Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Labuan Bajo. Meskipun BOP menjanjikan untuk kepentingan publik, pembangunan tersebut justru ditandai dengan penyingkiran sumber mata pencaharian masyarakat setempat. TPI merupakan tempat hidup dari nelayan, buruh, penjual ikan, dan pedagang ekonomi kecil dan menengah. Sementara mereka direncanakan disingkirkan, belum ada satu tempat yang disiapkan untuk dipindahkan.

Selain itu, diragukan pula bahwa keberadaan BOP mampu menyerap potensi SDM masyarakat setempat. Pasalnya, masyarakat setempat pada umumnya belum memahami bagaimana terlibat dalam industri pariwisata. Masyarakat setempat sebagian besar masih bercorak agraris.

Karena itu, pembangunan skala masif dalam tempo yang singkat dari BOP tidak singkron dengan potensi SDM lokal. Dengan mudah disimpulkan bahwa keberadaan BOP justru akan mengabaikan potensi SDM lokal sedemikian sehingga hanya berkontribusi sedikit terhadap orang-orang setempat.

Keenam, porsi investasi antara pemerintah dan sektor privat dalam BOP menimbulkan kesangsian terhadap otoritas negara. Dari target 16 trilliun investasi, pemerintah menanggung sekitar 8 trilliun dari APBN dan 8 trilliun dari sektor privat. Hal itu dapat menunjukkan bahwa pemerintah tidak berdaulat terhadap sektor pariwisata. Apalagi, 8 trilliun dari APBN hanya digunakan untuk membangun infrastruktur pariwisata seperti bandar udara, pelabuhan, dan jalan menuju sentra pariwisata.

Ketujuh, dalam forum tersebut, pihak Sunspirit for Justice and Peace menyatakan bahwa kehadiran BOP tidak mengubah struktur ketimpangan dan kenyataan ketidakadilan yang ada, melainkan justru menambah runyam persoalan. BOP hanya mengoptimalkan kondisi-kondisi pertumbuhan ekonomi, tetapi tidak memperbaiki persoalan politik seperti pencaplokan sumber daya publik, ketimpangan ekonomi, dan masalah kemiskinan. (ARL/Floresa)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini