Floresa.co – Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Iwan Nurdin mengungkapkan bahwa mafia sertifikat tanah semakin banyak dengan modus yang beragam. Menurut dia kasus maling tanah tidak hanya terjadi kepada pejabat seperti, Dino Patti Djalal yang saat ini menjabat penasihat Kemenparekraf.
Diketahui, sertifikat rumah Ibu Dino Patti Jalal yang berada di Executive Paradise, Antasari, Jakarta Selatan beralih menjadi nama orang lain di Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Pengadilan masyarakat yang di sebuah pemukiman digusur oleh ribuan aparat atas nama sebuah putusan pengadilan,” kata Iwan seperti dilansir MNC Portal Indonesia, Rabu 10 Februari 2021.
Putusan tersebut lahir karena perkara dua belah pihak namun memperebutkan objek pemukiman masyarakat tersebut. Iwan menjelaskan, dalam kasus itu, siapapun dari kedua bela pihak itu yang menang, menggunakannya sebagai cara untuk mengusir masyarakat.
“Bahkan, di Keluarahan Tanjung Banggai, Luwu, Sulawesi Tengah, sebuah putusan pengadilan seluas 6000 meter digunakan untuk melakukan penggusuran seluas 86 hektar dengan menggunakan aparat keamanan,” jelas dia.
Ia menjelaskan, biasanya setelah penggusuran, tanah tersebut digunakan pengembang untuk proyek-proyek komersial.
“Lalu ada kasus lainnya yakni terbit sertifikat di atas tanah rakyat. Di Pulau Pari, masyarakat terkaget-kaget karena di atas tanahnya ternyata telah terbit sertifikat,” ungkap dia.
Sebelumnya, beberapa tahun yang lampau, girik tanah mereka dikumpulkan oleh pihak kelurahan.
Anehnya, tutur Iwan sertifikat yang belum lama keluar tersebut terbit tanpa pernah ada saksi-saksi dari masyarakat yang pernah dilibatkan dalam pengukuran.
Ia menyatakan, BPN-RI tidak mau membuka warkah tanah penerbitan sertifikat tersebut dengan alasan rahasia negara.
Namun, dikabarkan bahwa terbitnya sertifikat atas nama orang lain, dan berdomisili jauh alias bukan warga setempat terkait dengan penguasaan pulau untuk perusahaan wisata.
Dia menuturkan ada juga kasus manipulasi ganti kerugian. Manipulasi ganti kerugian adalah pembayaran harga yang tidak sesuai kesepakatan, pungli pejabat dan calo atas nilai ganti kerugian hingga manipulasi ukuran luas bidang tanah yang menjadi objek ganti kerugian hingga secara sengaja membayarkan ganti kerugian kepada yang tidak berhak.
“Ada juga pemerasan proses ganti kerugian tanah. Biasanya pemerintah melalui appraisal akan menetapkan bahwa harga pembelian yang berbeda. Contohnya harga rumah dan bangunan Rp1,5 juta per meter, Tanah Kering/Pekarangan dibeli Rp1 juta per meter dan Tanah Sawah 120 ribu per meter,” tuturnya.
Selisih dari harga yang jauh tersebut yang telah membuat banyak oknum dapat memeras harga ganti kerugian kepada rakyat. Misalnya dengan menetapkan tanah pekarangan sebagai sawah jika tidak mau memberi fee.
Dia juga menambahkan ada juga permasalahan HGU yang tidak sesuai luas kebun. Banyak perkebunan negara ataupun swasta merambah tanah masyarakat dan hutan, meskipun HGU yang tercatat tidak lebih luas dari kenyataan kebun di lapangan.
“Banyak pelanggaran semacam ini dibiarkan dan tidak ditertibkan karena memberikan upeti rutin kepada pejabat dan aparat,” kata dia.
Dengan iklim korporasi yang buruk, sisa luas tanah yang tidak ber-HGU dengan mudah dapat dipakai dalam proses mempertahankan jabatan, menutupi target produksi yang tidak tercapai dalam kebun yang ber-HGU, dan bancakan pejabat perkebunan menggunkan lobby politik, sumbangan parpol, preman dan lain sebagainya.
“Dan terakhir yakni penggunaan untuk tanah KSO. Banyak BUMN dan Perum di bidang SDA melakukan Kerja Sama Operasional (KSO) dengan pihak ketiga yang sebenarnya perusahaan atau koperasi yang melakukan KSO tersebut berhubungan dengan pejabat-pejabat perkebunan itu sendiri,” jelasnya.
Serta, kata dia, banyak perkebunan negara melakukan kerjasama operasional yang sesungguhnya terhitung merugikan atau terlampau murah tapi terus saja dilanjutkan.
“Karena pihak ketiga itu yang sesungguhnya adalah atau kroni mereka,” tandas dia.
MNC/Floresa