Putusan Komisi Informasi: Laporan Evaluasi Dampak Panas Bumi ialah Informasi Terbuka

Di dalam logika hukum administrasi, siapa yang mengeluarkan izin, dia punya kewenangan, dia punya tanggung jawab untuk melakukan evaluasi izin. Dan, ESDM ialah otoritas yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan izin panas bumi. Menjadi aneh dan lucu sekali ketika ESDM dalam proses-proses persidangan mengatakan bahwa itu bukan kewenangannya. Lalu, bagaimana ia bisa mengatakan bahwa dampak ini ditimbulkan oleh apa kalau dia menganggap itu tidak punya kewenangan.

Floresa.co Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia telah menjadikan laporan evaluasi dampak panas bumi sebagai informasi terbuka.

Keputusan itu menjadi angin segar untuk warga di wilayah-wilayah yang mengalami kerusakan akibat proyek panas bumi untuk mendapatkan informasi yang pasti dan utuh dari aktivitas panas bumi di wilayahnya masing-masing,” kata Era Purnamasari pengacara publik Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam sebuah forum baru-baru ini.

Menurut Era, keputusan itu diambil pihak Komisi Informasi usai YLBHI mengajukan guguatan atas keterbukaan informasi dari proyek panas bumi di Gunung Talang – Sumatera Barat pada akhir tahun lalu.

Pasalnya, kata dia masyarakat di sekitar lokasi proyek panas bumi Gunung Talang tidak mendapat informasi yang pasti atas proyek yang dilaksanakan di wilayah mereka.

Akibat keterbatasan informasi itu, tuturnya, masyarakat tidak punya cukup ruang untuk mempertimbangkan kelayakan proyek itu.

“Saya kira, ini satu capaian yang penting untuk kita yang selama ini berjuang melakukan advokasi tentang panas bumi. Dan ini nanti bisa dipakai sebagai vitamin baru oleh masyarakat di mana pun yang berjuang saat ini,” ujarnya.

Ia juga menyatakan, jawaban-jawaban pemerintah dalam sengketa itu menunjukan dengan sangat terbuka bahwa negara tidak menempatkan nyawa manusia sebagai yang utama.

“Jadi keberlanjutan panas bumi itu hal yang menurut mereka itu harga mati,” ujarnya. “Maka masyarakat meminta informasi itu agar mereka bisa mengambil pertimbangan dalam kondisi terinformasi secara clear,” tambahnya.

Forum yang diinisiasi oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional itu melibatkan berbagai organisasi masyarakat sipil serta perwakilan warga yang mengalami masalah dengan proyek panas bumi, yakni dari Mandailing Natal – Sumatera Utara, Dieng – Jawa Tengah, Wae Sano-Manggarai Barat, Mataloko – Kabupaten Ngada, dan lain-lain.

Di Flores sendiri, titik panas bumi menyebar hampir di tiap kabupaten dengan jumlah sekitar 20-an.

Di Wae Sano, warga setempat karena potensi eskalasi bencana yang tidak dapat diprediksikan oleh warga dan terutama  oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) sendiri sebagai pengelola.

Ada juga dua titik lain, yakni Ulumbu dan Mataloko yang sebenarnya sudah diekplorasi jauh sebelum SK Menteri ESDM, sekitar akhir tahun 1990-an hingga awal 2000-an.

Namun, yang disebutkan kedua ini menuai kegagalan. Warga lingkar wilayah eksplorasi mengalami kerugian. Lahan pertanian, rumah dan sebagainya rusak. Di titik-titik eskplorasi, semburan air dan uap panas tidak pernah berhenti hingga hari ini.

Berikut adalah beberapa pokok-pokok persoalan yang disampaikannya!

Pertama, informasi yang menggembirakan untuk kita semua, bahwa dalam putusan komisi informasi itu, komisi informasi pusat memutuskan bahwa laporan hasil evaluasi panas bumi di wilayah-wilayah yang mengalami kerusakan akibat aktivitas panas bumi adalah informasi yang terbuka. Saya kira, ini satu capaian yang penting untuk kita yang selama ini berjuang melakukan advokasi tentang panas bumi. Dan ini nanti bisa dipakai sebagai vitamin baru oleh masyarakat di mana pun yang berjuang saat ini.

Tetapi, saya hendak bercerita bahwa dari putusan itu, dari proses yang telah berlangsung di Komisi Informasi, dari dokumen yang diproduksi oleh pihak ESDM, lalu kemudian putusan akhir dari komisi informasi pusat, kita sebetulnya membaca bagaimana rezim ini atau pemerintah ini memandang nyawa manusia.

Di dalam putusan itu, saya kira dengan sangat terbuka menjelaskan kepada kita semua, negara atau rezim hari ini ialah tidak menempatkan nyawa manusia sebagai yang utama. Jadi, keberlanjutan panas bumi menurut mereka [pemerintah] itu harga mati.

Jadi, awalnya ini [gugatan ke Komisi Informasi] ialah pendampingan masyarakat di Gunung Talang – Sumatera Barat yang juga berjuang untuk, sebenarnya tidak menolak secara langsung. Tetapi mereka meminta keterbukaan informasi, sehingga dengan informasi yang clear, mereka bisa mempertimbangkan apakan ini (panas bumi) layak atau tidak. Pada awalnya, posisinya seperti itu.

BACA: Catatan Hendro Sangkoyo Tentang Daya Rusak Industri Ekstraksi Panas Bumi untuk Pembangkitan Listrik

Karena, seperti yang tadi diceritakan oleh teman-teman di Wae Sano, kemudian di Dieng, di Mandailing Natal bahwa tidak ada satu informasi yang clear, tidak ada informasi yang jelas, informasinya simpang siur, selalu dikaburkan. Maka masyarakat meminta informasi itu agar mereka bisa mengambil pertimbangan dalam kondisi terinformasi secara clear.

Lalu masyarakat meminta tiga informasi penting, dan menurut saya ini juga menjadi pembelajaran penting juga di semua tempat. Pertama, di dalam proses-proses sosialisasi ESDM maupun pihak perusahaan selalu mengatakan bahwa proyek panas bumi ini tidak akan mengganggu wilayah permukaan.

Dan, kalau ditanya tentang politik hukum, ini sudah dimulai sejak Undang-Undang Panas Bumi Tahun 2014, yang di mana ESDM menggambarkan, memitoskan bahwa panas bumi itu aktivitasnya di bawah bumi dan sama sekali tidak mengganggu wilayah permukaan bumi.

Jadi, kalau kita baca pasal di dalam Undang-Undang Panas Bumi Tahun 2014 itu, dan juga jawaban ESDM di dalam sengketa informasi, ESDM menihilkan potensi yang mengganggu aktivitas di atas permukaan bumi akibat panas bumi. Dan, itu nyambung logikanya dengan UU Panas Bumi Tahun 2014.

Ketika itu, yang selalu dibawa pemerintah ialah, “oh [area]yang kami gunakan hanya sebesar tiang masjid. [Area] yang kami gunakan bukan seluas 27 hektar yang diberikan.” Tetapi pada kenyataannya, ada pernyataan bahwa, izin panas bumi [Gunung Talang] itu diberikan dengan luasan 27 ribu hektar. Salah satu informasi yang diminta masyarakat ialah di mana dokumen hukum yang bisa dirujuk, dokumen hukum otentik yang menyatakan bahwa hanya lahan 20 hektar, bukan 27 ribu hektar yang akan digunakan.

Di dalam proses-proses sengketa infomasi itu sangat jelas bahwa kementerian ESDM selama ini melakukan pembohongan informasi di mana tidak ada satu pun dokumen hukum yang menyatakan itu. Dan, kalau kita baca di dalam putusan ESDM hanya bilang begini, bahwa berapa yang digunakan di dalam izin, misalnya di Dieng atau di Wae Sano, anggaplah ada 20-an ribu hektar yang diberikan izin oleh ESDM kepada pengusahan panas bumi, terus kemudian dia mengatakan, “hanya 20 hektar yang digunakan, itu hanya merujuk kepada RKAB [rencana kerja anggaran biaya-red].”

RKAB ini yang diproduksi oleh perusahaan dan bisa berubahan kapan saja. Kemudian yang dia [ESDM] katakana bahwa, “karena ini dokumennya belum final, dokumen yang dinamis, dan ini berubah kapan saja.” Artinya apa? Tidak ada kepastian hukum untuk masyarakat di sekitar wilayah proyek. Dan, ini sekali lagi terkonfirmasi dari dokumen otentik, karena ini jawaban dari ESDM sendiri.

Yang berikut, yang penting dari sengketa informasi itu ialah laporan investigasi kementerian ESDM terhadap situasi-situasi dampak lapangan yang telah ditimbulkan di berbagai wilayah terhadap aktivitas panas bumi. Dalam permohonan itu, secara tegas kita menyebut beberapa wilayah lokasi, yaitu ada Lahedong, ada Lebong, Mataloko, Rimbo Panti dan Sarula Medan. Ini kita sebut secara eksplisit dalam dokumentasi permohonan. Waktu itu kita menyatakan, mengapa kita punya kepentingan hukum untuk meminta dokumen-dokumen ini meskipun kita hanya mendampingi satu wilayah lokasi pada waktu itu di Gunung Talang. Kita bilang begini, karena argumentasi- argumentasi yang disampaikan ESDM selama ini, “ini energi terbarukan, tidak akan menimbulkan dampak. Karena yang diambil hanya uapnya saja tetapi tidak mengganggu wilayah permukaan bumi.”

BACA: Ruang Hidup Orang Wae Sano Terancam Proyek Panas Bumi

Itu kan narasi yang selalu dibangun oleh ESDM. Maka, menggunakan narasi itu, kita mau mengatakan, sementara realitas lapangan yang kita temukan, baik melalui media informasi, maupun kunjungan langsung ke lapangan, misalnya ke Mataloko, ke Sarula Medan, bahwa dampak itu terjadi. Maka, karena ini ada perbedaan antara narasi yang dibangun ESDM dengan situasi di lapangan yang ditemukan oleh masyarakat. Maka mana laporan evaluasi yang dilakukan oleh ESDM terhadap panas bumi yang sudah bermasalah di lapangan.

Masyarakat adat Wae Sano menggelar aksi di Kantor DPRD Mabar, Kamis, 13 Februari 2019, menolak rencana pembangunan geothermal di wilayah mereka. (Foto: Floresa).

Pada saat itu, yang sangat mencengangkan, menakjubkan sekaligus menggelikan, jawaban ESDM ialah, “itu bukan kewenangan kami”. Jadi, ia mengatakan, jika itu menyangkut dampak lingkungan itu bukan kewenangan ESDM, tetapi itu menjadi kewenangan KLHK [Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan-red].

Ini kan menjadi aneh. Di dalam logika hukum administrasi, siapa yang mengeluarkan izin, dia punya kewenangan, dia punya tanggung jawab untuk melakukan evaluasi izin. Dan, ESDM ialah otoritas yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan izin panas bumi. Menjadi aneh dan lucu sekali ketika ESDM dalam proses-proses persidangan mengatakan bahwa itu bukan kewenangannya. Lalu, bagaimana ia bisa mengatakan bahwa dampak ini ditimbulkan oleh apa kalau dia menganggap itu tidak punya kewenangan.

Tetapi kemudian dalam proses persidangan itu, pihak ESDM, saya bisa mengatakan bahwa, ada upaya untuk lari dari kewenangan. Bahkan ada upaya sengaja untuk menutupi informasi. Setidaknya secara hukum kita cek pada jawaban-jawaban ESDM. Misalnya, saya mengutip beberapa pernyataan ESDM. Dia bilang begini, “bahwa pengelolaan keselamatan dan kesehatan kerja dan lingkungan, termasuk permasalahan yang terjadi, penanggulangan permasalahan dan dampak yang dirasakan oleh masyarakat pada saat kejadian, dan pasca kejadian merupakan data mentah dan data olahan yang sifatnya terbatas.”

Saya tidak yakin, pihak ESDM membuka hasil laporan evaluasi kejadian di Mandailing Natal hari ini. Kenapa? Karena cara berpikir ESDM itu ialah informasi yang tertutup. Kalau kita membaca logika berpikir ESDM di dalam proses-proses itu. Terus, dia menggunakan Permen ESDM Nomor 33 Tahun 2018. Dan, menariknya juga, di dalam proses berjalan, ketika kita meminta informasi laporan evaluasi dampak panas bumi di beberapa tempat, ESDM langsung mengeluarkan permen baru Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Kualifikasi Informasi yang dikecualikan. Melalui Permen ini, ESDM kemudian hendak menutup informasi tentang laporan panas bumi. Ini kemudian bisa kita baca juga dalam jawab-jawabannya dalam proses itu. Apa yang ESDM katakan? ESDM katakan begini, “laporan investigasi kecelakaan panas bumi, dan kejadian berbahaya sebagai data tertutup dengan konsekuensi atau pertimbangan bagi pemilik adanya potensi penyalahgunaan data untuk membentuk persepsi buruk terhadap kegiatan pengusahaan panas bumi, untuk pemanfaatan tidak langsung dan potensi persaingan usaha yang tidak sehat, sebagai akibat pembentukan persepsi yang buruk, yang didasarkan kepada ketentuan UU 21 Tahun 2014.”

BACA: Proyek Geothermal Wae Sano Terus Dipaksakan, Warga Surati Bank Dunia dan New Zealand Aid 

Jadi, kita bisa bayangkan bahwa diskusi-diskusi semacam ini, yang kita selenggarakan sekarang, oleh ESDM tidak dibaca secara kritikal, tetapi ia baca sebagai upaya untuk membentuk persepsi buruk. Dan, sebetulnya kita bisa aja terancam kriminalisasi, karena cara pandangnya begitu. Siapa yang kemudian mengkritik terhadap energi panas bumi dianggap tidak mendunkung panas bumi. Dan kemudian, ada Permen yang sengaja digunakan untuk menutup informasi.

Saya garisbawahi ialah putusan komisi informasi menyatakan bahwa laporan evaluasi dampak panas bumi itu ialah informasi terbuka. Untuk itu, saya juga menghimbau semua yang hadir, terutama masyarakat-masyarkat yang berada di wilayah yang sedang berjuang bisa menggunakan putusan ini untuk meminta laporan-laporan evaluasi terhadap dampak panas bumi yang sudah terjadi, terutama tempat-tempat yang secara eksplisit kita sebut di dalam dokumen putusan itu. Yang artinya, mau tidak mau, ESDM harus membuka data itu. Dan kita tidak yakin sejauh apa ESDM punya dokumen evaluasi seperti di luar negeri di mana kalau ada situasi gempa atau bencama maka pasti ada tim investigasi independen yang memeriksa apakah bencana itu ada kaitan kausalitas dengan aktivitas panas bumi. Tapi, kita tidak melihat itu di Indonesia. Mungkin ada tetapi sengaja ditutup dengan aturan-aturan seperti ini.

Saya kira, perjuangan kita masih akan cukup panjang, cukup berat, karena ada satu cara pandang yang memandang, apapun yang kemudian mengganggu panas bumi itu dianggap mengkritik panas bumi termasuk kemudian menutup keterbukaan informasi itu dianggap tidak mendukung industri panas bumi. Itu situasi yang terjadi hari ini.

Tiga Kampung di Desa Wae Sano yang terancam akibat proyek geothermal PT SMI. (Foto: Flores Documentary Network).

Politik Hukum Panas Bumi

Kalau kita bicara politik hukumnya, saya kira sudah mulai sejak perubahan UU Panas Bumi Tahun 2014. Kalau kita bandingkan dengan undang-undang yang lama, ada klausul tegas yang menyatakan bahwa kegiatan panas bumi yang dilakukan di tanah-tanah masyarakat, tanah-tanah ulayat dan lain-lain itu mewajibkan atau memprasyaratkan persetujuan masyarakat.

Istilah persetujuan ini kemudian dikaburkan di undang-undang yang baru kemudian dipelintir lagi di permen-permen ESDM misalnya Permen 33 Tahun 2018 yang kemudian dibangun narasi bahwa tidak ada kewajiban kami untuk meminta persetujuan masyarakat. Yang ada itu hanyalah kewajiban melakukan sosialisasi. Maka sosialisasi menjadi satu kata yang harus kita waspadai.

Kemudian bagaimana masyarakat mengantisipasi bahwa ada proses misalnya, memelintir atau kemudian memanipulasi sosialisasi. Karena apa? Sosialisasi tidak pada soal setuju atau tidak setuju. Sosialisasi hanya mensyaratkan apakah informasi sudah disampaikan oleh ESDM atau tidak. Persoalan masyarakat setuju atau tidak setuju, itu bukan menjadi kewajiban mereka. Mereka sudah lepas tangan. Begitu mereka bilang, “kami sudah melakukan sosialisasi kepada masyarakat, soal mereka setuju atau tidak setuju, mereka akan mengatakan tidak ada kewajiban menurut permen ESDM nomor sekian atau di dalam UU Panas Bumi yang mewajibkan kami utuk mendapatkan persetujuan masyarakat.

Jadi saya kira, ini yang berbahaya karena tidak ada proses-proses keterbukaan informasi baik sebelum proyek berjalan bahkan sudah menelan korban nyawa seperti hari ini atau yang terjadi di Mandailing Natal.

Kalau kita lihat hari ini, kan belum ada statemen yang akar persoalan berbagai masalah panas bumi di banyak tempat. Hanya ada satu pernyataan yang konkrit sekarang ialah yang menghentikan proses panas bumi yang di Mandailing Natal. Tetapi setelah itu apa? Nah ini kan kita belum melihat arah yang jelas.

Perlu dicatata bahwa, pertama sudah ada putusan informasi yang menyatakan bahwa laporan investiagasi, laporan penelitian ESDM sebagai kewajibannya melakukan pengawasan izin di wilayah-wilayah panas bumi yang, terutama sudah menimbulkan dampak lapangan adalah data terbuka. Itu harus menjadi vitamin baru bagi kita semua. Dan saya kira, kita harus mendesak bersama-sama eksekusi terhadap putusan ini supaya kita baca laporan dari tempat-tempat itu.

Kedua, kita harus mewaspadai juga bahwa negara dalam hal ini tentu ESDM sebagai pihak yang paling otoritatif, tidak akan dengan mudah membuka semua informasi dan data karena kita bisa lihat politik hukumnya mulai dari UU Cipta Kerja yang sekarang, perubahan UU panas bumi yang sebelumnya, kemudian permen-permen baru yang sengaja diadakan untuk sengaja menutup informasi, itu sudah jelas bahwa hak-hak untuk hidup, hak-hak lingkungan itu tidak menjadi priorias utama bagi rezim ini di dalam industry panas bumi.

***

ARJ/Floresa

 

 

 

 

 

 

spot_img
spot_img

Artikel Terkini