Klaim BOP-LBF Soal Proyek Pariwisata di Hutan Bowosie, Labuan Bajo: Mengapa Ditentang Kelompok Sipil?

Bahaya kerusakan lingkungan yang mengancam kota Labuan Bajo dan masalah lahan yang belum tuntas dengan warga lokal, dua isu krusial yang dianggap kelompok sipil diabaikan BOP-LBF dalam proyek alih fungsi 400 hektar Hutan Bowosie.

Floresa.co – Kelompok sipil di Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur mempertanyakan sejumlah klaim pemerintah terkait manfaat proyek pariwisata di wilayah Hutan Bowosie mengingat adanya kekuatiran perihal bahaya kerusakan lingkungan yang mengancam kota Labuan Bajo dan masih terjadinya persoalan agraria dengan warga lokal.

Klaim-klaim Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores [BPO-LBF] yang bertanggung jawab atas proyek ini sambil mengabaikan masalah krusial yang belum tuntas itu disebut sebagai “model propaganda pembangunan yang basi dan menyesatkan.”

Sebagaimana dilansir Sindonews.com pada Rabu, 2 Maret 2022, Direktur BPO-LBF, Shana Fatinah menyatakan proyek yang bakal dimulai bulan ini dan ditargetkan rampung pada 2024 di lahan 400 hektar di Hutan Bowosie akan menghadirkan kawasan pariwisata “berkelanjutan, berkualitas dan terintegrasi.”

Pengembangan kawasan ini, jelasnya, akan dibagi ke dalam empat zona, yakni cultural district, adventure district, wildlife district, dan leisure district.

“Semua pembangunan ini tentunya mengedepankan prinsip keberlanjutan lingkungan dan menjadi komitmen BPO-LBF dalam mengembangkan kawasan pariwisata berkualitas di Hutan Bowosie,” katanya.

Dari data yang diperoleh Floresa.co, dalam empat zona di kawasan itu akan dibangun setidaknya empat resort eksklusif, yaitu Hotel dan Mice, Family Hotel Resort, High-End Resort  dan High-End Glamping.

Shana menggambarkan berbagai keuntungan ekonomi yang bakal didapat, seperti menyerap sekitar 10.000 tenaga kerja dan adanya permintaan hasil pertanian dan peternakan, hasil kerajinan tangan, atraksi budaya, serta akan diadakan penataan dan pelibatan desa-desa di sekitar.

“Di banyak wilayah Indonesia, pariwisata terbukti bisa melestarikan alam dan budaya, sekaligus meningkatkan perekonomian,” katanya.

Sementara itu, Direktur Destinasi BPO-LBF, Konstantinus Mardinandus Nandus menambahkan bahwa dalam pengembangan kawasan itu, ada studi hidrogeologi terpadu dan Analisis Dampak Lingkungan [Amdal], sehingga kelestarian mata air yang ada di kawasan tetap terjaga dan tidak akan mengganggu pasokan untuk warga setempat.

Dijelaskan juga bahwa BPO-LBF telah mendapatkan izin lingkungan hidup dari Pemkab Manggarai Barat pada 29 Juni 2021, pasca proses pengurusan Amdal selesai.

Pernyataan BPO-LBF yang menguasai lahan itu dengan dasar Peraturan Presiden [Perpres] Nomor 32 Tahun 2018 muncul setelah baru-baru ini mereka mengumumkan akan segera membuka jalan ke area hutan itu, yang menjadi titik mula pembangunan berbagai sarana lain.

Pengerjaan jalan itu dengan nama paket proyek “Pembangunan Akses Jalan Zona Otoritatif” dilakukan oleh PT Gunung Sari Indah yang beralamat di Jalan Kaper, Desa Golo Bilas, Kecamatan Komodo, dengan anggaran senilai Rp 22.868.598.000.

Sementara itu, ada dua paket proyek lain yang juga segera dikerjakan, namun pemenang tendernya belum diumumkan, yakni “Paket Pengawasan Pembangunan Akses Jalan Zona Otoritatif” dengan anggaran senilai Rp 654.522.000 dan paket “Kajian dan Penyusunan Rencana Bisnis dan Skema Investasi Lahan Otorita BPOLBF” dengan anggaran senilai Rp 1.500.000.00.

Konflik Lahan yang Belum Selesai

Upaya BPO-LBF menggenjot pelaksanaan proyek di hutan penyangga kota Labuan Bajo itu terjadi di tengah masalah lahan yang belum tuntas antara pemerintah dengan warga lokal yang sudah beberapa dekade mendiami sebagian dari wilayah hutan itu.

Dari data Floresa.co, setidaknya ada dua kelompok warga serta sejumlah individu yang masih mempersoalkan lahan itu.

Pertama adalah warga Kampung Racang Buka di Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo yang sudah mendiami wilayah itu sejak 1990-an. Mereka sudah melakukan berbagai upaya legal agar secara sah mendiami setidaknya 150-an hektar wilayah hutan itu di bagian selatan melalui skema pembebasan kawasan hutan menjadi pemukiman dan lahan pertanian.

Langkah mereka dijawab pemerintah melalui SK Tata Batas Hutan Manggarai Barat Nomor 357 Tahun 2016, namun hanya sekitar 38 hektar yang dikabulkan, yang ditetapkan menjadi wilayah Area Penggunaan Lain [APL].

Sementara warga hanya diberikan 38 hektar, bagian lain dari hutan itu yang mereka mohonkan untuk menjadi hak mereka kini menjadi bagian dari kawasan yang diserahkan kepada BPO-LBF.

Kelompok kedua adalah warga Kampung Lancang, Kelurahan Wae Kelambu, Kecamatan Komodo yang berada di sebelah utara kawasan itu. Melalui otoritas adat, sekitar tiga puluhan warga mendapat legitimasi menduduki area sekitar 20 hektar, di mana beberapa warga sudah mengantongi sertifikat. Salah satunya adalah Bupati Manggarai Barat saat ini, Edistasius Endi yang sudah mengantongi sertifikat sejak tahun 2006.

Warga adat Lancang melaporkan masalah lahan yang diambil BPO dan Kehutanan kepada Bupati Mabar, Edistasius Endi pada Senin 17 Mei 2021. (Foto: Floresa).

Namun, dalam SK Nomor 357 Tahun 2016 – wilayah 20-an hektar yang sudah menjadi kebun dan pemukiman warga Lancang itu dimasukkan ke dalam kawasan hutan. Kini, lahan itu pun menjadi bagian dari wilayah yang dikelola BPO-LBF.

Gabriel Gambur, salah satu warga Lancang mengatakan, “kami masih menunggu janji pemerintah untuk membebaskan lahan kami dari kawasan hutan,” sebagaimana ditetapkan dalam SK Nomor 357.

Janji itu, kata dia, merupakan hasil kesepakatan lisan antara perwakilan warga Lancang dalam pertemuan di Bandara Udara Komodo Labuan Bajo pada Kamis, 19 Agustus 2021 dengan sejumlah pejabat pemerintah, antara lain Bupati Edistasius Endi, Direktur Pemetaan Kementerian ATR BPN Yuli Mardiono, perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK], perwakilan Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi dan Kepala UPTD Kehutanan Mabar, Stefanus Naftali. Dari BOP-LBF hadir juga Direktur Utama Shana Fatina dan Direktur Destinasi Konstantinus.

“Pertanyaannya, mengapa [lahan] itu ‘dihutankan’? Padahal kami sudah menguasai lahan kami sudah sejak lama. Ini tidak adil,” katanya.

Ia juga mempersoalkan klaim BPO-LBF bahwa warga sudah setuju dengan semua proses yang telah mereka tempuh.

“Pertanyaannya, sejak kapan Amdal  melibatkan warga, siapa saja yang terlibat? Kami tidak pernah dilibatkan dalam proses itu. Kok tiba-tiba klaim bahwa Amdal-nya sudah selesai,” katanya kepada Floresa.co.

Muhamad Rudy, warga Kampung Wae Mata, Desa Gorontalo yang juga mengaku memiliki lahan di wilayah yang dikuasai BOP-LBF mempertanyakan perlakuan berbeda antara mereka dengan lembaga itu.

“Apa bedanya warga dengan BPO-LBF sehingga mereka diberi akses melalui Perpres 32 Tahun 2018 untuk memiliki lahan itu sementara warga sudah lama mendiami wilayah itu,” katanya.

“Kami mendesak BPO-LBF duduk ulang dengan warga yang bersinggungan langsung dengan lahan itu,” kata Muhamad.

Ia juga menyatakan sempat ikut dalam setidaknya tiga kali kegiatan sosialisasi Amdal oleh BOP-LBF soal masalah ini dan mengklaim “tidak pernah ada kata sepakat di antara peserta.”

Sementara itu, Fransiskus Dohos Dor, pengacara warga Racang Buka menyatakan, Presiden Joko Widodo sejak awal tertipu oleh data soal status lahan 400 hektar bahwa itu adalah hutan, tanpa ada masyarakat di dalamnya.

“Faktanya adalah sudah ada masyarakat yang bermukim dan menghuni sebagian dari lahan itu,” katanya.

Dalam wawancara dengan sejumlah media di Labuan Bajo baru-baru ini, Direktur Konstantinus mengakui masih adanya masalah lahan ini, namun ia  menyatakan, “prinsipnya, kami dari BPOLBF on the track.”

“Kami mengikuti proses dan prosedur yang ada, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” katanya.

Ia menyatakan, lembaganya tidak memiliki kewenangan untuk mencari solusi terhadap masalah lahan itu karena merupakan tanggung jawab Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK].

“Menyangkut saudara-saudara kita yang ada di dalam lahan itu… pihak KLHK [yang] bisa mencari solusi,” tuturnya.

Kekuatiran Akan Masalah Ekologi

Soal lain yang menguat dalam polemik alih fungsi hutan ini adalah kecemasan elemen sipil atas ancaman krisis ekologi yang berpengarauh pada kota Labuan Bajo dan sekitarnya.

Hal itu dipicu oleh alasan bahwa hutan itu didominasi wilayah karst – bank air –  untuk kebutuhan warga Labuan Bajo, mengingat dari hutan ini muncul sejumlah mata air.

Kekuatiran lain adalah mengenai banjir yang selama ini sudah terjadi beberapa kali dan dianggap akan makin parah jika alih fungsi hutan terjadi.

Doni Parera, aktivis lingkungan di Labuan Bajo mempersoalkan klaim BPO-LBF bahwa proyek itu tidak akan merusak lingkungan.

“Anak sekolah dasar saja tahu bahwa membangun apapun dalam kawasan hutan yang menutup lantai hutan, menebang tumbuhan di dalamnya, tentu saja akan mengurangi fungsi hutan,” katanya.

Ia juga menyatakan menantang Direktur Konstantinus dan seluruh jajarannya untuk membeberkan terbuka ke publik klaim studi hidrogeologi itu.

“Harus diuji bersama, karena banyak yang bertindak sebagai jongos kapitalis, sodorkan informasi yang ‘asal bapak senang’ walau merusak hutan yang jadi tumpuan hidup banyak manusia di sekitarnya dan makhluk hidup lain,” kata Doni.

Ia juga menyatakan, apapun dalil yang dipakai sebagai dasar hukum pemanfaatan hutan itu, “tidak akan mengembalikan fungsi hutan yang hilang oleh kerakusan dan ketamakan.”

“Kelestarian mata air mana yang dia jamin akan tetap lestari? Jangan bohongi masyarakat hanya bicara mata air dalam kawasan hutan. Ada belasan mata air lain dalam pemukiman sekitar Labuan Bajo yang sangat bergantung pada kelestarian Hutan Bowosie,” katanya.

Venansius Haryanto dari lembaga advokasi Sunspirit for Justice and Peace mengatakan, BPO-LBF semestinya membuka semua proses dan dokumen terkait Amdal kepada publik.

Ia mengatakan pernah mengikuti acara sosialisasi Amdal pada 12 Desember 2019 dan tidak mendapat informasi lagi terkait acara sosialiasi setelahnya.

Ia mengenang bahwa pertemuan kala itu berujung kata tidak sepakat, di mana peserta menolak menandatangani berita acara, meski tim BPO-LBF dengan ngotot meyakinkan peserta rapat bahwa rumusan dokumen berita acara yang sama digunakan untuk seluruh BOP di tempat lain, seperti di Danau Toba, Sumatera Utara.

Perdebatan itu, jelasnya, muncul karena antara pihak BOP-LBF dan peserta forum, antara lain tokoh adat, tokoh masyarakat, asosiasi-asosiasi pelaku wisata dan beberapa lembaga swadaya masyarakat memiliki pandangan yang bertolak belakang terkait pemanfaatan Hutan Bowosie.

Sejumlah hal yang menjadi keperihatinan forum saat itu, kata dia, misalnya soal dampak proyek itu bagi Kali Wae Mese yang mengairi persawahan para petani di wilayah Nggorang, Merombok dan sekitarnya, yang debitnya bisa berkurang dengan upaya alih fungsi hutan itu.

“Apalagi pemanfaatan kawasan hutan ini ditempuh dengan skema APL yang secara drastis mengubah fungsi pokoknya sebagai kawasan hutan,” tambahnya.

Gerakan Perlawanan

Berbagai soal yang belum selesai itu memicu lahirnya berbagai gerakan elemen sipil di Labuan Bajo sejak terbitnya Perpres Nomor 32 Tahun 2018. Publik nasional juga turut meminta pemerintah membatalkan proyek kontroversial ini.

Kelompok aktivis, pemuda, mahasiswa, juga warga lokal melakukan berbagai inisiatif menolak proyek itu, termasuk lewat beberapa kali unjuk rasa.

Upaya lain yang juga sedang digalakkan saat ini adalah melalui petisi oleh “Gerakan Masyarakat untuk #SelamatkanHutanFlores!” di situs Change.org yang hingga Kamis, 3 Maret 2022 sudah mendapat lebih dari tiga ribu penanda tangan. Petisi ini ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, Menteri LHK, Siti Nurbaya,  Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno dan BPO-LBF.

Petisi itu didukung oleh sejumlah elemen, yakni Garda Pemuda Komodo Flores, Legal Aid Institute, Warga Adat Lancang, RMCL [Reba Molas Compang Lancang], Warga Lingkar Hutan Bowosie, Walhi NTT, JPIC OFM Indonesia, LSM ILMU, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air [KRuHA], Sunspirit for Justice and Peace,  JATAM [Jaringan Advokasi Tambang], Flores Institute for Conservation and Tourism Development [FI] dan Jaringan Masyarakat Peduli Hutan Flores, NTT.

Mereka menulis dalam petisi itu bahwa alih fungsi hutan itu “tidak saja berdampak sangat buruk bagi kelestarian alam, tetapi juga mengancam keberlanjutan pariwisata Flores serta memperparah kesenjangan agraria antara segelintir elit pengusaha dengan masyarakat setempat.”

Karena itu, mereka mendesak pemerintah segera menghentikan alih fungsi Hutan Bowosie, mencabut Perpres No. 32 tahun 2018 dan menyelesaikan secara berkeadilan konflik agraria dengan warga setempat.

Emil Salim, mantan Menteri Lingkungan Hidup dan professor emeritus dari Universitas Indonesia menjadi salah satu tokoh publik yang ikut menyatakan dukungan untuk petisi ini.

Ia menulis di akun Twitter-nya yang memiliki lebih dari 102 ribu pengikut bahwa “daerah NTT masuk kawasan kering, tak banyak hutan alami.”

“Kini Hutan Bowosie NTT direncanakan ditebang utk pembangunan pariwisara super premium kawasan Labuhan Bajo. Petisi sedang beredar menyelamatkan hutannya. Bisakah Badan Otoritanya membatalkannya? Tolong dibantu!,” tulisnya.

Venan dari Sunspirit mengatakan, di tengah berbagai soal yang belum selesai ini, klaim-klaim dari BPO-LBF soal manfaat proyek ini, berikut pengabaian soal masalah-masalah yang belum selesai adalah “model propaganda pembangunan yang basi dan menyesatkan.”

“Mereka menawarkan janji yang terlampau fantastis, tapi juga menyembunyikan fakta lain bahwa penguasaan lahan itu berlangsung di atas wilayah hutan yang perannya begitu vital, mengabaikan pertimbangan ekologis dan persoalan agraria dengan warga lokal,” katanya.

Ario Jempau

spot_img

Artikel Terkini