Penegasan Kepala Kampung Lancang-Labuan Bajo ke BPO-LBF: “Satu Setimeter Pun Tanah Masyarakat, Saya Tidak Akan Berikan”

Floresa.co – Masyarakat adat di Kampung Lancang, Kabupaten Manggarai Barat menegaskan sikap untuk tetap mempertahankan lahan mereka yang diklaim pemerintah dan diserahkan ke Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores [BPO-LBF] untuk pembangunan destinasi wisata eksklusif.

Kampung Lancang terletak di kota Labuan Bajo, berbatasan langsung dengan Hutan Bowosie-Nggorang. BOP-LBF sedang mengembangkan proyek pariwisata di kawasan itu dengan melakukan alihfungsi hutan.

Sebagian dari kawasan yang hendak dikelola BOP itu merupakan tanah warga. Selain bukti adat, mereka juga memiliki sertifikat.

Berbicara di hadapan perwakilan BPO-LBF yang mendatangi Kampung Lancang pada Sabtu, 26 Maret 2022, Theodorus Urus, kepala kampung atau tua golo Kampung Lancang mengatakan, ia akan terus mempertahankan lahan yang telah mereka kelola turun-temurun itu.

“Satu sentimeter pun tanah masyarakat, saya tidak akan berikan [ke BPO-LBF],” katanya di hadapan Direktur Destinasi BPOLBF, Konstan Mardinandus.

Kehadiran Konstan bersama dua rekannya di luar hari kerja ke Kampung Lancang adalah bagian dari upaya pendekatan budaya untuk menyelesaikan persoalan lahan warga dengan pemerintah, termasuk BPO-LBF. Mereka kompak mengenakan busana adat Manggarai, berupa songke dan destar, sambil membawa satu botol bir dan uang sejumlah 100 ribu rupiah.

Selain Theodorus, sejumlah tokoh adat, pemilik lahan dan perwakilan orang muda juga turut hadir dalam pertemuan tersebut.

Konstan mengatakan, pihaknya menyampaikan perkembangan upaya pihaknya untuk mengeluarkan lahan milik warga Lancang yang telah dimasukkan ke dalam peta wilayah otoritatif BPO-LBF, sebagaimana yang sudah dipersoalkan warga.

BACA: Klaim BOP-LBF Soal Proyek Pariwisata di Hutan Bowosie, Labuan Bajo: Mengapa Ditentang Kelompok Sipil?

Lahan sekitar 20-an hektar milik warga Lancang sudah menjadi kebun dan pemukiman, sebagian di antaranya telah dilengkapi dokumen legal berupa sertifikat.

Lahan tersebut menjadi polemik, setelah dalam SK Tata Batas Hutan Manggarai Barat Nomor 357 Tahun 2016, pemerintah menetapkannya sebagai bagian kawasan hutan.

Dua tahun kemudian, lewat Perpres 32 Tahun 2018, lahan yang berbatasan langsung dengan Hutan Bowosie itu kemudian dimasukkan ke dalam wilayah yang dikelola BOP-LBF, yang totalnya mencapai 400 hektar.

Dari data yang diperoleh Floresa.co, dalam empat zona di kawasan 400 hektar itu akan dibangun setidaknya empat resort eksklusif, yaitu Hotel dan Mice, Family Hotel Resort, High-End Resort  dan High-End Glamping.

Warga Lancang sudah melakukan berbagai langkah untuk mempertahankan lahan mereka, termasuk dengan melakukan audiensi dengan bupati dan DPRD Manggarai Barat.

Warga juga pernah ikut dalam pertemuan terbatas di Bandara Udara Komodo, yang dihadiri sejumlah pejabat pemerintah, antara lain Bupati Edistasius Endi, Direktur Pemetaan Kementerian ATR BPN Yuli Mardiono, perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK], perwakilan Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi dan Kepala UPTD Kehutanan Mabar, Stefanus Nali.

Direktur utama BPO-LBF, Shana Fatina dan Konstan juga hadir dalam pertemuan pada 19 Agustus 2021 itu. Hasil pertemuan itu adalah pemerintah menjanjikan akan menyelesaikan masalah lahan itu, namun ternyata tidak ada tindak lanjut setelahnya.

BACA: Hasil Rapat Terbatas di Bandara Komodo: Pemerintah Janji Kembalikan Kebun dan Tanah Rumah Warga Adat Lancang

Menurut Konstan, BPO-LBF sudah mengusulkan pembebasan lahan warga tersebut dari kawasan hutan, namun ia juga mengakui bahwa memang belum ada titik terang.

Karena itu, kata dia, ia akan melakukan perjalanan dinas ke Jakarta dalam waktu dekat dan berharap bisa menyampaikan aspirasi dari warga Lancang.

“Jadi, itu tujuan kehadiran kami hari ini, terkait usul untuk perubahan peta. Jika bapak-bapak sekalian berharap kembali ke Pal Belanda, kita sepakati, supaya saya ke Jakarta tidak pergi dengan tangan kosong. Itu makanya saya ingin mendengar aspirasi dari bapak-bapak sekalian,” ujarnya.

Penetapan batas kawasan hutan menurut Pal Belanda, sebagaimana disinggung Konstan, masih berjarak sekitar 100 meter dari titik terakhir kebun warga Lancang.

Theodorus mengingatkan bahwa tanah milik pemerintah di wilayah Mabar berasal dari hak ulayat masyarakat adat, dan bukan sebaliknya.

BACA: Hutan Bowosie dalam Ancaman Proyek Wisata

Ia pun berharap BPOLBF menghargai hak mereka dan segera mencari solusi terkait masalah lahan ini.

“Lahan masyarakat yang pernah dipetakan oleh BOP-LBF tolong dikeluarkan dari sana [peta BOP-LBF],” tegasnya.

Ia juga menyoroti sejumlah pilar BPO-LBF yang menyebar di beberapa lahan milik warga. Pilar-pilar berwarna biru langit dan bertuliskan “BPOLBF 2021 BM” itu, kata dia, cukup membuat masyarakat adat Lancang resah.

“Pilar yang sudah ditanah itu juga dicabut,” tegasnya.

ARJ/Floresa

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini