Presiden Jokowi Resmikan Jalan di Labuan Bajo yang Dibangun Tanpa Ganti Rugi untuk Warga

Belasan rumah warga yang dibongkar tanpa ganti rugi, dan 30 hektar sawah yang terancam gagal panen karena saluran irigasi rusak akibat pembangunan jalan tersebut.

Floresa.co – Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan jalan Labuan Bajo-Golo Mori pada Selasa pagi, 14 Maret 2023, di tengah persoalan terkait tidak adanya ganti rugi lahan dan rumah warga yang digusur dalam proses pembangunan jalan itu.

Saat peresmian itu, Jokowi mengatakan jalan ke Golo Mori tersebut “akan memperbaiki konektivitas dalam rangka mengembangkan Labuan Bajo sebagai destinasi pariwisata super prioritas.”

Peresmian jalan itu oleh Presiden Jokowi, menurut Doni Parera — salah satu aktivis yang selama ini mendampingi masyarakat korban pembangunan tersebut —, adalah bagian dari “merayakan pelanggaran negara atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021.”

“Semoga Presiden melakukan [peresmian jalan] ini karena benar beliau disuplai informasi yang tidak benar, karena belum ada ganti rugi atas lahan masyarakat yang diambil untuk pembangunan jalan itu,” katanya kepada Floresa, Selasa sore, 14 Maret 2023.

“Rumah, sawah, ladang, pekarangan dirampas tanpa kejelasan ganti rugi,” tambahnya.

Doni mengatakan, di Cumbi, salah satu kampung yang dilewati jalan itu, terdapat 18 rumah dibongkar dan harus bangun di lokasi baru menggunakan material rumah lama, “tanpa ada sentuhan sedikit pun bantuan dari pemerintah.”

Pembongkaran rumah-rumah itu, kata dia, “setelah Pemerintah Daerah Manggarai Barat memanipulasi warga dengan sosialisasi yang penuh intrik, tidak menyampaikan informasi utuh terkait ganti rugi lahan.”

“Lalu (warga) diminta bubuhkan tanda tangan,” ujar Doni.

Ia menyebut setelah memanipulasi persetujuan warga, perampasan lahan terjadi dan semua upaya warga untuk menuntut hak mereka diabaikan.

“Untuk siapa pembangunan jalan ke Golo Mori itu?” ujarnya.

“Mengapa untuk menyambut tuan-tuan besar yang datang berpesta pora di Flores, warga harus menanggung derita?”

Jalan yang dikerjakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat itu mulai dibangun pada awal 2022. Jalan itu memiliki row 23 meter dan panjang 25 kilometer, dihitung dari Gorontalo, Labuan Bajo.

Dikerjakan Perusahaan Konstruksi BUMN Wijaya Karya [WIKA], proyek itu menelan biaya lebih dari empat ratus miliar rupiah.

Selain Kampung Cumbi, jalan itu juga melewati kampung-kampung lainnya, seperti Kampung Mberata, Nalis dan Nanga Nae di Desa Macang Tanggar.

Saat sosialisasi terkait pembangunan jalan itu pada 2018, pemerintah memanfaatkan kondisi warga yang saat itu sangat merindukan akses jalan yang memadai.

Viktor Frumentius, salah satu warga Cumbi mengatakan kepada Floresa pada awal Desember tahun lalu bahwa saat sosialisasi itu, pemerintah menegaskan bahwa tidak ada ganti rugi atas lahan dan rumah yang terdampak pembangunan itu.

Baca: Pembangunan Jalan untuk ASEAN Summit di Labuan Bajo: Tanah dan Rumah Warga Digusur Tanpa Ganti Rugi

Ia dan sejumlah warga lain di kampungnya, kata Viktor, menyatakan setuju meski tidak ada ganti rugi karena “betul-betul rindu jalan itu.”

Berada tidak jauh dari Labuan Bajo, kota pariwisata super-premium, selama ini akses dari dan ke kampung Viktor adalah  jalan setapak yang hanya bisa dilalui sepeda motor saat musim kering.

“Kalau musim hujan ya setengah mati [dilewati], sehingga begitu ada informasi dari pemerintah bahwa di sini mau buka jalan, kami dengan senang hati menerimanya,” katanya.

Dominikus S. Bon, warga sekampung Viktor mengatakan, selain menyepakati untuk tidak mendapat ganti rugi, mereka bahkan memilih membongkar sendiri rumah mereka.

Hal itu mereka lakukan karena pemerintah mengatakan, jika mereka meminta ganti rugi dan tidak membongkar sendiri rumah, maka jalan itu akan dipindahkan, melewati bagian belakang kampung.

“Kami tidak setuju jalan itu dibangun di luar kampung. Pembangunan jalan itu harus di dalam kampung,” jelas Dominikus.

Ia menjelaskan, mereka juga sempat menandatangani sebuah pernyataan tertulis bermaterai yang sudah disiapkan pemerintah. Warga tinggal menandatangani.

Meski awalnya senang dan bahkan mendukung pembangunan jalan tersebut, kini warga seperti Viktor dan Dominikus kecewa.

Selain karena rumahnya digusur, Viktor mengatakan, ia  menyesal melihat jalan itu yang mengeruk kampung mereka. Itu membuat sebagian rumah warga di pinggir jalan kini berada jauh di atas ruas jalan.

Saat sosialisasi, kata dia, pihak kontraktor tidak pernah mensosialisasikan bentuk jalan yang mau dibangun itu.

“Yang ada tiap sosialisasi itu selalu bahas jalur lewat luar atau di dalam [kampung],” katanya.

Selain itu, di sepanjang jalan tersebut juga terdapat lahan-lahan pertanian warga yang terancam gagal panen karena rusaknya saluran irigasi ke sawah-sawah warga. Meski telah ada upaya perbaikan, kata dia, saluran irigasi tersebut tidak lagi  berfungsi maksimal seperti sedia kala.

Menurut Viktor, sekitar 30 hektar sawah yang tidak dimanfaatkan warga karena hal ini. Padahal, kata dia, sebelumnya warga biasanya panen dua kali setahun berkat irigasi itu.

“Kami yang sengsara dapat makan di sini. Kami berharap pada sawah, tapi irigasi rusak. Kami tidak bisa kerja karena tidak ada air,” ungkap Viktor.

Kekecewaan warga juga muncul setelah mereka mendapat informasi bahwa warga di Kampung Nanga Nae, Desa Persiapan Macang Tanggar, yang juga dilalui proyek tersebut menerima ganti rugi atas rumah yang terdampak.

“Sejauh kami tahu, dan itu pernah kami telusuri, di Nanga Nae sempat menerima ganti rugi, bahkan ada yang mengaku dapat ganti rugi Rp 300 juta per orang,” kata Dominikus.

“Saya sendiri dapat video pengakuan warga di Nanga Nae pernah terima ganti rugi. Dan biaya pembongkaran rumah di Nanga Nae itu rata-rata 4 juta Rupiah per orang,” tambahnya.

Pernyataan Dominikus soal warga Kampung Nanga Nae yang mendapat ganti rugi terkonfirmasi dari pengakuan beberapa warga.

Haji Mustofa Sulaiman [80], salah satu warga di Nanga Nae mengatakan kepada Floresa pada  2 November bahwa dia mendapat ganti rugi 130 juta rupiah.

Sulaiman mengatakan, pada awalnya ia tidak setuju dengan penggusuran aset miliknya, karena tidak pernah dipanggil saat rapat di Kantor Desa  Macang Tanggar yang membahas proyek jalan itu.

Namun, setelah mengetahui seluruh warga setuju dengan penggusuran itu, ia menemui Bupati Manggarai Barat, Editasius Endi, untuk menuntut ganti rugi atas rumah dan sumur yang berada di depan rumahnya.

Ia mengatakan, 7 meter tanahnya yang terdampak, dengan rincian 3 meter tanah di depan rumah, 2 meter teras rumah, dan 2 meter rumah.

“Saya bilang ke Bupati, di depan rumah saya ada sumur, karena saya tidak bisa ambil air di kali. Tolong ganti kerugian saya ini. Saya ngotot,” katanya.

Ia mengatakan, bupati kemudian menanyakan usulan ganti rugi yang dia minta.

“Saya usul Rp 150 juta. Dia bilang terlalu banyak. Dia tawar hanya Rp 100 juta. Saya minta Rp 130  juta. Begitu saya beritahu begitu, satu minggu setelah itu langsung PT Wika  datang bawa uang Rp 130 juta,” jelasnya.

Sulaiman mengatakan, penuntutan ganti rugi tersebut bukanlah tanpa alasan.

Ia mengatakan, ia ingat dalam sebuah acara doa arwah untuk ibu dari Wakil Bupati Yulius Weng di Nanga Nae, Bupati Edi menggunakan kesempatan itu untuk mensosialisasikan pelebaran jalan itu. Warga yang hadir saat itu  dari Gorontalo 30 orang.

Sulaiman mengatakan, Bupati memang menjanjikan ganti rugi saat itu.

“Bupati bilang begini, ‘kita mau ada kegiatan ini, program negara, ada pelebaran jalan dari Gorontalo sampe Golo Mori. Lebar jalan di tengah kampung ini kurang lebih 23 meter. Jadi kalau kena bangunan bapak-bapak, jangan tolak. Saya ganti, saya bayar kerugiannya,  karena uang banyak. Uang untuk proyek jalan saja, jumlahnya 425 miliar,’”  katanya mengutip pernyataan Bupati.

Saat sosialisasi itu, kata dia, Bupati Edi bahkan menyebutkan bahwa negara menyiapkan anggaran 85 miliar rupiah untuk ganti rugi aset warga yang terdampak pembangunan jalan itu.

Muhamad Saleh, warga lain di  Nanga Nae yang rumahnya digusur hingga tiga meter juga mengakui telah menerima ganti rugi 69 juta rupiah, yang didapat dari petugas yang mengaku dari Dinas Pekerjaan Umum.

Ia mengatakan, nilai kerugiannya dihitung bersama petugas dari PT Wika yang menemuinya, di mana dia diminta membuat daftar dan perhitungan kerugian, mulai dari biaya material hingga sewa tukang.

“Memang perhitungan kita waktu itu Rp 98 juta. Tapi saya tekan lagi jadi Rp 69 juta,” katanya.

Muhamad juga mengatakan, di Nanga Nae, warga yang memiliki rumah panggung tidak digusur, tetapi diminta oleh PT Wika untuk digeser.

“Biaya untuk angkat rumah panggung Rp 4 juta per rumah,” katanya.

Meski sudah mendapat jatah ganti rugi, Muhammad mengkritisi PT Wika yang ia sebut tidak konsisten dalam memetakan ganti rugi, karena tidak seperti dirinya yang membuat perhitungan kerugian rumah, warga lainnya langsung ditentukan angka ganti ruginya.

“Jadi pertanyaan saya, di mana perhitungan untuk mereka? Apa dasar ganti rugi? Kebanyakan yang punya rumah ini tidak seperti kami. Mereka tidak pakai hitungan, patok sendiri saja angkanya,” katanya.

Informasi yang dihimpun Floresa, lebih dari 23 warga di Nanga Nae yang telah mendapat ganti rugi, yang jumlahnya variatif antara puluhan hingga ratusan juta.

Merasa diperlakukan tidak adil, protes warga seperti di Kampung Cumbi masih terus mereka suarakan.

Viktor mengatakan, mereka merasa ditipu oleh pejabat yang sengaja menutup informasi yang terang terkait ganti rugi lahan warga yang diambil untuk kepentingan umum.

Pada  26 November, warga mendeklarasikan pernyataan sikap menuntut pemerintah agar hak-hak mereka dipenuhi, terutama membayar ganti rugi atas sawah, rumah, dan kebun yang digusur, sebagaimana dijamin oleh UU No. 2 Tahun 2012 dan PP No. 19 tahun 2021 tentang ganti rugi atas pembebasan tanah untuk kepentingan umum.

Mereka kemudian memasang spanduk di Cumbi, menuntut ganti rugi.

“Pemasangan spanduk ini adalah upaya terakhir kami untuk meminta perhatian negara. Apabila tidak ada pejabat berwenang menanggapi hal ini, maka kami akan blokir pekerjaan yang melewati bekas sawah, rumah, dan ladang kami. Kami akan pertahankan hak-hak kami, walau hingga darah menetes ke bumi,” tandas Viktor.

Sebelumnya, warga Cumbi juga telah menyuarakan aspirasi mereka dengan menemui Komisi III DPR RI pada 10 Mei 2022, mengirim surat ke Presiden RI dan instansi terkait pada 21 Juni 2022.

Saat Presiden Joko Widodo ke Labuan Bajo pada 22 Juli 2022, mereka juga berusaha menyampaikan langsung aspirasi mereka. Namun, mereka dihadang aparat kepolisian dan spanduk-spanduk yang mereka siapkan diamankan.

Pada 5 Oktober 2022, mereka menemui Kepala Bagian Tata Pemerintahan dan DPRD Manggarai Barat; dan pada 24 Oktober 2022 menemui sejumlah pejabat di kabupaten, termasuk Asisten I, Hilarius Madin dan dari Dinas Perhubungan.

Sayangnya, kata Viktor, upaya-upaya itu tidak membuahkan hasil.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA