BerandaREPORTASEMENDALAMKeuskupan Ruteng Minta Pemerintah...

Keuskupan Ruteng Minta Pemerintah Tinjau Keputusan ‘Sepihak’ PT Flobamor Naikkan Tarif di TN Komodo

Dalam sebuah dokumen hasil sidang pastoral, Keuskupan Ruteng menyebut kenaikan tiket oleh PT Flobamor menghambat kemajuan pariwisata dan menimbulkan konflik sosial

Floresa.co – Pimpinan Gereja Katolik di Keuskupan Ruteng, Flores meminta pemerintah meninjau kembali kebijakan menaikkan tiket di Taman Nasional Komodo yang saat ini ditentang para pelaku wisata dan warga setempat.

Dalam sebuah dokumen hasil Sidang Pastoral di Kevikepan Labuan Bajo, perwakilan Keuskupan di wilayah Manggarai Barat, otoritas Gereja Katolik menyebut kenaikan tarif oleh PT Flobamor itu “menghambat kemajuan pariwisata, membebani wisatawan dan pelaku wisata serta menimbulkan konflik sosial.”

“Kami meminta agar kenaikan tarif yang sangat tinggi ini ditinjau lagi,” tulis lembaga itu dalam dokumen yang diperoleh Floresa pada Selasa, 25 April 2023.

Dokumen yang diterbitkan pada Jumat, 21 April itu ditandatangani oleh Vikep Labuan Bajo, Romo Rikardus Manggu dan Direktur Pusat Pastoral Keuskupan Ruteng, Romo Martin Chen sebagai rumusan akhir sidang dengan peserta lebih dari 60 orang.

Pernyataan keuskupan itu muncul di tengah protes warga setempat dan pelaku wisata terhadap kebijakan terbaru dari PT Flobamor, perusahan milik provinsi Nusa Tenggara Timur yang sejak 2022 mendapat Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Wisata Alam [IUPJWA] di Pulau Komodo, Pulau Padar dan kawasan sekitarnya.

Dalam kebijakan barunya, perusahaan itu menetapkan tarif baru untuk layanan wisata tertentu di dalam taman nasional, yang membuat wisatawan tidak hanya membayar tiket masuk seperti yang berlaku sebelumnya.

Tarifnya beragam antara 250.000 sampai 500.000 ribu untuk turis lokal dan hampir dua kali lipat dari jumlah itu untuk turis mancanegara.

Untuk naturalist guide misalnya, dari sebelumnya dipatok Rp 120 ribu untuk lima wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, kini menjadi paling sedikit Rp 250 ribu per wisatawan domestik dan Rp 400 ribu per wisatawan mancanegara.

Pada 15 April, saat kebijakan itu hendak diterapkan, para wisatawan, operator tur dan warga lokal terlibat pertengkaran dengan petugas dari perusahaan itu. Sementara itu, Ata Modo – penduduk asli Pulau Komodo mengadakan aksi protes di depan kantor Balai Taman Nasional Komodo Komodo.

Direktur Operasional PT Flobamor, Abner Ataupah mengklaim, penetapan tarif ini bertujuan  meningkatkan kualitas pelayanan serta kenyamanan dan keamanan bagi para wisatawan saat berwisata dalam kawasan TN Komodo.

Kebijakan ini muncul setelah perusahan yang sama gagal menerapkan kebijakan tarif masuk 3.750.000 rupiah per orang pada tahun lalu setelah protes yang luas dan dinyatakan oleh pemerintah pusat bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lainnya.

Salah satunya adalah ketentuan PP Nomor 12 Tahun 2014 tentang Peraturan Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang selama ini menjadi rujukan penetapan tarif masuk ke taman nasional.

Dalam pernyataannya, Keuskupan mempertanyakan legalitas kebijakan terbaru ini dan meminta otoritas negara untuk menegakkan dasar yuridis penentuan tarif yang tepat.

Keuskupan menyatakan, “penentuan sepihak oleh PT. Flobamor tidak memenuhi ketentuan,” yang berlaku saat ini.

“Penentuan tarif TN Komodo harus dilakukan melalui dialog dan sosialisasi intensif dengan para pihak (stakeholders) dan masyarakat wisata serta berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat dan perkembangan pariwisata,” tulis keuskupan.

Keuskupan juga meminta semua pihak untuk menjaga kondusifitas di Labuan Bajo yang akan menjadi lokasi ASEAN Summit pada bulan depan dan  berharap semua pihak menyelesaikan persoalan melalui “dialog dan semangat kebersamaan” demi kepentingan masyarakat dan bangsa.

“Hindarilah aksi dan kegiatan anarkis yang dapat memperkeruh suasana aman, nyaman dan damai, yang dibutuhkan oleh dunia pariwisata.”

Kata Pelaku Bisnis Pariwisata

Yohanes Romualdus, salah satu operator tur di Labuan Bajo menyatakan kenaikan tarif oleh PT Flobamor tersebut “masuk kategori pungutan liar yang terselubung” yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2014.

“Tidak boleh ada negara dalam negara, artinya tidak boleh ada aturan yang tumpang tindih di atas PP 12 tahun 2014 itu,” kata Yohanes kepada Floresa.

Leo Embo, pelaku wisata lainnya mengatakan sejak awal kehadiran PT Flobamor adalah bentuk upaya monopoli bisnis wisata di TN Komodo.

Pemberian izin kepada perusahaan tersebut oleh pihak Balai Taman Nasional Komodo, kata dia, bersifat “memaksa pengunjung harus memakai jasa PT Flobamor”.

“Balai Taman Nasional Komodo menyediakan karpet merah PT Flobamor untuk monopoli usaha jasa wisata alam di Pulau Padar dan Pulau Komodo,” sebutnya.

Ia mengatakan, posisi PT Flobamor sebagai sebuah badan usaha sama dengan badan usaha lainnya yang menyediakan layanan jasa wisata di TN Komodo, sehingga tidak ada keharusan bagi pengunjung untuk menggunakan jasa perusahaan tersebut.

Kawasan TN Komodo yang mencakup tiga pulau besar, Komodo, Padar dan Rinca menjadi salah satu tempat wisata favorit saat ini dan merupakan bagian dari destinasi wisata super prioritas yang dikembangkan pemerintah pusat dalam beberapa tahun terakhir.

Presiden Joko Widodo sudah berulang kali mengunjungi TN Komodo. Kunjungan terakhirnya adalah pada saat liburan Idul Fitri tahun ini, di mana dia datang bersama keluarganya.

Pelaku wisata di Labuan Bajo juga menjadikan kesempatan kunjungan presiden itu untuk memintanya mengintervensi polemik kenaikan tiket ke TN Komodo ini.

Budi Widjaya, Ketua Gabungan Usaha Wisata Bahari dan Tirta Indonesia (Gahawisri) Labuan Bajo mengatakan, perlu intervensi pemerintah pusat dalam menghadapi nafsu monopoli pihak tertentu yang dapat menghancurkan iklim pariwisata di Labuan Bajo.

Sementara menurut Ignasius Suradin, Ketua Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) Manggarai Barat Ignasius Suradin, tarif jasa wisata di TN Komodo tidak boleh ditetapkan mendadak dan sepihak, tanpa sosialisasi.

Ia berharap penetapan tarif apapun di dalam wilayah TN Komodo “dibuat secara bertahap, biaya tetap terjangkau, dan disosialisasikan minimal satu tahun sehingga tidak menjadi polemik dalam masyarakat.”

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga