Penghormatan Hukum Adat dalam Sengketa Tanah: Kasus di Amba, Lembor Selatan

Floresa.coPutusan majelis hakim di Pengadilan Negeri Labuan Bajo pada akhir  April 2023 yang mementahkan gugatan Fransiskus Delis, dkk dalam konflik tanah di Amba, Kecamatan Lembor Selatan mengakhiri proses sidang yang berlangsung selama tujuh bulan.

Dalam putusan terkait pokok perkara sengketa lahan sawah seluas 18.018 meter persegi di Lingko Bengkok Kembo II yang masuk Desa Watu Rambung itu, majelis hakim menyatakan bahwa gugatan “tidak dapat diterima” atau Niet Ontvankelijke Verklaard.

Valens Dulmin, pengacara penggugat menyatakan akan mengajukan gugatan ulang, dengan melengkapi aspek formil.

“Kami menjadikan putusan itu sebagai rujukan untuk melengkapi gugatan ulang itu” katanya kepada Floresa, namun belum bisa memastikan kapan gugatan itu diajukan.

Dalam istilah hukum, “tidak dapat diterima” berarti karena gugatan mengandung cacat formil, berbeda jika dinyatakan “ditolak,” yang berarti penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya.

“Putusan itu tidak menyentuh pokok perkara, hanya menyentuh prosedur formal,” kata Valens.

Dalam putusannya, hakim menyatakan menerima eksepsi tergugat, yang antara lain mendalilkan bahwa nama-nama yang menjadi pihak tergugat tidak lengkap.

Jejak Sengketa

Dari dokumen yang diakses Floresa, kasus ini berkaitan erat dengan proses perolehan tanah sesuai mekanisme adat Manggarai.

Tanah konflik itu saat ini dikuasai oleh warga atas nama Simon Sabut, keturunan atau cucu dari Siprianus Saur.

Simon telah mengantongi sertifikat tanah itu, dengan nomor HM. 00238/Munting.

Namun, Fransiskus dan keluarganya sebagai penggugat mengklaim bahwa tanah itu seharusnya milik mereka.

Menurutnya, tanah itu diberikan oleh Gendang Amba pada tahun 1961 kepada kakeknya, Barnabas Naha.

“[Tanah itu adalah] bentuk ucapan terima kasih atas partisipasi Barnabas Naha membangun selokan air untuk persawahan Amba sebelum tahun 1961,” jelasnya.

Barnabas, kata dia, berasal dari Sambir, dan membantu menggali sawah di Gendang Amba, yang kala itu kekurangan tenaga kerja.

Ia mengatakan, ada 20 orang warga Sambir yang mendapat lahan di lokasi itu. Salah satunya adalah Barnabas.

Fransiskus mengatakan, ketika Barnabas meninggal dunia pada 1967, oleh Veronika Lahom, isteri Barnabas, tanah tersebut sempat disewakan dengan sistem bagi hasil kepada seorang kerabat jauh bernama Matias Abut.

Setelah Matias mengelolanya hingga tahun 1972, jelasnya, Siprianus Saur yang adalah saudara kandung Veronika, meminta izin untuk menggarap tanah itu.

“Dengan perjanjian bahwa tanah itu harus dikembalikan kalau anak-anak Veronika yang kala itu masih kecil sudah dewasa,” katanya.

Pada 1983, Veronika dan dua anaknya, Stanislaus Sta – ayah Fransiskus – dan Stefanus Hamit, yang sudah dewasa meminta secara resmi kepada Siprianus untuk mengembalikan tanah itu, namun ditolak.

Pada Desember 2021, jelas Fransiskus, dengan bekal pengetahuan sejarah tanah itu, ia menemui anak-anak dan cucu Siprianus, termasuk Simon, hendak mengambil alih tanah itu.

Namun, kata dia, lagi-lagi upayanya ditolak. Ia lantas menghadap Tua Gendang Amba dan Sambir, meminta masukan mereka yang kemudian direspon keduanya dengan mendesaknya menguasai tanah itu. Karena itulah, pada 27 Desember 2021, Fransiskusmenduduki lahan itu.

Namun, langkahnya memicu reaksi dari salah satu anak Simon yang melaporkannya ke Polsek Lembor pada 3 Januari 2022 dengan delik “penyerobotan tanah.”

Saat dilaporkan itu, Fransiskus mengaku baru mengetahui bahwa Simon telah membuat sertifikat atas tanah itu. Dengan dasar sertifikat itu pula, Polsek Lembor menetapkan Fransiskus sebagai tersangka pada Juli 2022.

Fransiskus merespons hal ini dengan menggugat secara perdata keluarga Simon ke Pengadilan Negeri Labuan Bajo pada 13 September 2022 dengan delik “perbuatan melawan hukum.”

Dalam gugatannya, Fransiskus menganggap proses penerbitan sertifikat Simon “dilakukan tanpa itikad baik, tidak berdasar, serta tidak sesuai dengan prosedur dan aturan perundang-undangan yang berlaku.”

Turut tergugat adalah Badan Pertanahan Nasional sebagai pihak yang menerbitkan sertifikat.

Sementara proses perdata mulai bergulir, pada 19 Oktober 2022, Polsek Lembor mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Sementara kasus dugaan penyerobotan tanah dengan tersangka Fransiskus.

Menelusuri Sejarah Tanah

Merespon putusan kasus ini yang dipublikasi pada 27 April, Valens mengatakan, dari bukti-bukti yang mereka miliki, termasuk pengakuan para saksi yang dihadirkan dalam sidang, pihaknya meyakini bahwa tanah itu adalah milik kliennya.

“Harapan kami bahwa nanti hakim benar-benar masuk ke pokok perkara, dengan betul-betul mengkaji aspek hukum adat yang menjadi faktor penting dalam kasus ini,” katanya.

Ia menjelaskan, dari keterangan para saksi, termasuk Tua Gendang Tobias Taok, sebetulnya mereka mengakui bahwa tanah itu adalah milik Barnabas yang diberikan oleh Gendang Amba dan tidak pernah ada proses peralihan kepemilikan kepada pihak lain.

Tidak ada satu bukti atau saksipun yang menerangkan atau membuktikan bahwa tanah objek sengketa sudah beralih dari Barnabas Naha ke pihak lain,” katanya.

Dari dokumen yang diperoleh Floresa, dalam kesaksiannya Tobias menyebutkan bahwa 20 orang warga Sambir yang menerima tanah tersebut tercatat di buku Gendang Amba, di mana salah satunya adalah Barnabas.

Tobias mengaku “tidak kenal dengan Simon Sabut dan Siprianus Saur” dan bahwa “Simon Sabut dan Siprianus Saur tidak punya tanah di Lingko Bengkok Kembo II.”

Tua Golo Gendang Amba, Romanus Mahun, juga menguatkan hal itu, dengan mengatakan bahwa “nama 20 orang itu ada di buku gendang” dan Bernabas Naha termasuk di antaranya.

Praktisi hukum Gregorius Garu mengatakan, hal yang penting dalam kasus ini adalah menelusuri asal-usul tanah itu karena sertifikat yang sudah diterbitkan atasnya “bukan akhir dari segala-galanya.”

“Boleh saja sertifikat ditulis di atas tinta emas, tetapi asal usulnya dari mana, itu yang harusnya ditelusuri sampai ke akar-akarnya, harus terang-benderang,” katanya.

Ia mengatakan, keberadaan sertifikat itu merupakan “sumber persoalan dalam kasus ini.”

“Maksim atau postulat adat Manggarai harus dihargai dan dipegang teguh, Eme Dite, Dite Tu’ung, Eme Data, Data Tu’ung atau Neka Daku Ngong Data yang intinya berarti jangan pernah klaim apa yang bukan milikmu,” tegasnya.

Posisi Hukum Adat

Kasus ini hanyalah salah satu contoh sengketa tanah di wilayah Manggarai yang beririsan dengan mekanisme atau hukum adat terkait pertanahan atau agraria.

Dalam sistem hukum di Indonesia, hukum adat diakui sebagai sumber hukum yang sah dan setara dengan hukum positif, yang masuk dalam klaster hukum tidak tertulis.

Hukum adat juga berfungsi sebagai pelengkap ketika norma-norma yang tertuang dalam hukum tanah nasional belum mengatur mengenai hal tertentu.

Wacana terkait peran dan posisi hukum adat terhadap segala keputusan legal yang terkait dengan sengketa pertanahan menjadi penting mengingat umumnya kepemilikan atas tanah di Manggarai, juga NTT berbasiskan aturan hukum adat sebagai sumber legitimasinya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.