Yosef Erwin Rahmat: Melawan Proyek Geotermal yang Didukung Uskup, Dipercaya Umat Paroki Jadi Ketua Komisi Keadilan

Bersama warga di Desa Wae Sano, Flores, Yosef Erwin Rahmat berada di garis depan menentang proyek geotermal yang titik pengeborannya dipaksakan di ruang hidup mereka. Ia berbeda sikap dengan Uskup Ruteng, Siprianus Hormat, ketua komisi bidang keadilan di Konferensi Waligereja Indonesia. Menariknya, di tingkat paroki, Yosef terpilih jadi ketua komisi serupa.

Baca Juga

Floresa.co – Yosef Erwin Rahmat memasuki rumah adat di Kampung Nunang, Desa Wae Sano, Kamis pagi, 9 November, bergabung bersama warga lainnya yang sudah berkumpul.

Mereka menggelar rapat singkat di rumah adat itu, sebelum mengikuti acara sosialisasi di kantor desa terkait tindak lanjut proyek geotermal.

Memilih duduk di sebelah Tu’a Golo atau Kepala Kampung Nunang, Yosef, berpostur tinggi dan berambut uban, mulai memberikan penguatan kepada warga, menekankan agar semua konsisten dengan sikap menolak proyek.

“Mengatakan ‘Tidak’ adalah hak,” kata pria 58 tahun itu, dengan nada suaranya yang tegas.

“Dengan mengatakan ‘Tidak!’ kepada proyek geotermal, banyak hal yang kita lindungi, terutama ruang hidup kita.”

Yosef melanjutkan, “Apapun yang mereka [pemerintah dan perusahaan] bicarakan dalam sosialisasi, kita harus tetap tolak proyek ini.”

Pada sosialisasi hari itu, yang dihadiri pihak perusahaan dan perwakilan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, PT Geo Dipa Energi, PT Sarana Multi Infrastruktur [PT SMI] dan Bank Dunia, warga tetap pada sikap mereka: menolak, kendati diberi banyak janji.

Sosialisasi itu membahas soal peralihan pendana, dari Bank Dunia ke pemerintah Indonesia, dengan skema Pembiayaan Infrastruktur Sektor Panas Bumi yang bersumber dari APBN.

Yosef yang berbicara dengan Floresa usai pertemuan mengatakan, ketegasan menolak karena “titik-titik eksplorasi itu berada dalam ruang hidup kami.”

“Di dalam ruang hidup itu ada permukiman, kebun, sumber mata air, kuburan. Itu yang kami suarakan,” ungkapnya.

Yosef Erwin Rahmat, sedang membacakan surat pernyataan penolakan proyek geothermal dalam pertemuan dengan Bank Dunia di kantor Desa Wae Sano pada Senin, 9 Mei 2022. (Dokumentasi Floresa)

Menolak Sejak Awal

Rencana proyek geotermal mulai berhembus sejak 2017 di Desa Wae Sano, sekitar 35 kilometer arah tenggara dari Labuan Bajo. 

Proyek ini yang gencar diupayakan pasca penetapan Flores sebagai Pulau Panas Bumi menargetkan bisa menghasilkan listrik 45 megawatt untuk mendukung pariwisata Labuan Bajo.

Tahun 2018, pemerintah dan PT SMI mulai melakukan sosialisasi di kantor desa.

Dalam sosialisasi itu, kata Yosef, mereka diberi tahu bahwa geotermal merupakan energi yang bersih, aman, dan ramah lingkungan serta menjadi energi alternatif ketika energi fosil habis.

Ia menjelaskan, PT SMI tidak memberi informasi secara rinci tentang titik pengeboran, “sehingga masyarakat ikhlas-ikhlas saja.”

Yosef berkata warga mulai kaget ketika dalam sebuah pertemuan pada 14 Mei 2018, PT SMI meminta mereka memantau titik-titik eksplorasi. Pada waktu itulah, kata dia, warga baru tahu bahwa letak titiknya ada di permukiman.

Warga pun mulai cemas sehingga saat hari berikutnya PT SMI menggelar konsultasi publik, mereka sepakat menyampaikan keberatan.

“Karena tidak mendapat tanggapan akan keberatan itu, kami mulai mengorganisasi diri dengan membentuk sebuah kelompok, lalu membuat surat penolakan ke pemerintah.”

Karena meyakini tidak bisa berjuang sendiri, warga Wae Sano mulai mencari bantuan lembaga advokasi.

Pada 2019, mereka terhubung dengan sejumlah lembaga, seperti Jaringan Advokasi Tambang [Jatam], lembaga advokasi Gereja Katolik JPIC-OFM, JPIC-SVD, JPIC Keuskupan Ruteng, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia cabang Nusa Tenggara Timur dan Sunspirit for Justice and Peace.

Yosef berkata, warga sadar memiliki keterbatasan, terutama dalam memformulasikan argumentasi penolakan.

“Kami membuat surat mandat kepada mereka untuk mendampingi kami,” katanya.

Sempat Berharap pada Keuskupan

Sejak awal, kata Yosef, warga Desa Wae Sano berharap bahwa perjuangan mereka akan mendapat sekutu yang paling mereka harapkan; institusi Gereja Katolik, khususnya Keuskupan Ruteng.

Tidak hanya lewat JPIC, dukungan itu mereka impikan muncul dari Keuskupan Ruteng.

Mengingat semua warga di desa itu adalah penganut Katolik dan Gereja memiliki keberpihakan dalam berbagai kasus yang mengancam kehidupan orang kecil, mereka meyakini Keuskupan Ruteng akan berdiri bersama mereka, bukan sebaliknya.

Karena itu, mereka ikut mengadukan masalah ini ke Keuskupan Ruteng. Pengaduan itu memang kemudian ditanggapi. 

Uskup Siprianus Hormat, yang baru ditahbiskan ketika itu, menulis surat kepada Presiden Joko Widodo. Surat pada 9 Juni 2020 itu mengingatkan dampak buruk proyek bagi warga dan meminta agar dibatalkan.

Setelah mengirim surat itu, Sipri juga berkunjung ke Kampung Nunang, melihat secara langsung area rencana eksplorasi.

Yosef mengenang bagaimana di hadapan warga dan para imam yang menemaninya, uskup secara tegas menyatakan penolakan.

“Oh, tidak bisa di sini, sangat tidak bisa,” kata-kata uskup yang masih kuat di ingatan Yosef, merujuk ke titik pengeboran yang dekat dengan permukiman warga.

“Jadi, bapa-bapa tidak usah takut. Ini ada para romo yang akan bantu bapa-bapa. Saya minta para romo bantu masyarakat,” tambah uskup, sebagaimana ditirukan Yosef.

Ia mengatakan, saat itu warga menyerahkan sepucuk surat yang ditulis tangan, meminta uskup tanda tangan untuk tidak melakukan diskusi, lobi dan dialog dengan pemerintah.

Yosep berkata, mereka khawatir ketika sudah mulai membuka lobi, sikap uskup akan berubah.

Waktu itu, kata dia, Sipri sempat merespons bahwa “diskusi hal yang biasa,” lalu menandatangani surat itu di atas punggung seorang imam.

Setelahnya Sipri berkata, “sudah tidak ada masalah di sini,” yang membuat warga merasa lega.

Perubahan Sikap yang Membuat Kecewa

Namun, hanya berselang beberapa bulan setelah kunjungan itu, mereka mulai mendengar cerita bahwa uskup melakukan rangkaian pertemuan dengan pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan perusahaan.

Dialog itu berujung pada penandatanganan Nota Kesepahaman [Memorandum of Understanding, MoU] dengan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi pada 2 Oktober 2020.

Menyusul penandatanganan MoU itu dibentuk Tim Komite Bersama yang terdiri pemerintah, Keuskupan Ruteng dan perusahaan. Tugasnya melakukan sosialisasi ulang proyek itu.

Kedatangan tim ini beberapa kali ke Desa Wae Sano mendapat penolakan dari masyarakat yang menyebar di Kampung Lempe, Nunang dan Dasak.

Hasil kerja Tim Komite Bersama memberikan rekomendasi kepada uskup agar melanjutkan eksplorasi, dengan menggeser titik pengeboran atau wellpad A di Kampung Lempe.

Tim Komite Bersama mengklaim masyarakat sudah setuju, kendati kata Yosef, sejak awal masyarakat di seluruh kampung menolak wilayahnya dijadikan wellpad.

Atas rekomendasi itu, pada 29 Mei 2021, Sipri kembali mengirim kepada Presiden Joko Widodo, berisi rekomendasi agar proyek itu dilanjutkan.

Dalam surat itu, ia mengklaim telah “memahami dan dapat menerima penjelasan-penjelasan dari pihak pemerintah tentang persoalan-persoalan yang menjadi keprihatinan masyarakat Wae Sano.”

Perubahan sikap itu sontak membuat warga melayangkan protes, termasuk dengan mengutus perwakilan ke Keuskupan Ruteng, yang ditemui Vikaris Jenderal, Alfons Segar.

Menyusul surat uskup itu, kata dia, JPIC Keuskupan Ruteng dan Romo Yohanes Dedi Saldi, Pastor Paroki St Mikael Nunang yang sebelumnya mendampingi mereka dalam sejumlah pertemuan terkait proyek itu, “sudah tidak lagi terlibat.”

“Setelah uskup berubah sikap, semuanya berubah,” katanya.

Dengan perubahan itu, kata Yosef, warga Wae Sano bersepakat “tidak lagi mengharapkan keterlibatan Keuskupan Ruteng” dalam perjuangan mereka. 

Mereka hanya tetap terhubung dengan lembaga Gereja Katolik lainnya, seperti JPIC OFM dan JPIC SVD

Yosef memberi catatan bahwa dengan mengabaikan suara mereka, Keuskupan Ruteng sebetulnya sudah mengingkari misinya sendiri “menjaga keutuhan ciptaan.”.

Padahal, kata dia, penolakan warga terhadap proyek itu bagian dari upaya menyelamatkan keutuhan ciptaan, manusia dan lingkungan, seturut amanat Kitab Suci, juga yang digariskan dalam Laudato si, ensiklik Paus Fransiskus tentang bumi sebagai rumah kita bersama.

“Bagaimana kita bisa mengharapkan lembaga Gereja ketika mereka sudah menyangkal dan mengingkari misi Gereja sesungguhnya?” ungkapnya. 

Alih-alih melaksanakan misi Gereja universal “menyelamatkan keutuhan ciptaan”, kata dia, Keuskupan Ruteng memuluskan langkah pemerintah dan perusahaan dalam “pengrusakan keutuhan ciptaan.”

Dipercayakan Sesama Umat Jadi Ketua JPIC

Dibaptis sejak kecil, Yosef tetap menghayati kehidupannya sebagai orang Katolik, seperti halnya warga lain di Desa Wae Sano. Ia juga pernah mengenyam pendidikan di Seminari Pius XII Kisol, sebuah sekolah calon imam Katolik. 

Di paroki, yang berpusat di kampungnya, Nunang, ia juga aktif dalam kehidupan Gereja.

Hal itulah yang membuat ia kemudian ditunjuk menjadi pengurus dewan paroki. 

Ketika pada 2022 paroki membentuk Komisi JPIC, dialah yang dipercayakan memimpin komisi itu.

Ia mengatakan tidak pernah membayangkan dan bermimpi untuk bisa menjadi pengurus.

“Mungkin karena pastor paroki tahu bahwa saya seringkali ikut pertemuan dengan JPIC,” katanya.

Yosep mengatakan selama menjadi ketua JPIC paroki, ia belum berurusan dengan Keuskupan Ruteng, termasuk JPIC-nya.

Meski demikian, ketika JPIC Keuskupan Ruteng menyelenggarakan kegiatan, ia tetap ikut dalam kapasitas sebagai umat.

Ia mengatakan memiliki sejumlah ide tentang program yang bisa dilakukan di paroki.

Dalam konteks polemik geotermal Wae Sano, kata dia, salah satu yang ia usulkan adalah pelatihan paralegal agar umat memiliki pengetahuan tentang hukum-hukum praktis.

Ide itu, kata dia, muncul dari pengalamannya mengikuti pelatihan paralegal, yang membawanya pada kesimpulan bahwa selama ini banyak hak masyarakat yang diabaikan oleh penguasa “dan masyarakat ikhlas-ikhlas saja.”

Hal itu terjadi karena masyarakat tidak tahu bahwa sebenarnya mereka mempunyai hak untuk mengatakan “tidak” kepada penguasa.

“Saya mau masuk dari sisi itu,” katanya.

Program ini telah disetujui pastor paroki, dan beberapa lembaga gereja lainnya meski belum terealisasi.

Sementara di bidang lingkungan, ia mengatakan menawarkan program pertanian organik, sebagai pintu masuk untuk memperkenalkan JPIC kepada umat.

Ia mengatakan program pertanian organik bertujuan agar masyarakat bisa bergerak sendiri dan mandiri mendapat keadilan dari sisi ekonomi, tanpa harus bergantung kepada pemerintah.

Yosef mengatakan, mimpinya soal Gereja, lewat komisi yang ia pimpin, adalah sebuah Gereja yang menyapa realitas umat, yang tidak fokus pada urusan liturgi saja.

Ia mengatakan “selama ini Gereja seringkali mengemas liturgi secara istimewa, sementara kehidupan ekonomi masyarakat dan umat sekarat.”

Terus Memperkuat Diri dan Gerakan Perlawanan

Sementara proyek geotermal itu terus dipaksakan, warga Desa Wae Sano terus berusaha memperkuat diri. 

Yosef berkata, dalam berbagai pertemuan dengan pihak perusahaan dan pemerintah, mereka selalu berusaha mengendalikan forum.

Ia menyebut tidak ada agenda yang berhasil dijalankan secara baik oleh pemerintah dan perusahaan berkaitan dengan proyek ini.

“Kalau mereka buat klaim bahwa mereka berhasil meyakinkan pemilik tanah bahwa eksplorasi geotermal Wae Sano tidak ada masalah dan masyarakat sepakat, itu bahasa mereka,” ungkapnya.

Ia mengatakan, selama berjuang ia seringkali mengikuti berbagai pertemuan, diskusi, dan pelatihan yang difasilitasi oleh lembaga-lembaga jejaring.

Ia telah mengikuti pertemuan di Kalimantan baru-baru ini yang difasilitasi Jatam, di mana dia bertemu komunitas-komunitas seluruh Indonesia yang berada di wilayah tambang dan geotermal.

Yosef juga pernah mengikuti kegiatan di Ciremai, Jawa Barat bersama komunitas-komunitas di sembilan gunung di Pulau Jawa yang sudah ditetapkan sebagai lokasi proyek geotermal. 

Dalam pertemuan yang difasilitasi oleh beberapa lembaga termasuk Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Walhi dan Jatam itu, ia makin meyakini bahwa ada masalah dengan proyek geotermal.

Kesimpulan itu, kata dia, berbasis pengalaman komunitas warga yang ada di sekitar sembilan gunung itu.

Pada September, ia juga mengikuti pertemuan internasional di Semarang, Jawa Tengah yang dihadiri 400 peserta dari puluhan negara dari Asia, Afrika, dan Amerika. 

Keyakinan Yosef dan warga Wae Sano lainnya untuk tetap teguh berjuang juga kian kuat setelah dua kali berkunjung ke lokasi proyek geotermal Mataloko di Kabupaten Ngada dan  Ulumbu di Kabupaten Manggarai.

“Kita tidak hanya menonton di televisi atau media sosial soal dampak proyek geotermal, tetapi melihat secara langsung, apa dampak ekonominya bagi masyarakat. Ternyata tidak ada,” katanya.

Dengan cara pandang berbasis keyakinan budaya Manggarai dan iman sebagai orang Katolik, kata Yosef, mereka menyadari bahwa manusia “tidak dapat menciptakan lingkungan dan alam semesta.”

Penolakan terhadap proyek geotermal, kata Yosef Erwin Rahmat, merupakan bagian dari cara menggenapi misi Gereja, yakni mewujudkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. (Dokumentasi Floresa)

Yang bisa dilakukan, seperti dalam konteks geotermal, adalah mempertahankannya, jika kemudian yang dipertaruhkan adalah kelestariannya dan masa depan warga sendiri.

Karena itulah, meski berbeda sikap dengan uskup, yang kini menjadi Ketua Komisi Perdamaian, Keadilan dan Pastoral Migran-Perantau di Konferensi Waligereja Indonesia, Yosef dan warga Wae Sano lainnya tetap berpegang pada sikap mereka.

“Penolakan terhadap proyek geotermal merupakan bagian dari cara menggenapi misi Gereja, yakni mewujudkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan,” katanya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini