Labuan Bajo, Floresa.co – Perkembangan pariwisata di Labuan Bajo, Manggarai Barat ikut menjadi berkah bagi kelompok pengrajin.
Setidaknya hal itu dialami oleh kaum ibu-ibu yang tergabung dalam Komunitas Karya Mandiri, salah satu komunitas pengrajin “Topi Re’a”.
Komunitas yang sudah menginjak usai yang kedelapan ini sudah menjadi salah satu pemasok topi re’a di wilayah Manggarai Barat.
Re’a adalah kata Bahasa Manggarai, yang merujuk pada daun pandan, daun yang juga bisa digunakan sebagai bahan dasar pembuatan tikar atau bantal.
“Semenjak terbentuk tahun 2010, semakin hari semakin banyak yang memesan topi re’a,” kata ketua komunitas, Juliana Juli saat ditemui Floresa.co, Selasa 16 Oktober 2018 di kediaman salah satu anggotanya.
Menemui anggota komunitas dan menyaksikan rutinitas mereka tidaklah sulit.
Pusat aktivitas mereka tepatnya di Kampung Bambor, Desa Wae Woko, Kecamatan Mbeliling, persis di pinggiran jalan TransFlores.
Dari Labuan Bajo, ibukota Kabupaten Manggarai Barat, jaraknya bisa ditempuh 45 menit menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat.
Begitu pun jika berjalan dari Lembor, ibu kota Kecamatan Lembor, juga bisa ditempuh dengan waktu 45 menit.
Kalau Anda datang dari arah Labuan Bajo, saat tiba di Kampung Bambor, persis di pertigaan menuju Rekas, di situlah Anda akan menemui sekelompok ibu-ibu yang sedang sibuk dengan anyaman topi re’a-nya masing-masing.
Hawa yang sejuk dengan rindangan pohon kemiri, dipastikan membuat Anda betah, usai disengat hawa panas di Labuan Bajo maupun Lembor.
Jika kesulitan menemukan lokasi mereka, silahkan Anda tanya kepada warga di pinggiran jalan, yang umumnya dengan ramah memberi Anda penjelasan.
Komunitas Karya Mandiri berjumlah sekitar 15 orang. Mereka bisa menghasilkan beragam motif topi rea. Ada yang bergambar binatang purba Komodo, hingga dibubuhi berbagai jenis tulisan sesuai dengan pesanan.
Proses pembuatan topi melalui sejumlah proses: memanen daun pandang, merendamnya di air tawar, memberi warna, lalu membuatnya menjadi sebuah topi.
Seminggu, kata Juli, setiap orang menghasilkan sekitar empat topi. Harga satu topi dipasarkan dengan Rp 150 ribu dan Rp 175 ribu per lembar.
Harga tersebut tergantung motif dan kualitas.
“Banyak sekali yang pesan,” katanya. “(Antara lain) dari Pemerintah Daerah (Pemda) Mabar, dari sanggar dari Kampung Melo, dan dari Ruteng,” tutur Juli.
Hingga saat ini, Juli tengah memikirkan dan berusaha untuk terus memproduksi topi rea sebanyak mungkin dan tentu dengan kualitas bagus.
Pasalnya, hingga saat ini, permintaan terus bertambah.
Untuk mejawab permintaan itu, selain terus mempertahankan komunitas yang sudah ada, pihaknya juga telah merintis tiga komunitas baru yang sama-sama memproduksi topi re’a.
Apalagi, jelas Juli, didukung oleh perkembangan Labuan Bajo yang sudah menjadi andalan destinasi wisata yang tentunya segaris dengan permintaan terhadap topi re’a.
Juli pun bisa bersyukur dengan capaian komunitasnya, yang telah memberi dampak ekonomi untuk keluargan mereka.
“Lumayanlah. Saat ini (kami) sudah bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga dan membiayai sekolah anak-anak,” ujar ibu empat anak ini.
Jika Anda hendak mengetahui lebih jauh bagaimana cara pembuatan topi re’a serta menikmati dinamika kehidupan pengrajinnya, atau ingin belajar menganyam topi re’a, silahkan datang ke Kampung Bambor, Kecamatan Mbeliling.
ARJ/Floresa